Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 147 pastor di Papua mendukung seruan moral menolak kekerasan.
Sikap mereka tidak didukung oleh para uskup.
Para pastor di Papua mengkritik Konferensi Waligereja Indonesia.
GRUP WhatsApp “Pastores se-Papua” mendadak lebih ramai dari biasanya pada akhir November lalu. Grup yang beranggotakan ratusan imam di Papua itu mempersoalkan kekerasan yang terus terjadi di wilayah mereka. Pastor Pembina Orang Muda Katolik Keuskupan Jayapura, Alberto John Bunay, anggota grup itu, bercerita, para pastor bersepakat membuat seruan moral. “Setelah diskusi panjang, kami merasa perlu bersuara agar kekerasan segera berakhir,” ujarnya ketika dihubungi Tempo, Rabu, 23 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama beberapa hari, mereka menyusun draf pernyataan sikap yang akan disampaikan kepada publik. Menurut Alberto, beberapa kali draf direvisi karena mereka tak ingin seruan tersebut masuk ke ranah politik. Para pastor bersepakat mendorong dialog untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Tak semua pastor sepakat dengan seruan tersebut. Anselmus Amo, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, menyatakan tak mau mengikuti jejak koleganya. “Masih ada cara lain tanpa lewat seruan,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tercatat ada 147 pastor dari lima keuskupan, yaitu Jayapura, Timika, Merauke, Agats, dan Sorong-Manokwari, dan dari enam kongregasi mencantumkan nama mereka di dalam seruan tersebut. Jumlah umat Katolik di Provinsi Papua pada 2010 sebesar 545 ribu atau sekitar 17,67 persen, sedangkan di Papua Barat sebanyak 53 ribu atau sekitar 7,03 persen. Adapun di pulau Papua, mayoritas penduduk beragama Kristen.
Pada 10 Desember lalu, bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, seruan itu dibacakan. Seruan pertama ditujukan kepada Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI serta Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat agar menghentikan kekerasan bersenjata. “Sadarlah bahwa keselamatan nyawa manusia tidak berada di ujung laras senjata saudara sekalian,” tertulis dalam pernyataan tersebut. Mereka juga mendesak Presiden Joko Widodo mengevaluasi dampak penambahan pasukan ke Papua serta menarik semua pasukan non-organik TNI dan polisi.
Menurut Pastor Alberto, seruan itu muncul lantaran kekerasan sudah masuk ke gereja-gereja. Pada 26 Oktober lalu, seorang pewarta Gereja Katolik, Rafinus Tigau, tewas ditembak aparat di halaman rumahnya di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya. Rafinus dituding sebagai anggota kelompok kriminal separatis bersenjata. Padahal, menurut Alberto, Rafinus adalah katekis di Paroki Jalae, Sugapa, Intan Jaya. Pada 19 September, Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya juga tewas setelah ditembak. Pelakunya diduga tentara yang tengah berpatroli.
Para pastor juga mengkritik Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang cenderung diam terhadap kekerasan di Papua. Mereka mempersoalkan KWI yang cepat menyampaikan sikap terhadap pembunuhan satu keluarga di Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada 27 November lalu. Lima hari kemudian, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia yang juga Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, mengecam teror yang disertai pembakaran rumah pelayanan umat kristiani itu. “Para uskup Indonesia jangan tinggal diam atau tak mau tahu dengan kondisi di Papua,” ujar Pastor Alberto.
Namun para uskup tak mendukung sikap para pastor itu. Kepada Tempo, Uskup Agung Merauke, Petrus Canisius Mandagi, mengatakan sikap ratusan pastor itu tak mewakili suara para uskup di Papua. Menurut dia, para pastor yang menyatakan seruan itu berjalan sendiri. “Mereka seharusnya mendengar uskup karena pastor itu di bawah uskup,” kata Mandagi. Meski begitu, Mandagi tak marah atas seruan para pastor itu dan menilainya sebagai masukan.
Sepekan sebelum para pastor menyatakan sikap, Mandagi dan empat uskup lain diundang Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Md. ke rumahnya. Namun hanya Mandagi; Uskup Agats, Aloysius Murwito; dan Uskup Agung Jakarta yang hadir. Selama lebih dari satu jam, pertemuan yang disertai dengan makan malam itu membahas soal kekerasan yang terjadi di Bumi Cenderawasih.
Mandagi mengaku menyampaikan kepada Mahfud bahwa kekerasan di Papua harus dihentikan. Dia mengatakan tak semestinya rakyat Papua diperlakukan buruk oleh aparat negara. Meski begitu, Mandagi tak meminta Mahfud menarik militer dari Papua. Dia mengatakan keberadaan militer tetap dibutuhkan untuk menjaga keamanan. “Militer ada untuk keamanan. Negara tanpa militer, omong kosong, toh?” tutur Mandagi.
Sebelum bertemu dengan Mahfud, Mandagi berjumpa dengan Panglima TNI Hadi Tjahjanto. Pertemuan itu juga membahas situasi kekerasan di Papua. Kepada Hadi, Mandagi meminta tentara yang bertugas di sana memiliki jiwa kemanusiaan tinggi dan tak memandang rendah rakyat Papua. Dia juga menyarankan tentara yang masuk ke Papua adalah tentara yang memiliki psikologi stabil supaya tak menyalahgunakan senjatanya.
Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Ignatius Suharyo mengakui ada perbedaan sikap antara para uskup dan pastor. “Saya mengakui dengan jujur bahwa mungkin ada perbedaan pendapat di antara para uskup dan teman-teman di lapangan,” katanya. Suharyo menilai gerakan pastor itu tak mewakili sikap Gereja Katolik. “Sikap konkret gereja itu semestinya melalui para uskup,” ujarnya.
Ditanyai soal sikap Gereja Katolik terhadap kekerasan yang terjadi berulang kali, Suharyo hanya menyatakan lembaganya menghormati kehidupan dan martabat manusia. Gereja Katolik, kata dia, memiliki cara sendiri menyikapi kekerasan di sana. Salah satunya dengan bertanya kepada para uskup di Papua dalam sidang tahunan KWI. Menurut Suharyo, kondisi di Papua lebih dipahami oleh para uskup di wilayah tersebut. “Uskup Papua lebih tahu kondisi di sana daripada saya.” Suharyo pun memilih tak merespons sikap para pastor di Papua berdasarkan saran dari Uskup Mandagi.
Pastor Paroki Santo Misael Bilogai, P. Yustinus Rahagiar, justru menilai Gereja Katolik perlu bersuara nyaring terhadap kekerasan yang terjadi di Papua. Yustinus, yang kerap mendampingi orang Papua dalam berbagai kasus, seperti pelanggaran hak asasi manusia di daerah Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan sekitarnya, mengaku merasakan dan menyaksikan langsung kekerasan yang terjadi di sejumlah wilayah. Ia pun menilai kekerasan di Papua terus-menerus terjadi.
Sedangkan Pastor Pembina Orang Muda Katolik Keuskupan Jayapura, Alberto John Bunay, menilai gerakan para gembala—sebutan untuk pastor—menolak kekerasan di Papua diperlukan untuk mendorong dialog. Alberto pun menyatakan gerakan itu tak bersifat politik, tapi murni seruan moral. “Makanya kami tidak menyatakan Papua merdeka atau tidak merdeka.”
DEVY ERNIS, MAHARDIKA SATRIA HADI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo