Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Hilang Sinyal di Titik Terluar

Kontraktor masih menyelesaikan pembangunan BTS 4G di desa-desa terpencil. Banyak kendala teknis, dari lokasi yang jauh hingga gangguan keamanan.

11 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menara BTS di Timor Tengah Utara malah menyulitkan warga mengakses Internet.

  • Kontraktor belum menyelesaikan instalasi perangkat lunak di sejumlah menara BTS.

  • Pembangunan BTS 4G di Papua terhadang masalah keamanan.

ALIH-ALIH menjadi berkah, menara telekomunikasi itu malah membikin susah. Ini yang dialami warga Desa Nonotbatan, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Menara base transceiver station atau BTS 4G yang seharusnya memperlancar sambungan Internet di kawasan itu justru membuat sinyal byar-pet. “Sinyal malah stabil saat BTS itu tidak ada,” kata Theresia Buna, warga Desa Nonotbatan, kepada Tempo, Kamis, 9 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menara BTS setinggi 30-an meter itu berdiri sejak akhir tahun lalu. Menara ini adalah bagian dari proyek infrastruktur Internet yang digarap Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), badan layanan umum di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Theresia, sebelum ada BTS tersebut, warga Nonotbatan mengakses Internet lewat kantor Kecamatan Biboki Anleu yang berjarak 10 kilometer. Saat itu sinyal Internet lancar jaya. Setelah BTS di desanya berdiri, Theresia malah sulit untuk online. Dia mengaku tak mengetahui penyebab masalah ini.

Pengalaman yang sama diperoleh warga Desa Noelelo, Kecamatan Mutis, Timor Tengah Utara. Kepala Desa Noelelo, Grisogonus Sila, bercerita, sejak menara itu terbangun pada April lalu, warganya malah tidak bisa mengakses Internet. Untuk menelepon atau browsing lewat telepon seluler, warga desa yang berbatasan langsung dengan Timor Leste itu harus pergi ke kantor Kecamatan Mutis yang jaraknya 7 kilometer. “Awalnya sinyal hilang-timbul, kini tidak ada,” ujar Grisogonus.

Epro Obe, warga Desa Noelelo, mengatakan sinyal Internet di kantor Kecamatan Mutis berasal dari menara yang berada di Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. “Tapi ini juga lambat sekali, kecuali di atas jam 10 malam,” ucapnya.

Selain di Nonotbatan dan Noelelo, ada dua menara BTS 4G di Kabupaten Timor Tengah Utara, yaitu di Desa Tuamese, Kecamatan Biboki Anleu; dan Desa Naekake B, Kecamatan Mutis. Keempat menara itu dibangun oleh PT Semesta Energi Services, kontraktor pelaksana yang menjadi bagian dari konsorsium Fiberhome, PT Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia (Telkom Infra), dan PT Multi Trans Data. Fiberhome adalah konsorsium yang kebagian jatah pembangunan 1.435 BTS paket I dan II di Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Sumatera, Sulawesi, dan Maluku.

Kepada Tempo, teknisi yang menangani menara BTS di Desa Nonotbatan mengakui ada kendala sinyal. Setelah pembangunan menara selesai, dia menjelaskan, seharusnya pekerjaan berlanjut dengan instalasi perangkat lunak. Proses ini menjadi tugas Bakti dan operator seluler karena kontraktor hanya membangun, memasang, dan menguji menara.

Menara BTS 4G Bakti Kominfo di Desa Nonotbatan, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Foto: Marcel Manek

Kepala Divisi Infrastruktur Lastmile Backhaul Bakti Feriandi Mirza mengatakan data yang diterima lembaganya menyebutkan semua menara sudah siap beroperasi, kecuali di Desa Naekake B. “Perangkat transmisi belum selesai dipasang, rencananya bisa on air Agustus,” tuturnya. Menurut Feriandi, masalah semacam ini biasa terjadi dalam pemasangan infrastruktur jaringan seluler. “Termasuk jika ada pengguna yang hilang sinyal di area tertentu.”

Hilang sinyal pun hanya satu dari banyak persoalan dalam proyek menara BTS 4G di titik terluar Nusantara. Feriandi mengatakan akses ke daerah-daerah ini tidak gampang. Dia mencontohkan, peralatan menara hanya bisa dikirim ke lokasi dengan kapal kecil. “Sekali jalan tidak banyak yang bisa diangkut,” katanya.

Persoalan yang genting juga terjadi di Papua. Feriandi menjelaskan, selain wilayahnya hanya bisa dijangkau dengan pesawat, di pulau paling timur itu ada masalah keamanan. Dia mencontohkan, pada 2 Maret lalu polisi meminta kontraktor menghentikan sementara pembangunan BTS karena rawan diserang oleh kelompok bersenjata. "Ini akan mempengaruhi kecepatan proyek."

•••

MENGURUSI slot penerbangan ke sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat adalah tugas sehari-hari Benyamin Sembiring. Government Public Relation and Transportation PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera (IBS) ini bertanggung jawab mengatur pengiriman peralatan dan material untuk proyek menara BTS 4G di beberapa area pegunungan di Papua.

Material canggih seperti transmisi very small aperture terminal atau VSAT dan catu daya BTS dikirim dengan helikopter atau pesawat baling-baling. Menurut Benyamin, rencana pengiriman barang sering berubah lantaran cuaca buruk. Komunikasi dengan para teknisi di lokasi proyek juga terhambat karena di sana belum ada jaringan telekomunikasi yang stabil. “Kirim barang jadinya gambling karena tidak tahu kondisi cuaca di sana," ucapnya kepada Tempo, Ahad, 5 Juni lalu.

Kendala semacam itu, menurut Direktur Utama IBS Makmur Jaury, sudah biasa ditangani oleh timnya. Sebelum mengerjakan proyek BTS 4G, IBS terlibat dalam pembangunan jaringan optik Palapa Ring Paket Timur pada 2016. Makmur mengatakan pembangunan BTS juga sering terhambat karena masalah teknis. "Proyek ini belum ada referensinya. Kami juga harus membangun di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal dalam jumlah yang banyak dengan waktu relatif singkat,” tuturnya.

Meski begitu, Makmur mengaku tak surut semangat. "Kami punya misi membangun Papua," ujarnya. Dia mengungkapkan, pemegang saham IBS mewanti-wanti tim IBS agar mengejar proyek di Papua jika memang berniat ikut serta dalam program pembangunan BTS 4G Bakti. "Yang memilih lokasi itu juga cuma kami," kata Makmur.

IBS menggarap proyek BTS bersama ZTE Indonesia. Dua perusahaan itu memenangi tender pembangunan 1.811 menara BTS 4G paket IV dan V di kawasan Jayapura, Merauke, dan Timika. Proyek menara telekomunikasi di Papua juga digarap oleh konsorsium Lintasarta, Huawei, dan PT Surya Energi Indotama (SEI). Mereka menggarap pembangunan 954 menara BTS di Papua dan Papua Barat.   

Berdasarkan data yang diperoleh Tempo, hingga Mei lalu konsorsium Lintasarta-Huawei-SEI sudah menyelesaikan pembangunan menara 4G di 867 lokasi (site). Statusnya adalah ready for installation (RFI) atau siap dipasangi perangkat jaringan Internet oleh operator. Selain itu, ada 786 site yang mencapai status on air alias sudah tersambung. Per Maret 2022, 948 site telah mencapai status ready for commissioning (RFC) atau siap diuji.

Pada periode yang sama, konsorsium IBS-ZTE Indonesia sudah menyelesaikan pembangunan di 682 site dengan status RFI dan di 587 site dengan status on air. Dua bulan sebelumnya, IBS dan ZTE menyelesaikan pekerjaan di 1.718 site dengan status RFC. 

Makmur optimistis tim IBS bisa menyelesaikan target pembangunan BTS 4G pada Desember 2022. Menurut dia, pembebasan lahan atau land clearing sedang berjalan. Saat ini ada 1.000-an lokasi yang telah dipetakan dan disiapkan serta 900-an titik yang sudah dalam pembangunan. Di lokasi itu 800 menara sudah berdiri dan 550 lainnya telah on air. "Masyarakat di sana sudah mulai menikmatinya," ucapnya. 

MARCEL MANEK (TIMOR TENGAH UTARA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus