PEMERINTAHAN Reagan mulai melupakan masalah hak asasi manusia
dalam politik luar negerinya. Dan sikapnya lebih toleran
ketimbang Pemerintahan Carter dalam menghadapi rezim otoriter.
Belum sebulan di Gedung Putih, Presiden Ronald Reagan sudah
menerima kunjungan Presiden Chun Doo-hwan dari Korea Selatan,
misalnya. Hal ini sempat menimbulkan tanda tanya besar. Soalnya
di mata masyarakat AS, rezim Chun terkenal sering menindas hak
asasi manusia.
Di masa lalu Carter mempertanyakan soal pelanggaran hak asasi
manusia di Korea Selatan. Misalnya, penahanan sewenang-wenang
terhadap tokoh oposisi Kim Dae-yung. Maka tertunda perundingan
militer kedua negara itu. Tapi Pemerintahan Reagan punya sikap
lain.
Setelah kunjungan Chun itu, perundingan dengan Korea Selatan
dimulai lagi. Dan Deplu AS mengumumkan bahwa Washington tidak
akan mencampuri urusan dalam negeri Korea Selatan. Dalam waktu
yang sama Kongres dimintanya supaya menunda penyiaran laporan
mengenai pelanggaran hak asasi manusia di negara itu.
Perubahan besar dalam politik luar negeri AS sebenarnya sudah
terbayang dari keterangan Menlu Alexander Haig dalam jumpa
persnya yang pertama, Januari lalu. "Kita lebih prihatin
menghadapi terorisme internasional ketimbang masalah hak asasi
manusia," kata Haig. Menurut dia, akibat akhir dari terorisme
internasional juga sama yaitu penyalahgunaan hak asasi manusia.
Hal ini semakin dipertegas Haig dalam suatu pertemuan yang
diselenggarakan Trilateral Commission -- suatu lembaga
nonpemerintah yang beranggotakan tokoh internasional. Pidato
Haig di situ hampir sebulan lalu tapi baru saja disiarkan pekan
lalu atas permintaan koran New York Times. Ia mengatakan bahwa
AS harus menentang setiap pelanggaran hak asasi manusia, baik
dilakukan oleh sekutu maupun musuh."Tapi kita harus lebih kritis
menghadapi rezim totaliter daripada rezim otoriter," ujar Haig.
Menurut dia, rezim totaliter cenderung tidak toleran di dalam
negeri maupun di luar negaranya. Secara tidak langsung Haig
mengambil beberapa contoh betapa rezim yang tidak toleran itu
mengakibatkan banyak orang mengungsi, misalnya, dari Uni Soviet,
Kampuchea, Kuba, Vietnam dan Afghanistan.
Rezim otoriter, menurut Haig, biasanya muncul karena kurangnya
pembangunan politik dan ekonomi di suatu negara. Dan penguasa
biasanya hanya memegang kekuasaan mutlak dalam beberapa area
politik yang rawan. "Saya tidak bermaksud memuji rezim otoriter,
namun perlu dicatat bahwa mereka lebih mudah mengadakan
perubahan ketimbang yang totaliter," kata Haig.
Pembedaan ini rupanya begitu penting bagi Haig karena, menurut
dia, AS harus memisahkan antara sumber pelanggaran hak asasi
manusia dan dampak dari setiap protes. Dan atas dasar ini
kebijaksanaan AS konon ditentukan dalam menghadapi negara yang
menindas hak asasi manusia. Yang jelas, kata Haig, AS juga harus
mempertimbangkan aksi-aksi oleh kaum oposisi yang menentang
rezim otoriter maupun totaliter.
Peka Hak Asasi
Pemerintahan Reagan, katanya, tetap peka dengan masalah hak
asasi manusia. Namun ia terutama menempatkan 'agresi totaliter'
sebagai bahaya utama. Dan jelas Uni Soviet yang ditudingnya.
Tapi apakah pernyataan Haig ini hanya suatu pembenaran bagi
kerjasama AS dengan rezim diktator? Mungkin inilah yang menjadi
soal, seperti dikomentari koran International Herald Tribune
pekan lalu. "Adalah tidak perlu membuat pemisahan yang palsu
antara kediktatoran kiri dan kanan."
Jika AS mengadakan hubungan dagang dengan Argentina -- meskipun
negara ini secara terus menerus melanggar hak asasi manusia
--haruslah dilihat secara jelas karena adanya kepentingan
Amerika, tulis koran Amerika itu. "Dan bagi mereka yang menjadi
korban penyiksaan tak ada bedanya apakah itu dilakukan oleh
jaksa yang Marxis atau yang fasis."
Seorang pembantu dekat Menlu Haig mencoba melunakkan kritik
orang dalam soal ini. "Apa yang dikemukakan Haig tidaklah
berarti suatu kata akhir dari Pemerintahan Reagan," ujarnya.
Yang jelas di bawah Alexander Haig, Deplu AS menyesuaikan lagi
suatu kebijaksanaan dengan keadaan baru yaitu tidak akan
mengkritik secara terbuka pe pemerintahan negara sahabat,
betapapun sikapnya terhadap hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini