Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rumah tangga dan perumahan kian meminati pemasangan jaringan pipa gas pengganti elpji.
Pemerintah menyiapkan skema kerja sama dengan badan usaha yang siap dimulai pada 2021.
Badan Usaha Milik Negara dan daerah memikirkan solusi komersial.
BAGI Hanif Mantiq, ada dua jenis warga yang rajin datang ke kantor PT Jabar Energi di Depok, Jawa Barat. Pertama, pelanggan jaringan gas kota yang akan membayar tagihan bulanan. Kedua, warga yang meminta rumahnya disambungkan dengan pipa gas. “Kadang-kadang sampai ada yang demo minta disambung,” kata Hanif, Direktur Utama PT Jasa Sarana, Jumat, 11 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanif tak bisa berbuat banyak. Sejak menerima hak pengelolaan jaringan gas kota pada 2011 dari pemerintah pusat, Jabar Energi, anak usaha Jasa Sarana, hanya bisa mengelola jaringan yang sudah jadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2011, pemerintah membangun jaringan pipa gas itu untuk 4.000 rumah tangga di Depok, persisnya di Kelurahan Beji dan Beji Timur. Delapan tahun kemudian, pemerintah menambah 6.230 sambungan untuk rumah tangga di Kelurahan Beji, Kemiri Muka, Pondok Cina, Kukusan, dan Pondok Jaya. Mereka adalah rumah tangga kelas menengah ke bawah.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berusaha mengubah situasi itu sejak tahun lalu. Pada Februari 2019, dia menyurati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, meminta pemerintah daerah diberi wewenang membiayai pembangunan jaringan pipa gas. Emil—sapaan Ridwan Kamil—menyurati pemerintah pusat karena Undang-Undang Pemerintahan Daerah menyatakan urusan minyak dan gas bumi adalah wewenang pemerintah pusat.
Kementerian Energi menyambut permintaan Jawa Barat. Kementerian sedang mencari pola yang pas agar pemerintah daerah bisa ikut membangun jaringan pipa gas yang dikenal mahal tersebut.
Usul Emil itu dijadikan satu dengan konsep kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). “Supaya lebih masif dampaknya,” ucap Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Alimuddin Baso pada 11 Desember lalu.
Pada tahun ini pemerintah telah menggelar sejumlah uji publik konsep KPBU. Tahun depan, hasilnya diajukan ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan, termasuk soal penetapan proyek KPBU dan dukungan pemerintah, seperti dukungan kelayakan. Bagi Alimuddin dan pemerintah, KPBU merupakan solusi untuk menjawab persoalan lambatnya pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga. “Mungkin akhir 2021 sudah siap proyek-proyek KPBU-nya,” ujar Alimuddin.
Pemerintah sadar, untuk menyambungkan 4 juta rumah tangga pada 2024, apalagi 30 juta rumah tangga pada 2035—sesuai dengan Rencana Strategis Energi dan Sumber Daya Mineral dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024 serta Rencana Umum Energi Nasional 2024—pemerintah tidak mungkin hanya mengandalkan anggaran negara. Sejak 2009 sampai 2019, pemerintah baru sanggup menyambungkan 537.940 ribu rumah tangga dengan pipa gas. Sebanyak 310.730 ribu di antaranya baru tersambung pada 2015-2019. “Kami ingin menggantikan penggunaan elpiji dengan jargas. Tapi biayanya besar,” kata Djoko Siswanto, mantan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi yang kini menjabat Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, pada Rabu, 9 Desember lalu.
Jargas yang dimaksudkan Djoko adalah jaringan gas bumi berbasis pipa. Sejak jauh hari pemerintah menentukan jargas sebagai pengganti elpiji yang banyak disubsidi. Tidak seperti elpiji yang berbahan propana dan butana, gas bumi merupakan metana yang banyak ditemukan di lapangan migas domestik.
Berdasarkan penetapan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi pada November tahun lalu, harga jual gas bumi dalam jaringan gas untuk rumah tangga golongan 1 alias sederhana adalah Rp 4.250 per meter kubik. Harga itu lebih murah dibanding harga pasar elpiji 3 kilogram yang berkisar Rp 4.511-6.266 per meter kubik—sebagian ditanggung pemerintah lewat subsidi. Gas bumi untuk rumah tangga menengah juga masih lebih murah dibanding elpiji 12 kilogram, yaitu Rp 6.000 per meter kubik berbanding Rp 9.398-12.531 per meter kubik.
Sayangnya, gas pipa kalah praktis. Butuh modal besar untuk mengalirkannya ke rumah tangga. Sedangkan elpiji tidak memerlukan investasi besar. Berbentuk cairan, elpiji praktis dikemas dalam tabung baja.
+++
PEMERINTAH menghitung, untuk membangun jaringan pipa hingga 4 juta sambungan saja, dibutuhkan dana Rp 38,4 triliun. Anggaran negara selama empat tahun untuk jaringan gas awalnya Rp 4,1 triliun dengan target sambungan 326.070 rumah tangga. Gara-gara pandemi, target itu turun menjadi 256.062 sambungan.
Badan usaha milik negara mampu menyumbang sampai Rp 6,9 triliun dengan membangun 50 ribu sambungan pada 2020 dan 563.930 pada 2021. Artinya, sisa kebutuhan sekitar Rp 27,4 triliun harus disediakan sumber lain: pihak swasta. Aturan utama KPBU inilah yang dipersiapkan oleh Alimuddin Baso.
Jaringan gas kota terbentuk oleh dua model bisnis. Pertama, jaringan yang dibangun pemerintah. Setelah membangun, pemerintah menyerahkan pengelolaannya kepada badan usaha milik daerah dan BUMN. Hanya rumah tangga kelas menengah ke bawah yang mendapat sambungan gratis ini.
Model kedua adalah sambungan komersial. Pelaku dominannya PT Perusahaan Gas Negara alias PGN (Persero), yang kini telah menjadi subholding gas PT Pertamina (Persero). Sampai 31 Desember 2019, jumlah pelanggan gas bumi PGN baru 393.453 rumah tangga. Dari angka tersebut, sebanyak 199.388 sambungan rumah tangga dibangun dari anggaran negara. Artinya, baru 194.064 sambungan yang dibangun PGN dengan biaya komersial.
Tahun ini, PGN akan menambah 50 ribu sambungan mandiri lewat program GasKita Mandiri. Yang terbaru, pada November lalu, mereka meluncurkan BerandaMas, perumahan pintar di Bekasi, Jawa Barat, yang mengusung fasilitas terintegrasi. Setiap rumah telah dipasangi pipa gas dan fiber optik yang dioperasikan sendiri oleh PGNCOM—anak usaha PGN. “Ini bagian dari program Sayang Ibu,” tutur Direktur Utama PGN Suko Hartono pada akhir November lalu.
Ada inovasi sederhana dalam program jargas plus fiber optik itu. Alih-alih mendirikan jaringan dari titik pipa transmisi terdekat, PGN hanya membangun tangki timbun di sekitar perumahan. Barulah dari tangki timbun itu PGN membangun pipa distribusi langsung ke rumah-rumah. “Ini lebih murah dan efisien. Tinggal diisi ulang tangkinya,” ucap Suko.
Suko mengaku PGN telah berbicara dengan beberapa pengembang perumahan untuk meneruskan proyek percontohan di BerandaMas tersebut. Pembicaraan ini merupakan kelanjutan dari nota kesepahaman antara PGN dan Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia yang diteken pada Juni tahun lalu.
Badan usaha milik daerah seperti Jabar Energi juga mulai melirik peluang menjajakan sambungan komersial secara mandiri. Seperti Suko, Direktur Utama PT Jasa Sarana Hanif Mantiq mengaku telah berbicara dengan sejumlah pengembang yang menginginkan perumahannya dialiri gas bumi. “Bahkan ada pengembang di Jakarta yang sudah bicara,” kata Hanif. “Tapi kami tidak mau lompat pagar. Jawa Barat saja.”
Jabar Energi juga mulai menyiapkan sambungan mandiri untuk rumah tangga menengah ke bawah serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pada November lalu mereka meneken kerja sama pembiayaan sambungan mandiri dengan PT Lumbung Dana Indonesia, perusahaan peer-to-peer lending.
Lumbung Dana Indonesia berkomitmen menyediakan pendanaan sampai Rp 10 triliun untuk membantu biaya sambungan mandiri pelanggan UMKM dan retail. “Selama lima tahun kami menargetkan bisa membiayai 1 juta sambungan pipa gas,” ujar Rico Rustombi, pendiri dan Komisaris Utama Lumbung Dana Indonesia, pada Jumat, 11 Desember lalu.
Hanif yakin pembiayaan sambungan mandiri untuk UMKM dan retail tersebut merupakan jawaban atas mahalnya biaya pembangunan pipa distribusi gas. Jabar Energi menghitung, biaya sambungan gas bisa mencapai Rp 10 juta per pelanggan—biaya besar yang selama ini juga menghambat langkah pemerintah pusat membangun jaringan gas.
Khairul Anam
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo