Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia.
Saat pertumbuhan ekonomi global lesu, Indonesia malah bergairah.
Anggaran negara terancam tekor jika harga komoditas yang disubsidi terus melonjak
PROSPEK pertumbuhan ekonomi dunia makin suram. Itulah inti laporan Bank Dunia terbaru, Global Economic Prospect, yang terbit awal Juni ini. Dua fokus khusus laporan itu semuanya berisi sentimen negatif: datangnya stagflasi global dan invasi Rusia ke Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menimbang buruknya latar belakang itu, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2022 menjadi 2,9 persen, merosot 1,2 persen ketimbang hitungan Januari lalu. Pertumbuhan di negara dan ekonomi yang sedang berkembang atau emerging market and developing economies (EMDEs) juga melambat. Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan EMDEs tahun ini menjadi 3,4 persen, 1,2 persen lebih rendah daripada laporan Januari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar baiknya, ketika ekonomi dunia mulai lesu, ekonomi Indonesia malah bergairah terdongkrak lonjakan harga komoditas ekspor. Itu sebabnya Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun ini masih bisa tumbuh 5,1 persen, hanya 0,1 lebih rendah dari hitungan Januari lalu.
Kendati demikian, investor sebaiknya tetap mengawasi beberapa kemungkinan. Misalnya tingginya harga komoditas juga berpotensi menambah inflasi karena pesatnya ekspansi sektor pertambangan ataupun perkebunan yang menghasilkan komoditas ekspor. Para pengusaha tentu menggunakan kesempatan baik ini untuk menambah kapasitas. Pertumbuhan yang cepat di sini akan memperbesar inflasi di dalam negeri dengan rentetan dampak negatif yang begitu panjang.
Risiko fiskal Indonesia juga makin besar. Anggaran negara sekarang harus memikul tambahan beban sangat berat karena pemerintah meredam inflasi dengan memberi subsidi. Salah satunya subsidi energi. Harga Pertalite dan elpiji 3 kilogram serta tarif listrik rumah tangga berkapasitas 3.000 watt ke bawah diikat tak boleh naik. Ongkos kebijakan itu sangat besar dan bisa meledak jauh lebih tinggi dari Rp 520 triliun yang dianggarkan tahun ini.
Sebab, subsidi ibarat candu. Sekali konsumen menikmati, subsidi susah sekali dicabut. Biarpun kondisi keuangan pemerintah sudah tak tertahankan untuk melanjutkan subsidi, konsumen akan tetap menuntutnya. Sampai dua tahun ke depan pun beban subsidi kemungkinan besar terus menggerogoti anggaran negara. Ketika jadwal pemilihan umum makin dekat, keberanian politikus mencabut subsidi pun makin kecil.
Kondisi finansial pemerintah bisa kian runyam jika harga komoditas yang disubsidi terus melonjak. Harga minyak Brent, misalnya, yang merupakan patokan dunia untuk harga minyak ataupun energi, per akhir pekan, 10 Juni lalu, sudah mencapai US$ 122. Kenaikan ini bisa terus berlanjut, entah sampai mana batasnya. Kesehatan fiskal Indonesia kini terancam harus menanggung risiko yang bisa dibilang tanpa batas itu.
Karena anggaran tersedot subsidi yang jumlahnya begitu besar, pemerintah harus tetap membuat utang baru untuk menutup defisit anggaran. Padahal lonjakan utang pemerintah dalam dua tahun terakhir sudah luar biasa besarnya. Sejak akhir 2019 hingga Maret 2022, ada tambahan utang pemerintah Rp 2.266 triliun.
Laporan Bank Dunia menyebutkan lonjakan utang di EMDEs juga berpotensi memicu krisis finansial. Itu sebabnya pasar finansial saat ini menaruh perhatian besar pada posisi utang pemerintah yang per Maret 2022 sudah mencapai Rp 7.052 triliun.
Pertanyaan kuncinya: apakah anggaran masih kredibel, mampu menanggung beban pembayaran utang dan bunganya dalam jangka panjang? Beban pembayaran utang ini akan bertambah dengan pesat jika pemerintah tetap menambah utang ketika situasi pasar global sedang bergejolak dan bunga naik di mana-mana. Jika tak dikelola dengan sangat berhati-hati, lonjakan utang yang tak terkendali dapat menjebloskan ekonomi Indonesia ke dalam marabahaya.
Ada pelajaran penting dari 1980-an yang semestinya membuat investor tak terbuai proyeksi mengkilap. Ketika dunia akhirnya terjerumus ke dalam resesi, harga komoditas jatuh terempas. Ekonomi negara-negara eksportir komoditas, yang sebelumnya terbuai nikmatnya harga, terpuruk kehilangan daya.
Maka janganlah terbuai prediksi pertumbuhan ekonomi yang mengkilap. Ketika air hujan datang melimpah, lebih baik kita siapkan embung demi menghadapi masa kerontang yang niscaya akan tiba.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo