Jumat, 19 Desember 2003
Ruwesiyed di Jumat pagi hari pukul delapan melemparkan saya pada masa lalu yang rasanya baru kemarin. Kawasan yang hanya berada 25 kilometer dari Amman, Yordania, ini memiliki sebuah restoran yang dikenal semua wartawan yang pernah masuk ke Bagdad di masa perang April silam, Restoran Abu Saif. Ia menjadi kedai favorit bukan karena ialah satu-satunya kedai sepanjang Amman-Bagdad, melainkan karena dinding kedai itu menyajikan "pameran" kartu nama para wartawan seluruh dunia yang pernah meliput di kawasan itu. Kartu nama saya pun terlihat masih ada ketika mampir ke tempat ini dalam perjalanan pulang dari Bagdad, setelah invasi AS dan Bagdad jatuh. "Rommy Fibri, TEMPO". Sebuah kekenesan? Saya ingat pesan para redaktur yang meski ramah akan bersikap no-nonsense dan saya ingat deadline, maka acara "reuni" dengan kedai ini segera saya tunaikan dengan segera melahap sarapan.
Sejam kemudian, saya sudah sampai di Al-Karama, perbatasan Yordania-Irak. Antrean terlihat sangat panjang. Untunglah, sopir yang membawa saya gesit melakukan zig-zag sebentar, dan mobil pun sudah parkir di depan bangunan imigrasi Yordania. Tumpukan paspor yang akan dicap mencapai setengah meter. Meski begitu, hanya sekitar 10 menit nama saya sudah dipanggil, dan urusan paspor kelar. Berikutnya jauh lebih cepat lagi, karena petugas imigrasi Irak hanya menstempel paspor saya, tanpa melihat dan bertanya sama sekali. Waduh, saya jadi teringat saat pertama menembus Bagdad dulu. Lutut sampai gemetaran karena diinterogasi dan digeledah.
Selepas perbatasan, mobil perlu diisi bensin. Namun, dari empat pom bensin yang ada, hanya satu yang tersisa. Antrean panjang membuat orang-orang saling berebutan di depan. Adu mulut jadi pemandangan jamak. Bahkan ada pula yang siap baku-tempeleng. Meski agak jengkel, saya bertanya pelan ke sopir, "Kenapa tidak siap di jerigen seperti sopir lainnya?" Ia menjawab dengan lirih, "Di Yordania, harga bensin jauh lebih mahal. Makanya mendingan beli di wilayah Irak." Akibatnya, saya harus tertahan selama hampir lima jam. Perjalanan masih 530 kilometer lagi. Tapi beruntung, pukul 20.00 saya sudah masuk Bagdad.
Hal pertama yang saya lakukan adalah makan di Restoran Al-Sa'ah di kawasan Al-Mansour. Bangunan dan kaca restoran ini dulu pecah akibat rumah di belakangnya dihajar bom. Lubang berdiameter 10 meter sudah tak tampak lagi. Restoran pun sudah berbenah.
Selepasnya, saya menuju Hotel Sheraton, tempat saya dulu menginap di masa perang. Nyatanya, Hotel Sheraton dan Palestine dikelilingi pagar beton ber- kawat. Untuk masuk ke sana, harus diperiksa dari ujung rambut hingga kaki. Maklum, kini di kedua hotel itu me- nginap pejabat militer pasukan koalisi. Karena saya merasa tak akan bebas dengan birokrasi geledah yang makan waktu itu, saya memutuskan ke Hotel Coral Palace, tak jauh dari Kedutaan Indonesia yang masih tutup.
Sabtu, 20 Desember 2003
Pagi sekali, saya menyambangi kantor Partai Uni Patriotik Kurdistan (PUK) untuk wawancara. Adel Murad, pejabat biro politik PUK, di kawasan Yarmuk, adalah wakil Jalal Talabani (Presiden PUK) di Dewan Pemerintahan Irak.
Setelah menunggu satu setengah jam, Adel pun datang. Langsung saya diajak ke ruang kerjanya. Untuk orang yang baru ketemu pertama kali, orang-orang Kurdi terhitung ramah. Bak kawan yang sudah lama tak bersua, saya mengobrol panjang-lebar. Adel sempat bertanya perkembangan hubungan Timor Leste dengan Indonesia. "Tapi saya tidak ingin seperti Timor, yang memisahkan diri," katanya.
Selepas itu, saya keliling Bagdad. Kota ini sekarang sudah jauh lebih ramai daripada ketika saya di sini saat perang dulu. Jalanan macet, mobil-mobil saling selonong di perempatan, dan angkutan umum sudah semuanya jalan. Terminal pusat Alawiyah pun seperti sedang "muntah-muntah" akibat lubernya penumpang.
Minggu, 21 Desember 2003
Karbala, sebuah kota suci kaum Syiah, terletak sekitar dua jam perjalanan dari Bagdad ke arah selatan. Di jalan tol Mohamad al-Qashim, terlihat antrean mobil di pom bensin Al-Qashim. Setelah menghitung penunjuk jarak di mobil yang memperlihatkan angka 2,8, saya baru memahami. Bayangkan, untuk men-dapatkan bensin 30 liter (karena adanya pembatasan—Red) saja, mereka harus antre sepanjang 2,8 kilometer.
Di padang tandus Karbala, tersebutlah sebuah makam Al-Husain, cucu Nabi Muhamad. Di saat perang April tahun silam, hampir seluruh penduduk di sekitar Karbala pergi mengungsi. Seperti halnya Abu Qusayn Adnan, Manajer Hotel Darus Sultan, yang berada tak jauh dari makam Husain, yang terpaksa mengungsi ke Kut (sebelah tenggara Bagdad). Ia tak mau ambil risiko terkena bom nyasar atau bahkan tertembak tank. "Yang penting, kami harus selamat," katanya.
Setelah Bagdad jatuh, lautan peziarah kaum Syiah dari seluruh dunia berdatangan ke makam ini. Syahdan, ada dua bangunan suci di Karbala: makam Al-Husain dan makam Al-Abas, saudara Husain yang ikut berperang. Bedanya, dalam satu bangunan menara dengan Al-Husain, terdapat makam Al-Hurr dan seorang bayi. Al-Hurr dikenal sebagai panglima perang Husain yang tangguh dan tetap mengibarkan bendera perang hingga terbunuh oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Adapun sang bayi terkena panah saat berada di pangkuan Husain.
Kini Karbala sudah berdenyut kembali. Ratusan peziarah menyambangi tempat suci ini, berdoa sembari menangis tersedu-sedu. Ada yang datang dari Iran, Pakistan, Libanon, dan dari lokal Irak. Sayid Hamid Ridha, mursyid asal Iran, mengaku sudah puluhan kali men- gunjungi Karbala. "Saya selalu mengajak murid saat ziarah ke Karbala," ujarnya.
Setelah cukup lama berbincang dengan banyak orang, saya kembali ke Bagdad. Sopir yang mengantar saya sehari-hari takut sekali jika harus berkendara di malam hari. Alasannya, dia takut ada kontak senjata atau perampok bersenjata. Selain itu, Bagdad masih mengalami giliran penggunaan listrik: dua jam hidup dan empat jam mati.
Senin, 22 Desember 2003
Sebuah surat elektronik dari Jakarta meminta saya mengunjungi Falujah dan Ramadi, yang terletak di sebelah barat Bagdad. Baiklah, ini dia kerja wartawan perang. Dua kota ini tak pernah kosong menghiasi surat kabar harian lokal maupun internasional karena seringnya ter-jadi bentrokan bersenjata antara pasukan koalisi dan gerilyawan. Bahkan manajemen hotel pun sempat cemas saat tahu saya mau ke kota itu. "Hati-hati ya, di sana rawan sekali," kata Shameera, manajer operasional.
Sekitar pukul 10.30, saya memasuki Kota Falujah. Di jalan utama, tampak pasukan AS sedang melakukan operasi rutin. Menurut Sersan Roberts dari Divisi Infanteri 1/16, pasukannya meronda jalanan Falujah sejak pukul 05.00 pagi. Hingga bertemu dengan TEMPO, mereka belum menemukan seorang gerilyawan pun.
Setelah bercengkerama sebentar dengan Roberts dan kawan-kawan, saya menuju ke kantor Kongres Falujah. Se-lain markas para tetua atau kepala suku Falujah, kantor itu juga jadi markas komando Falujah Protection Force (FPF). Kelompok paramiliter ini bertugas membantu polisi mengamankan kota. Saya berbincang-bincang dengan mereka. Ahmad Chalaf, pejabat penting di FPF, mengakui bahwa rakyat Falujah amat tidak menyukai adanya tentara Amerika di kota mereka. "Kami membantu polisi mengamankan Falujah. Tapi, kalau para gerilyawan itu menembak AS, ya urusan mereka sendiri," ujarnya. Tapi ia buru-buru menambahkan, "Kami tidak tahu siapa yang menembak AS."
Memang, Falujah masih tergolong rawan. Sejumlah kontak senjata dengan pasukan AS masih sering terjadi.Pe- nyebab perlawanan ini bisa jadi sudah sangat kompleks dan akumulatif. Saat perang berlangsung, para imam masjid menyerukan fatwa agar penduduk Falujah dan Ramadi berjuang mempertahankan setiap jengkal tanah mereka. Hingga kini, fatwa itu belum dicabut.
Ketika saya menemui salah seorang imam masjid yang menolak disebutkan namanya, ia mengakui bahwa fatwa berjihad memang belum dicabut. "Setiap muslim wajib berjihad mempertahankan tanah airnya dari orang asing yang akan menjajahnya," ujarnya.
Kebetulan saya bertemu seorang mujahid yang memperkenalkan dirinya, katakanlah namanya Abdul. Ia mengaku, semula dia masih pasif melihat tentara koalisi hilir-mudik di kotanya. Tapi, ke-tika rumahnya di kawasan Halabsa ditembaki tanpa sebab, ia pun angkat senjata. Buat Abdul, bermain-main dengan senjata sudah biasa bagi warga Irak. Mereka mendapat latihan militer karena pada masa rezim Saddam Hussein se- tiap pemuda dikenai wajib militer. "Kami juga masih punya persediaan amunisi yang cukup," ujarnya. Ia juga mengaku sudah biasa bergerak dari Falujah ke Ramadi, dan sebaliknya.
Terletak sekitar 15 kilometer dari Falujah, Ramadi bagaikan kota kembar. Perlawanan masih menyala di sini. Dan agaknya tentara AS menangani kota ini dengan serius. Di hampir setiap 300 meter, pasti ada barikade yang memeriksa setiap mobil.
Saya banyak berbincang dengan penjahit, tukang buah, pelajar madrasah, dan juga jemaah masjid. Secara umum, kehidupan penduduk di kota tersebut berjalan seperti biasa. Mereka keluar di pagi hari, ke masjid, pergi sekolah, makan atau minum teh di resto terbuka, dan juga berdagang di pasar. Hidup di Ramadi tak memberi kesan bahwa kota mereka tengah bergolak. Tapi satu hal kemudian menjadi ciri khas warga Ramadi: matanya terpicing curiga saat melihat orang asing. Bahkan ketika saya menyusuri pasar, warga Ramadi menatap saya penuh curiga.
Kedua kota ini memang memiliki tradisi perlawanan. Bahkan sejak 1970-an, mereka menyatakan perang terhadap rezim Saddam. Semangat perlawanan rakyat Falujah dan Ramadi tak pernah berhenti. Saya menyaksikan, ketika jip dan tank tentara Amerika merangsek di jalanan, anak-anak di pinggiran jalan melempari mereka dengan batu. Jika batunya keras menimpa tank, mereka tertawa bersama. Pemandangan ini jamak di-temukan di Palestina, bukannya di Irak. Tapi anak-anak di Ramadi dan Falujah sudah menganggap negerinya seperti Palestina.
Selasa, 23 Desember 2003
Tikrit. Ini kata yang populer bagi dunia Barat setelah Bagdad. Pagi ini, saya meluncur ke Tikrit, kampung halaman Saddam Hussein, sebagai sebuah kewajiban. Bukankah seluruh dunia menoleh ke Kota Tikrit setelah Saddam Hussein akhirnya ditemukan di sebuah gudang di bawah tanah?
Dengan tragedi itu, toh Tikrit masih menyambut dengan sebuah pintu gerbang beton ala Champ Elysses Paris. Di masa lalu, ada patung Saddam menjelang masuk kota. Tapi, seperti halnya di se-luruh bagian Irak, tak ada lagi patung maupun gambar bekas diktator Irak itu.
Meski begitu, masih ada Masjid Saddam yang gagah yang berdiri di Jalan 40. Mungkin karena hujan mengguyur kota sejak pagi hari, saya tak melihat banyak yang bergegas ke masjid ketika azan zuhur berkumandang. Ahmad Radhi, se-orang jemaah yang rumahnya di seberang masjid, mengaku keadaan kotanya justru lebih rawan saat AS menguasai Irak. "Di zaman Saddam, kami merasa lebih aman," katanya.
Ada lagi yang lebih berani bersuara. Saad Yahya, 25 tahun, yang saya temui di salah satu tempat minum, terang-terangan mengaku pendukung Saddam. Bahkan di pergelangan tangan kanannya terlingkar jam tangan bergambar Saddam. "Ya, saya cinta Saddam," katanya lantang. Ia pun tak gentar mempertontonkan jam itu kepada saya, meski tentara AS sedang sibuk meronda, tak jauh dari warung Az Zoohoor.
Kalau bukan di Tikrit, mungkin pemandangan semacam ini sulit dijumpai di bagian Irak mana pun. Tikrit kini mungkin menjadi bagian yang "berbeda" dibanding kawasan Irak yang lain karena sejarah. Sosok Saddam Hussein, sebagai warga yang lahir di sana, terlepas dari berbagai reputasinya, tetap dikagumi dan dijadikan panutan oleh mayoritas penduduk Tikrit. Di mata pemuda seperti Saad, "Saddam orang yang baik dan murah hati." Tak jarang, diktator yang kini ditahan tentara Amerika itu menyetop mobil di tengah jalanan, kemudian memberikan jam tangan atau cenderamata lainnya. "Ayah saya menerima jam tangan ini langsung dari Saddam," ujar pelajar sebuah madrasah ini.
Ahmad menyatakan, ia dan penduduk Tikrit justru tidak punya kemerdekaan sejak Bagdad jatuh. "Kami seperti tahanan kota, hanya bisa menunggu kapan kami didatangi atau ditembak Amerika," ujarnya. Bahkan ayah tiga anak ini menuding, Amerika membuat kotanya seperti kota koboi. Lo, kok? "Mereka menenteng senjata seenaknya, kemudian menembak salah satu dari kami tanpa alasan yang jelas," katanya.
Tapi mungkin Ahmad lupa, di pihak tentara Amerika pun telah jatuh korban pada saat terjadi kontak senjata antara tentara dan gerilyawan bersenjata. Saat ditanya soal gerilyawan bersenjata ini, ia hanya berkilah, "Salahnya sendiri menduduki negeri kami." Ahmad juga meluncurkan sumpah-serapah kepada keluarga Saddam yang masih banyak tinggal di Owja, 2 kilometer dari pusat kota. Memang, menjelang jalan masuk utama ke Tikrit, terdapat jalur ke timur menuju Owja. Tapi jalan itu telah diblokir dengan bebatuan sehingga tak satu pun mobil bisa lewat. Menurut dia, mereka telah berkhianat dan membantu Amerika, sampai detik-detik tertangkapnya Saddam.
Malamnya, di Bagdad, saya mendengar rentetan senapan mesin dan dentuman dari arah selatan. Karena dini hari, se-kitar pukul 00.00 dan sejam kemudian, tak ada satu pun yang berani memastikan apa yang terjadi. Hampir setiap hari, jalanan di Bagdad berakhir pada pukul 21.00. Kalau tidak ada keperluan yang sangat mendesak, mereka lebih banyak diam di rumah. Malam itu, bahkan helikopter terdengar menderu-deru. Bagdad serasa kembali seperti ketika saat perang, dentuman bom dan pekikan senapan di mana-mana.
Rabu, 24 Desember 2003
Pukul 09.00 pagi, saya berangkat menuju Kirkuk. Di sekitar Injana, daerah perbukitan dua jam perjalanan dari Bagdad, saya ditahan di pos pemeriksaan gabungan Kurdi dan tentara AS. Di situ saya diinterogasi intensif. Saya ditanya identitas, negara asal, wartawan mana, meliput apa, dari mana kenal sopir taksi, siapa sopir taksinya, dan seterusnya. Intinya, saya merasa seperti seorang terdakwa. Bahkan barang-barang juga digeledah.
Rupanya, setelah yakin bahwa saya dan sopir taksi itu "bersih", ada seorang pemuda mendekat. "Kami sebenarnya ingin menumpang, tapi harus yakin dulu siapa Anda," tuturnya. Pemuda ini memperkenalkan diri sebagai Shivani, se-orang penerjemah tentara AS. Ia sedang mencari tumpangan mobil yang menuju ke rumahnya di Kirkuk. Di jalan, ia bercerita bahwa seorang temannya yang juga penerjemah tewas ditembak di jalanan, di Kirkuk. "Kalau ketahuan kerja untuk AS, bisa habis nyawa saya," katanya. Ia juga mengatakan, orang yang menembak itu bukan berarti pro-Saddam.
Saat itu, mahasiswa elektronik Universitas Kirkuk yang digaji oleh AS sebanyak US$ 600 per bulan itu sedang mendapat cuti selama dua hari. Meski penuh ketegangan, ia berusaha menikmati pekerjaannya saat ini. Ia bisa keliling perbukitan dan padang pasir dengan mengendarai jip tentara. Tak jarang ia naik ke atas tank, sekadar ingin merasakan gagahnya jadi tentara negara adidaya. Namun, ia mengaku, hatinya tetap bimbang. Ketika ada orang tertangkap, se-cara profesional ia mesti menerjemahkan percakapan bahasa Inggris dan Arab tersebut. Tapi ia merasakan cibiran pada pandangan mata sang tawanan. "Pandangan mata mereka sepertinya berkata bahwa sayalah yang menginterogasi mereka. Padahal saya hanya menerjemahkan apa yang tentara Amerika katakan," ujarnya.
Sampai di Kirkuk, saya menyambangi sebagian besar jalanan. Dibanding Ramadi, warga Kirkuk lebih ramah dan kurang peduli apakah Saddam tumbang atau tidak, yang penting mereka ingin hidup damai dan aman. "Saya berharap Irak cepat pulih," kata Mahmod Hashim, manajer perusahaan garmen. Mereka juga tidak peduli apakah Irak akan jadi negara federal di bawah kekuasaan Kurdistan atau tidak.
Kamis, 25 Desember 2003
Jalanan menuju Halabjah berkabut. Inilah kota yang menjadi simbol bagi suku Kurdi, karena semua Presiden Irak dipastikan selalu bermusuhan dengan mereka. Termasuk—atau, apalagi—Presiden Saddam Hussein. Dunia masih ingat, tanggal 16 Maret 1988 yang hitam. Pada hari yang berdarah itu kota yang terletak sekitar 75 kilometer sebelah tenggara Sulaymaniah ini diguyur bom kimiawi. "Lima ribu orang terbunuh seketika," kata Ibrahim Hawramani, Direktur Monumen Halabjah. Dari foto-foto yang terpampang di monumen, anak-anak dan orang tua terlihat bergelimpangan menemui ajal.
Adalah Jalal Talabani, Presiden PUK, yang membangun monumen Halabjah ini. Di pintu masuknya, tertulis "It is not allowed for Ba'aths to enter". Anggota Partai Baath dilarang masuk. Bagi orang-orang Kurdi, Halabjah identik dengan kota suci Karbala bagi umat Syiah. Ia menjadi saksi bisu betapa atas nama politik, terjadi pembantaian anak-anak manusia oleh rezim Saddam Hussein.
Meski belum sepenuhnya rampung, pada 15 September 2003 monumen ini sudah mulai dibuka. Para pejabat AS dan Kurdistan seperti Colin Powell, Paul Bremer, dan Masoud Barzani ikut hadir. Di sekeliling monumen, berdiam sekitar 40 ribu Kurdistan. Kebanyakan mereka masih membenci Saddam. Setelah cukup berbincang dengan mereka, ketika matahari mulai lelah, saya langsung melanjutkan perjalanan menuju Bagdad.
Jumat, 26 Desember 2003
Di sebuah masjid di kawasan Habibiyah, Bagdad. Syeh Muaz Hassan al-Janabi, 33 tahun, sang Imam Masjid, tengah menimang pistol Colt 30 dengan jari tangan kanannya. Pistol itu kecil, pelatuknya sudah agak seret, dan magazin (tempat peluru) dibiarkan kosong. Abu Ahmad, si pemilik pistol, kemudian menyebutkan angka US$ 150. Karena keadaan pistolnya tak begitu baik, Syeh Hassan menawarnya US$ 50. Tidak tercapai kesepakatan, Abu Ahmad pun pamit. "Jangan berpikiran macam-macam, dia perlu duit, bukannya pedagang senjata gelap," katanya.
Mungkin karena takut dikira tukang tadah, Syeh Hassan pun segera memberi penjelasan. Karena posisinya sebagai imam masjid di kawasan Habibiyah, Bagdad, semua orang yang merasa punya persoalan akan datang kepadanya. Entah itu mau jual bensin, mau reparasi mobil, atau bahkan jual senjata. Ada yang sekadar berkonsultasi, tapi tak sedikit yang butuh uang. Mungkin kalau harganya cocok, pistol itu pun dibelinya.
Syeh Hassan memang tumpuan umat. Untuk ukuran ulama zaman sekarang, ia terhitung mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Meja kerjanya menampung monitor komputer, CPU, dan juga printer. Malah, sembari berdiskusi dengan TEMPO, sesekali ia menyetel video compact disc (VCD) yang berisi ceramah beberapa ulama Sunah. Rumahnya, yang terletak sehalaman dengan masjid yang diasuhnya, disambangi kawan maupun umatnya silih berganti.
Abdurrahman, muazin yang rumahnya bersebelahan dengan Syeh Muaz, ikut menemani berbincang. Karena sudah pukul 11.30, ia pun pamit keluar. Berikutnya, ia sudah menenteng dua Kalashnikov dan disodorkannya pada dua pemuda.
Abdel Samad, salah seorang pemuda tersebut, mengaku hanya menjaga keamanan masjid dan jemaahnya. Keadaan Bagdad saat ini tak menentu. Bukan hanya tentara AS, bahkan rakyat sipil tak berdosa serta jemaah masjid pun jadi sasaran. "Seminggu lalu, enam jemaah masjid Al-Hurriyah tewas ditembak saat keluar dari masjid seusai salat subuh," katanya. Dan hingga kini, tak diketahui pasti siapa pelaku penembakan di masjid itu.
Saat salat Jumat berlangsung, ia menutup rapat pintu gerbang dan salat di barisan paling belakang. Ia "memarkir" senjatanya di pintu masuk masjid. Usai salat, ia pun buru-buru berdiri, menyandang senapannya lagi, dan bergegas menuju pintu gerbang.
Situasi Jumatan di situ benar-benar mencekam. Sikap siaga dan siap perang benar-benar terasakan. Tak berapa lama seusai salat, terdengar rentetan tembakan dari jarak sekitar 1 kilometer. "Biasa itu, paling lagi mengusir maling," Abdel berkomentar, santai. Tak terasa beban sedikit pun ketika mengucapkannya, dan ia pun tak hendak mengecek kenapa ada bunyi tembakan. Seolah bunyi tembakan, ledakan, maupun teriakan sudah lekat di telinga penduduk Bagdad.
Seharian, saya dijamu di rumah Syeh Muaz. Dia ingin saya bercerita bagaimana kehidupan muslim di Indonesia. Saya ingat, waktu pertama kali datang, ia memberi saya hadiah Quran kecil. Sembari menyodorkan, ia berkata, "Tolong bacakan untuk saya." Rupanya, ia mengecek apakah saya benar-benar muslim atau bukan. Beruntung, saya bisa meyakinkan dia.
Rabu, 31 Desember 2003
Najaf berjarak dua setengah jam perjalanan dari Bagdad ke arah selatan. Ini adalah kota kecil yang terkenal karena ada makam Imam Ali Bin Abi Thalib.
Dalam sehari, makam Imam Ali bisa didatangi ratusan peziarah. Malah, tak sedikit peziarah yang membawa mayat saudaranya, kemudian disembahyangkan di tempat tersebut.
Menurut Fariz Jabbah, ia membawa jenazah pamannya ke Najaf karena percaya bahwa Imam Ali nanti akan menolongnya di akhirat. "Ini terakhir kalinya paman saya bisa menengok Imam Ali," katanya. Satu keyakinan yang mungkin sulit dijelaskan secara rasional. Tapi itulah faktanya. Dan Fariz tak sendirian, karena di belakangnya sekitar lima jenazah digotong masuk ke bangunan makam.
Malamnya, saya menanti waktu untuk melewatkan Tahun Baru di hotel. Tapi sekitar pukul 20.00 terjadi tembak-tembakan tanpa henti. Bahkan sekitar pukul 21.15 terjadi ledakan cukup besar di sebuah restoran papan atas di kawasan Karada. Menurut keterangan resmi pihak koalisi, itu bom bunuh diri. Sekitar enam orang meninggal dan 10 korban lebih dipastikan mengalami luka serius. Agaknya, memang tiada Natal dan Tahun Baru di Bagdad.
Kamis, 1 Januari 2004
Karena keramaian di malam Tahun Baru itu, saya terpaksa tidur pukul 02.00 dini hari. Padahal sudah janjian dengan mobil yang saya sewa untuk berangkat menuju Amman pukul 04.00. Sejam kemudian, saya bangun dan siap-siap. Tepat pukul 04.00 saya berangkat.
Jalanan tol (highway) penghubung Bagdad ke perbatasan Yordania sunyi-senyap. Mendekati Falujah, mobil justru berbelok masuk jalanan kota, tembus ke Ramadi. "Highway Falujah-Ramadi masih banyak perampok bersenjata, lebih aman lewat jalan biasa," kata sopir yang membawa saya. Memang pencoleng bersenjata itu dikenal luas di kalangan rakyat Irak. Mereka menggunakan mobil Mercedez dan BMW saat menjalankan aksinya. Karena itu, dalam waktu-waktu rawan, jalan tol penghubung Falujah-Ramadi selalu sepi.
Sayang, selepas dari Ramadi, mobil saya bertemu dengan patroli tentara AS. Empat armored personal carrier (APC) melaju dengan lambat. Sang sopir pun tak berani menyalip. "Daripada nanti ditembak, mendingan kita di belakang mereka dulu," katanya. Setelah sekitar 20 menit, pasukan Amerika berbelok ke markas mereka, dan mobil pun melaju kencang.
Kali ini, tak seperti biasa, perbatasan Yordania lebih ketat dari biasanya. Se-tiap orang diperiksa dan diinterogasi satu per satu. Staf bagian imigrasi sempat bertanya pada saya, "Kamu muslim bukan?" Tegas saya jawab, ya. Dia malah me-ngetes saya dan menyuruh melafalkan beberapa ayat Quran. Untungnya kok pas yang saya hafal. "Ya sudah, saya percaya," katanya. Sedetik kemudian, dia menstempel paspor saya.
Memasuki Yordania kali ini, tak lagi membuat saya gundah seperti ketika saya meninggalkan Bagdad delapan bulan silam. Saat ini saya tak tahu persis bagaimana perasaan saya meninggalkan Irak yang tak menentu. Bulan April dan Mei tahun silam, Irak hancur dihantam perang. Kali ini, Irak dihantam ketidakpastian. Dan itu tampaknya jauh lebih mengkhawatirkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini