MAHDHUM Ahmar—bukan nama sebenarnya—mendatangi kantor Falujah Protection Force (FPF) dengan mata berkaca-kaca. "Anak saya dibawa tentara Amerika," katanya. Pejabat FPF di situ, Ahmad Khalaf, tak bisa berbuat banyak. Ia hanya men- dengarkan senandung pilu Ahmar, tanpa mampu memberikan jalan keluar. Hanya sekitar empat kilometer dari situ, Shamir Khilal—sebut saja begitu—tercenung di depan rumahnya yang babak-bundas dihajar peluru. Sepuluh butir pelor me-nancap di dinding, empat rumah tetangganya ringsek, dan dua orang terluka. "Sejak saat itu, saya angkat senjata melawan Amerika," katanya.
Memang, Falujah masih tergolong rawan. Kontak senjata dengan pasukan Amerika sering terjadi. Sekitar 15 kilometer dari situ, Ramadi tak kalah tangguh. Falujah-Ramadi bak kota kembar yang terus memberikan perlawanan—dengan sebab-musabab yang tak bisa di-sederhanakan. Ketika perang berkecamuk, para imam masjid di kedua kota itu menyeru agar penduduk berjuang mempertahankan setiap jengkal tanah mereka. Semangat jihad itu makin mengejawantah tatkala muncul kasus semacam yang ditanggungkan Ahmar dan Khilal.
Boleh jadi perlawanan bersenjata terhadap pasukan koalisi muncul pertama kali dari Falujah. Mereka mengaku, penyebabnya tak lain dari kelakuan tentara yang buruk. Pendudukan terhadap kota mereka saja sudah menimbulkan ke- marahan, apalagi jika saudara, paman, atau kerabat lainnya diculik ataupun dilukai. Tapi yang paling tidak bisa mereka terima adalah pelecehan terhadap kepala suku. Reaksi keras muncul manakala rumah Syekh Ihyab al-Irsan, tetua keluarga besar Zobaa, diserang. Mereka lebih rela kehilangan nyawa ketimbang menanggung aib kepala sukunya dipermalukan.
Kebetulan, kekerabatan di antara suku-suku di Falujah dan Ramadi sangat kuat. Menyerang keluarga yang satu berarti menyakiti keluarga lainnya. Dari "Kota Masjid"—julukan Falujah—per-lawanan kemudian menyebar ke sejumlah kota di Irak. Ada Tikrit, Mosul, Karbala, Baquba, Kirkuk, bahkan Bagdad. Tentu saja pihak koalisi membantah ihwal perilaku buruk tentaranya. Kapten Michael Friel, juru bicara militer pasukan koalisi, mengatakan pihaknya menahan seseorang dengan dasar yang jelas. Menurut dia, penangkapan itu berdasarkan laporan intelijen, baik dari tahanan maupun penduduk setempat. "Tak sedikit bukti persenjataan yang kami temukan di rumah mereka," ujarnya.
Friel juga menambahkan, penembakan terhadap sebuah rumah atau sekelompok teroris dilakukan karena mereka menembaki pasukannya lebih dulu. "Kami sudah menempuh prosedur yang benar," katanya. Artinya, pasukan koalisi "can do no wrong." Cuma, pahamkah mereka akan tradisi perlawanan Falujah-Ramadi? Di kedua kota kembar ini, Amerika bukan satu-satunya musuh. Sejak 1970-an, misalnya, Falujah-Ramadi sudah menyatakan perang terhadap Saddam Hussein. Komandan angkatan udara Irak masa itu, Mohamad Madhlum, kebetulan berasal dari Ramadi. Nah, karena kentalnya kekerabatan Falujah-Ramadi, orang ini menjadi kebanggaan kedua kota tersebut.
Syahdan, Madhlum merencanakan pembunuhan terhadap Saddam Hussein dalam sebuah perayaan hari dirgantara di Irak. Sayang, sebelum iktikad itu terlaksana, ia dan para pilotnya ditangkap. Diduga ada kebocoran dari orang dalam. Walhasil, Madhlum dan anak buahnya masuk bui. Pada hari berikutnya, seratusan kepala suku Falujah-Ramadi menemui Saddam, memohon agar Madhlum ditahan saja dan jangan dibunuh. Saddam berjanji memenuhi permintaan tersebut. Tapi malamnya Madhlum ditembak dan jenazahnya dikirim ke Ramadi. Seluruh penduduk dibakar amarah. Selama tiga hari tiga malam terjadi perang antara mereka dan tentara Saddam. Tak sejengkal tanah pun dapat dikuasai pasukan Saddam.
Pertempuran baru mereda setelah Barzan al-Tikriti—saudara Saddam—menemui para tetua suku. Intinya, jika mereka tidak menghentikan perlawanan, Saddam akan mengebom kedua kota itu dari udara. Mereka tak punya pilihan lain. Tapi semangat perlawanan Falujah-Ramadi tak kunjung padam. Sejak saat itu, kota kembar dengan mayoritas umat Sunni itu amat membenci Saddam. Apalagi setelah pada hari-hari berikutnya para intelijen kepercayaan Saddam menggerilya kedua kota tersebut. Satu per satu musuh politiknya, atau mereka yang melawan pemerintah, ditahan tanpa proses pengadilan. Kabarnya, jumlah mereka mencapai puluhan ribu orang. Kota ini selalu diteror dengan rasa takut.
Partai Islam Irak di Falujah, yang berdiri sejak 1960-an, juga tak bisa berbuat apa-apa. Organ politik mereka dikebiri tak lama setelah Partai Baath naik ke panggung kekuasaan, pada 1968. Akibat dikejar-kejar, sebagaimana aktivis partai lainnya, banyak dari mereka yang melarikan diri ke luar negeri. Muhsin Abdul Hameed, yang saat itu hanya menjabat sekretaris IV, memilih bertahan di Irak. Karena animo dan keberaniannya "berjuang dari dalam" itu, akhirnya pengurus yang lain mengundurkan diri dan me-nyerahkan kekuasaan kepada Abdul Hameed untuk duduk di Dewan Pemerintahan Irak sekarang.
Ada cara pandang lain yang muncul dari rakyat Irak pasca-Perang Teluk 1991. Kebanyakan menyangka kekuasaan Saddam sudah lemah. Maka, sekitar 1995, rakyat Falujah-Ramadi berani melakukan demonstrasi besar-besaran menentang pemerintah. Akibatnya, sekitar 2.000 orang ditahan—dan tiada ketahuan bagaimana nasibnya. Karena kebanyakan—hampir 99 persen—Sunni, Saddam menggunakan sifat keras mereka untuk diadu domba dengan kalangan Syiah. Pada 19 Februari 1999, Ayatullah Mohamad Sadiq as-Sadr, pemimpin Syiah paling senior di Irak, tewas diberondong sena-pan mesin di Kota Najaf. Demonstrasi besar-besaran kaum Syiah memenuhi sejumlah kota di kawasan selatan Bagdad.
Berikutnya bisa ditebak: sembilan demonstran dieksekusi di Ramadi. Ulama Syiah di Basrah dan Nasiriyah juga di-tahan. Berangsur-angsur, demo surut hingga akhir Februari 1999. Tapi, pada April 1999, sekitar 100 tahanan dari Radwaniyah (tempat tahanan paling mengerikan di kawasan selatan, yang dikelilingi padang pasir—Red.) dibawa ke Ramadi. Di sana mereka dikubur hidup-hidup. Namun ini tak berarti kedua kota itu bersujud di kaki Saddam. Begitu pula pada saat ini. "Kami berjuang melawan Amerika karena harga diri kami diinjak-injak, bukan membela Saddam," kata Khilal. Baginya, bermain-main dengan senjata sudah tidak istimewa lagi. Mereka mendapat latihan militer karena di masa Saddam setiap pemuda dikenai wajib militer. "Kami juga masih punya persediaan amunisi yang cukup," ujarnya.
Menurut seorang pejabat Partai Islam Irak di Falujah, fatwa para imam tentang wajib berjihad bersifat komprehensif. "Jihad bukan hanya angkat senjata, melainkan mempertahankan agama dari siapa pun yang akan merusaknya," katanya. Hal itu termasuk berbuat kebaikan terhadap sesama. Masalah muncul manakala mereka melihat saudaranya tertembak atau terluka oleh pasukan Amerika. "Wajar kalau mereka marah," ujarnya. Ditambah lagi, hampir seluruh penduduk tidak menerima tentara Amerika dengan tangan terbuka.
Menghadapi perlawanan yang tiada henti, Wakil Direktur Operasi Pasukan Koalisi, Brigadir Jenderal Mark Kimmitt, mengancam akan melakukan operasi intelijen untuk menghabisi mereka. Itu bukan hanya di Falujah-Ramadi, melainkan di semua kota di Irak. "Operasi intelijen lebih cepat menyelesaikan masalah. Tinggal tangkap pemimpinnya, yang lain akan menyerah," katanya. Namun Kimmitt yakin belum saatnya pasukan koalisi melancarkan operasi tersebut. Sebaliknya, penduduk Falujah-Ramadi juga sudah telanjur mahir akan seluk-beluk perlawanan dan perang gerilya. Selama fatwa imam soal jihad belum dicabut, kalimat sakti itu akan senantiasa mengobori perjuangan mereka. "Kami tidak akan menyerahkan senjata sampai negeri kami merdeka," kata Khilal.
Rommy Fibri (Falujah-Ramadi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini