Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Isyarat Damai di Rakhine

Militer Myanmar dan Tentara Arakan melakukan gencatan senjata di Rakhine. Belum ada jaminan pemilihan umum susulan dapat digelar di wilayah yang dihuni etnis Rohingya itu.

12 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Latihan militer Myanmar di Ayeyarwaddy, Myanmar, Februari 2018. REUTERS/Lynn Bo Bo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Militer Myanmar dan Tentara Arakan bersepakat untuk melakukan gencatan senjata di Rakhine.

  • Militer meminta utusan perdamaian Jepang untuk menjembatani perundingan damai.

  • Pemerintah Aung San Suu Kyi masih enggan menggelar pemilihan susulan.

ANGIN segar bertiup ke Negara Bagian Rakhine, yang nasib pemerintah daerahnya terkatung-katung karena tak bisa menggelar pemilihan umum legislatif pada 8 November lalu. Militer Myanmar atau Tatmadaw telah bersepakat dengan milisi pemberontak, Tentara Arakan, untuk melakukan gencatan senjata hingga pemilihan umum sela digelar sebelum akhir Desember ini.

“Kami menginginkan pemilihan umum ini,” ucap U Khaing Myo Aung, warga Rakhine di kamp pengungsi Myaebone, kepada Burma News International, Kamis, 10 Desember lalu. “Para pengungsi dan banyak orang akan menghadapi kesulitan jika tak ada kandidat yang dapat menyampaikan masalah dan mendengar suara mereka.”

Komisi Pemilihan Umum telah menangguhkan pemilihan di sembilan dari 17 daerah setingkat kabupaten di Rakhine dengan alasan “tidak siap menggelar pemilihan yang bebas dan adil karena alasan keamanan”. Hal itu menyebabkan sekitar 1,2 juta warga Myanmar tak dapat menggunakan hak politiknya.

Sejumlah partai menuding keputusan Komisi itu bias karena memasukkan pula daerah yang aman ke dalam daftar daerah yang ditangguhkan. Daerah yang pernah menjadi palagan antara Tatmadaw dan Arakan adalah Ponnagyun, Yathaedaung, Buthedaung, Kyauktaw, Minbya, Myaebon, dan MraukU. Namun Komisi memasukkan pula Pauktaw dan Maungdaw yang belum pernah menjadi medan pertempuran.

Dalam pemilihan November lalu, Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi menang besar dengan meraih 255 dari 440 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Militer menguasai kursi kedua terbanyak karena mendapat jatah 110 kursi. Di Dewan Perwakilan Daerah, Liga juga menang dengan 135 dari 224 kursi, jauh di atas jatah militer yang sebanyak 56 kursi. Kemenangan ini mengukuhkan posisi Suu Kyi sebagai pemimpin negeri itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Latihan militer tentara Arakan di Rakhine, Myanmar, 2018. Youtube/Tribal Action Group

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertempuran sengit antara Tatmadaw dan Arakan terjadi setelah penyerbuan militer ke Rakhine yang mengakibatkan 750 ribu warga muslim Warga Rohingya di sana terpaksa mengungsi ke Bangladesh dan negara lain pada 2016. Menurut Badan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejak saat itu Tatmadaw terus menyerang dan mempersekusi kaum Rohingya. Hasil penyelidikan Komisi PBB pada 2019 menyimpulkan bahwa kejahatan perang yang dilakukan militer Myanmar tersebut mengarah pada genosida. Tatmadaw membantah terjadinya genosida dan berdalih bahwa operasi di Rakhine ditujukan untuk memerangi gerilyawan Arakan. Maret lalu, pemerintahan di bawah Aung San Suu Kyi menyatakan Arakan sebagai organisasi teroris.

Kontak senjata antara Tatmadaw dan Arakan menurun drastis menjelang pemilihan umum. Mayor Jenderal Zaw Min Tun, juru bicara senior Tatmadaw, menyatakan perwakilan kedua pihak telah melakukan pembicaraan setelah militer membentuk komisi perundingan damai pada 9 November lalu.

“Sejak pembicaraan dimulai, Rakhine telah tenang dan tak ada laporan terjadinya bentrokan bersenjata,” kata pemimpin True News Tatmadaw itu, seperti dikutip Myanmar Times pada 27 November lalu. “Jika kedua pihak menghentikan perseteruan, perundingan akan dapat mencapai hasil yang baik.” Dia tak menguraikan lebih rinci apa yang dibahas militer dalam perundingan dengan Arakan.

Khaing Thu Ka, juru bicara Tentara Arakan, menyatakan pemimpin Arakan telah memerintahkan para gerilyawan menghindari bentrokan dengan Tatmadaw selama perundingan berlangsung. “Kami ingin membangun kepercayaan dengan Tatmadaw,” ucapnya. Dia juga menyatakan pemimpin senior Tatmadaw dan Arakan telah bertemu dalam suatu konferensi dalam jaringan atau online pada akhir November lalu. Mereka membahas tiga agenda, yakni pemilihan umum, pasokan makanan dan obat-obatan ke Rakhine, dan upaya membangun kepercayaan kedua pihak.

“Tak ada konflik bersenjata dan tak ada lagi suara senjata berat. Masyarakat sudah berjalan-jalan seperti keadaan normal,” kata U Oo Htun Hla, warga Kyauktaw, kepada Frontier Myanmar. Pemimpin partai politik Liga Arakan untuk Demokrasi itu berencana untuk maju dalam pemilihan legislatif untuk daerah Kyauktaw.

Penangguhan pemilihan di Rakhine menyebabkan 36 kursi badan legislatif di Rakhine kosong. Pada pemilihan umum 2015, Liga Nasional untuk Demokrasi kalah telak di negara bagian ini. Hampir semua kursi dikuasai oleh Partai Nasional Arakan, partai berbasis etnis Arakan yang anti-Rohingya. Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan hanya memenangi tiga kursi.

Empat hari setelah pemilihan umum yang ditangguhkan itu, Tentara Arakan meminta pemerintah dan Tatmadaw menggelar pemilu sela setidaknya pada akhir Desember. Mereka berjanji akan memantau gencatan senjata hingga pemilihan digelar. Pada hari yang sama, Tatmadaw menyambut baik permintaan Arakan dan mengatakan akan mengambil langkah terbaik untuk memastikan pemilihan sela digelar.

Frontier Myanmar melaporkan Jepang telah membantu perundingan damai antara Arakan dan Tatmadaw untuk menggelar pemilihan sesegera mungkin di Rakhine. Jenderal senior Min Aung Hlaing telah meminta Yohei Sasakawa, utusan perdamaian khusus Jepang, agar mendekati Arakan untuk membicarakan rencana pemilihan susulan itu.

Akhir November lalu, Yohei Sasakawa dan Duta Besar Jepang untuk Myanmar Ichiro Maruyama mengunjungi Kyauktaw dan Buthidaung. Mereka bertemu penduduk dan memantau situasi, lalu bertemu para pemimpin Partai Nasional Arakan di Sittwe untuk membahas kemungkinan pemilihan susulan. Dalam konferensi pers di Sittwe, Sasakawa menyatakan pemilihan di Rakhine dimungkinkan bila “kedua pihak melakukan gencatan senjata”.

“Saya ingin pemerintah menggelar pemilihan jika mungkin dan saya berharap itu terjadi,” tutur Oo Htun Hla. “Pada masa ketika rakyat menjadi pengungsi perang dan ditahan oleh kedua kubu dan kadang-kadang dibunuh, penting bagi mereka untuk punya wakil di parlemen yang dapat berbicara atas nama mereka dan keadaan yang tak menguntungkan ini.”

Komisi Pemilihan Umum Negara Bagian Rakhine menyatakan mereka siap menggelar pemilihan jika Komisi pusat memerintahkan begitu. “Kami semua siap. Daftar pemilih, tempat pemungutan suara, dan panitia pemungutan sudah siap,” ujar U Thurein Htut, sekretaris Komisi daerah di Rakhine.

Liga Nasional untuk Demokrasi, yang menang besar dalam pemilihan umum 8 November lalu, masih ragu terhadap rencana pemilihan sela ini. Myo Nyunt, juru bicara partai itu, menyatakan Liga ingin setiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya, termasuk yang kehilangan hak suaranya. Namun dia menggarisbawahi bahwa pemilihan umum telah selesai digelar dan pemilihan umum sela harus digelar sesuai undang-undang.

Menurut hasil amendemen Undang-Undang Pemilihan Umum Legislatif pada 2019, pemilihan umum sela tak dapat digelar pada tahun pertama dan kelima dalam satu periode. Parlemen Myanmar setidaknya baru akan bersidang pada akhir Januari 2021 sehingga pemilihan umum sela harus menunggu hingga awal 2022.

Namun beberapa anggota parlemen Rakhine menilai bahwa pemilihan di sembilan daerah pada akhir Desember ini tak bisa ditimbang sebagai pemilihan umum sela, meskipun mereka mengakui bahwa Tatmadaw dan Arakan menggunakan istilah “pemilihan sela” dalam pernyataannya. “Itu bukan pemilihan sela. Itu mungkin sebuah pemilihan umum susulan,” ucap U Pe Than, anggota parlemen nasional dari Partai Nasional Arakan dan anggota komisi kebijakan partai yang berencana kembali maju dalam pemilihan umum ini.

Pe Than merujuk pada pasal pada undang-undang itu yang menyatakan bahwa Komisi Pemilihan harus menggelar pemilihan pada hari yang sama “sejauh mungkin”. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa kelonggaran bila pemilihan serentak tak mungkin digelar di seluruh negeri. Menurut Pe Than, pemilihan susulan ini pernah digelar oleh pemerintah di bawah Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis di awal 1950-an karena ada konflik bersenjata.

Myo Nyunt juga menyinggung soal keamanan pemilihan. “Gencatan senjata Arakan dan Tatmadawi itu baik untuk rakyat, tapi tak dapat menjamin pemilihan umum berlangsung bebas dan adil,” tuturnya.

Konflik di Rakhine telah mengganggu pemerintah lokal dan banyak kepala daerah mundur karena takut terhadap Arakan atau Tatmadaw. Hal ini berdampak pada kerja Komisi di daerah, yang sangat bergantung pada departemen administrasi umum, khusus di tingkat desa dan kecamatan. Selain itu, sekitar 220 ribu orang telah kehilangan tempat tinggal karena perang. Kemungkinan mereka dapat mencoblos semakin sulit di tengah birokrasi yang kekurangan sumber daya manusia.

Min Zaw Oo, Direktur Eksekutif Myanmar Institute for Peace and Security, menyatakan gencatan senjata tidak cukup untuk menjamin pemilihan umum dapat digelar karena daerah itu haruslah bebas dari ancaman bagi pemilih. “Saya menemukan, dalam beberapa kasus, pemilihan tak dapat dilakukan karena adanya ancaman, meskipun di daerah yang tak terjadi pertempuran,” katanya kepada Frontier Myanmar.

Zaw Oo menyodorkan data lembaganya yang menunjukkan bahwa lebih dari 300 bentrokan bersenjata terjadi di Rakhine pada tahun ini hingga Oktober lalu. Kebanyakan bentrokan terjadi di Rathedaung dan Kyauktaw, masing-masing 80 dan 67 kasus.

Liga Nasional untuk Demokrasi mengisyaratkan bahwa pemilihan umum susulan tak mungkin digelar bila tiga kandidatnya masih ditawan oleh Tentara Arakan. Daw Ni Ni May Myint, Daw Chit Chit Chaw, dan U Min Aung ditangkap oleh Arakan pada pertengahan Oktober lalu ketika sedang berkampanye di Taungup, Rakhine selatan.

Liga meminta mereka dibebaskan pada pertengahan November lalu. Arakan menyatakan para politikus itu telah diurus dengan baik tapi tak akan dibebaskan hingga tercapai saling pengertian di antara kedua belah pihak hingga perundingan selesai. Arakan mengisyaratkan mereka ingin tiga politikus itu ditukar dengan anggota mereka yang ditahan pemerintah, tapi pemerintah menolaknya. Menurut Min Zaw Oo, nasib ketiga kandidat akan berdampak pada keputusan soal pemilihan susulan.

Min Zaw Oo mengingatkan bahwa gagalnya negosiasi untuk menggelar pemilihan susulan pada akhir Desember ini dapat berujung pada pecahnya kembali permusuhan di Rakhine. “Tatmadaw telah mengirim tentara dan menggelontorkan senjata di Rakhine,” tuturnya. “Tampaknya ada rencana untuk melanjutkan peperangan jika perundingan gagal.”

IWAN KURNIAWAN (BURMA NEWS INTERNATIONAL, MYANMAR TIMES, FRONTIER MYANMAR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus