Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ketika Loujain Dilarang Mengemudi

Loujain al-Hathloul, aktivis perempuan Arab Saudi, disidang dalam pengadilan khusus terorisme. Dia hanya menuntut hak perempuan untuk mengemudikan mobil.

26 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Demonstran dari Amensty Internasional menuntut pembebasan aktivis perempuan Arab Saudi, Loujain al-Hathloul, Eman al-Nafjan, dan Aziza al-Yousef di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, di Paris, Prancis, Maret 2019. Reuters/Benoit Tessier

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Loujain al-Hathloul, aktivis perempuan Arab Saudi, disidang dalam pengadilan terorisme karena menuntut hak perempuan untuk mengemudi mobil dan menghapus perwalian lelaki.

  • Loujain kerap ditangkap dan dipenjara.

  • Mayoritas penduduk Saudi setuju perempuan bisa mengemudi sendiri dan bekerja.

BERTAHUN-tahun lalu, cita-cita Loujain al-Hathloul sederhana belaka: mengemudikan sendiri mobilnya. Keinginan perempuan kelahiran Jedah, 31 Juli 1989, itu sulit diwujudkan karena negaranya melarang perempuan menyetir. Saudi adalah satu-satunya negara di dunia yang memberlakukan aturan itu. Tetangganya, Uni Emirat Arab, bahkan punya perempuan pembalap mobil Formula E pertama di Timur Tengah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerak perempuan semakin terbatas karena Saudi menerapkan pula sistem perwalian lelaki: semua tindakan perempuan, termasuk belanja dan bekerja, harus atas izin dan pendampingan suami atau saudara lelakinya. Para pelanggar akan dijatuhi hukuman denda, cambuk, atau penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penerapan syariat Islam secara ketat itu mengikuti pandangan ulama-ulama Wahabi yang menjadi penasihat kerajaan. Ulama Saudi, seperti Syekh Saleh al-Lohaidan, berpendapat kegiatan mengemudi akan berdampak negatif bagi rahim perempuan. “Kami menemukan bahwa perempuan yang rutin mengemudi punya anak-anak dengan berbagai gangguan klinis,” katanya.

Loujain berpendapat lain. “Dengan mencegah pergerakan, Anda mencegah pemberdayaan dan mencegah perempuan mengurusi dirinya sendiri. Itulah kunci kemandirian,” ucapnya kepada Financial Times pada 2017. Selain itu, “Perempuan harus menghabiskan 30-40 persen pendapatannya hanya untuk menggaji sopir demi hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti bolak-balik dari rumah ke tempat kerja,” tutur Loujain kepada The Economist.

Ia tak sendiri. Banyak perempuan Saudi lain yang punya keinginan serupa. Survei Gallup pada 2017 menunjukkan 60 persen perempuan dan 55 persen lelaki Saudi setuju bahwa perempuan berhak mengemudi. Adapun 82 persen perempuan dan 75 persen lelaki mendukung perempuan bekerja.

Protesnya dimulai pada 2011. Saat itu, dia sedang belajar sastra Prancis di University of British Columbia, Kanada. Melalui Keek, media sosial untuk berbagi video pendek yang populer di Saudi, ia berinteraksi dengan perempuan-perempuan Saudi lain. Di platform itu juga ia mengunggah video yang menunjukkan rambutnya yang tak berkerudung, tindakan yang dianggap melanggar syariat Islam di Saudi. Video itu menular dan ditonton sekitar lima juta orang. Tapi ada kritik bahwa dia berani karena sedang bermukim di Kanada.

Ia kemudian mengepak pakaiannya dan mendarat di Riyadh, ibu kota Saudi, pada 21 Oktober 2013. Ayahnya, seorang perwira Angkatan Laut Saudi, memberinya kunci mobil dan merekam Loujain yang sedang mengemudi. Video itu viral dan melambungkan nama Loujain sebagai salah satu tokoh gerakan perempuan mengemudi. Esoknya, Kementerian Dalam Negeri memanggil ayahnya dan memintanya meneken perjanjian yang melarang putrinya memakai mobil lagi.

Loujain kemudian merantau ke Abu Dhabi, Emirat, untuk mengambil gelar master sambil bekerja. Di sanalah dia mendapat surat izin mengemudi yang berlaku di semua negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk, termasuk Saudi. Sepekan setelah menikah dengan komika terkenal Fahad Albutairi pada 2014, dia diam-diam mengemudi selama tiga setengah jam melintasi gurun pasir menuju perbatasan Saudi.

Di pintu perbatasan, mobilnya disetop. Loujain, yang baru berumur 25 tahun, ditahan di penjara anak selama 73 hari karena dianggap mengancam keamanan nasional. Ia akhirnya dibebaskan setelah menandatangani perjanjian untuk tak lagi berbicara soal hak perempuan mengemudi melalui video. “Saya suka pengalaman itu dan tak menyesalinya,” ucapnya, beberapa waktu kemudian.

Pada 2015, Loujain mendaftar sebagai kandidat dalam pemilihan umum anggota dewan kota. Wewenang dewan kota sebenarnya kecil, seperti mengurusi sampah dan memperbaiki jalan. Namun ini pemilihan umum pertama yang mengizinkan perempuan untuk dipilih. Separuh penduduk mencoblos dan 20 perempuan kemudian terpilih untuk duduk di 132 ribu kursi anggota dewan. Loujain tak pernah dipilih karena namanya dicoret dari pencalonan tanpa alasan jelas.

Pada September 2016, ia bersama 14 ribu perempuan lain mengajukan petisi ke Raja Salman yang meminta penghapusan sistem perwalian lelaki. Setahun kemudian, Pangeran Muhammad bin Salman, penguasa de facto Saudi, mengumumkan bahwa mulai Juni 2018 perempuan boleh mengemudi. Loujain tak sempat menikmati buah kampanyenya.

Setahun sebelumnya, pada Februari 2017, Loujain bersama sejumlah aktivis lain memberi testimoni dalam forum Komisi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss. Komisi kemudian mengeluarkan seruan agar Saudi menghentikan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk penghapusan sistem perwalian lelaki dan pemberian akses penuh terhadap keadilan.

Saat pulang dari Jenewa, Loujain disambut polisi di Bandar Udara Internasional Raja Fahd. Ia ditahan selama tiga hari tanpa alasan jelas dan tanpa didampingi pengacara. Pada Maret 2018, polisi Saudi “menculiknya” di Abu Dhabi dan mendeportasinya ke Riyadh. Pada Mei tahun itu juga, polisi kembali menahan Loujain bersama sejumlah perempuan aktivis lain, seperti Eman al-Nafjan, Aisha al-Mana, Aziza al-Yousef, dan Madeha al-Ajroush. Mereka ditahan di Penjara Pusat Dhahban. Sejak saat itu, Loujain tak pernah kembali.

Menurut dokumen pengadilan, yang beberapa kali diubah, Loujain didakwa dalam beberapa kasus. Dia dituduh, antara lain, berusaha mengubah sistem pemerintahan dan konstitusi, menuntut pengakuan atas hak-hak perempuan yang sudah diakui dalam syariat Islam, menuntut penghapusan sistem perwalian lelaki, menghadiri seminar tentang perempuan Saudi, dan berkampanye tentang hal-hal tersebut di media sosial. Dia juga didakwa telah berkomunikasi dengan jurnalis asing dan organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International.

Pada bulan-bulan pertama penahanan, keluarga dan pengacaranya tak dapat menghubunginya. Amnesty International melaporkan bahwa selama di penjara Loujain dan para aktivis lain mengalami berbagai penyiksaan, termasuk disetrum, dicambuk, dan perundungan seksual. Pemerintah membantah laporan tersebut.

Selama hampir dua tahun keluarganya tak pernah bertatap muka dengan Loujain. Mereka hanya sesekali dapat bercakap-cakap melalui telepon. Oktober lalu, Loujain melakukan mogok makan untuk menuntut bertemu dengan orang tuanya. Aksi mogoknya berakhir pada hari keenam setelah tuntutannya dipenuhi.

Hingga kini, sekitar 30 negara telah meminta Saudi membebaskan Loujain dan para aktivis lain. Organisasi hak asasi, seperti Human Rights Watch dan Amnesty International, juga menyerukan hal yang sama. Namun Pangeran Muhammad bin Salman bergeming. Ia yakin bahwa Loujain telah bekerja sebagai mata-mata asing dan mengklaim punya video yang membuktikan hal itu.

Sejak November lalu, kasus Loujain dialihkan ke Pengadilan Khusus Terorisme. Jaksa mengajukan tuntutan 30 tahun penjara, tuntutan maksimum dalam hukum Saudi, pada sidang pertama kasus ini di pengadilan Riyadh, 10 Desember lalu.

“Mereka bilang dia (Loujain) adalah teroris—kenyataannya dia adalah seorang humanis, aktivis, dan perempuan yang hanya ingin membuat dunia ini menjadi lebih baik dan lebih adil,” tulis Lina al-Hathloul, adik Loujain, di Twitter, 16 Desember lalu. “Kakakku harus dibebaskan. Yang dia lakukan adalah meminta perempuan diperlakukan dengan hormat dan diberi kebebasan yang sudah seharusnya menjadi hak mereka.”

IWAN KURNIAWAN (FINANCIAL TIMES, THE ECONOMIST, BBC, MIDDLE EAST EYE)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus