Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Baginya mendingan rezim otoriter

Pemerintahan presiden ronald reagan mulai melupakan masalah hak asasi manusia. sikapnya lebih toleran dalam menghadapi rezim otoriter, macam korea selatan. tidak suka rezim totaliter. (ln)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAHAN Reagan mulai melupakan masalah hak asasi manusia dalam politik luar negerinya. Dan sikapnya lebih toleran ketimbang Pemerintahan Carter dalam menghadapi rezim otoriter. Belum sebulan di Gedung Putih, Presiden Ronald Reagan sudah menerima kunjungan Presiden Chun Doo-hwan dari Korea Selatan, misalnya. Hal ini sempat menimbulkan tanda tanya besar. Soalnya di mata masyarakat AS, rezim Chun terkenal sering menindas hak asasi manusia. Di masa lalu Carter mempertanyakan soal pelanggaran hak asasi manusia di Korea Selatan. Misalnya, penahanan sewenang-wenang terhadap tokoh oposisi Kim Dae-yung. Maka tertunda perundingan militer kedua negara itu. Tapi Pemerintahan Reagan punya sikap lain. Setelah kunjungan Chun itu, perundingan dengan Korea Selatan dimulai lagi. Dan Deplu AS mengumumkan bahwa Washington tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Korea Selatan. Dalam waktu yang sama Kongres dimintanya supaya menunda penyiaran laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia di negara itu. Perubahan besar dalam politik luar negeri AS sebenarnya sudah terbayang dari keterangan Menlu Alexander Haig dalam jumpa persnya yang pertama, Januari lalu. "Kita lebih prihatin menghadapi terorisme internasional ketimbang masalah hak asasi manusia," kata Haig. Menurut dia, akibat akhir dari terorisme internasional juga sama yaitu penyalahgunaan hak asasi manusia. Hal ini semakin dipertegas Haig dalam suatu pertemuan yang diselenggarakan Trilateral Commission -- suatu lembaga nonpemerintah yang beranggotakan tokoh internasional. Pidato Haig di situ hampir sebulan lalu tapi baru saja disiarkan pekan lalu atas permintaan koran New York Times. Ia mengatakan bahwa AS harus menentang setiap pelanggaran hak asasi manusia, baik dilakukan oleh sekutu maupun musuh."Tapi kita harus lebih kritis menghadapi rezim totaliter daripada rezim otoriter," ujar Haig. Menurut dia, rezim totaliter cenderung tidak toleran di dalam negeri maupun di luar negaranya. Secara tidak langsung Haig mengambil beberapa contoh betapa rezim yang tidak toleran itu mengakibatkan banyak orang mengungsi, misalnya, dari Uni Soviet, Kampuchea, Kuba, Vietnam dan Afghanistan. Rezim otoriter, menurut Haig, biasanya muncul karena kurangnya pembangunan politik dan ekonomi di suatu negara. Dan penguasa biasanya hanya memegang kekuasaan mutlak dalam beberapa area politik yang rawan. "Saya tidak bermaksud memuji rezim otoriter, namun perlu dicatat bahwa mereka lebih mudah mengadakan perubahan ketimbang yang totaliter," kata Haig. Pembedaan ini rupanya begitu penting bagi Haig karena, menurut dia, AS harus memisahkan antara sumber pelanggaran hak asasi manusia dan dampak dari setiap protes. Dan atas dasar ini kebijaksanaan AS konon ditentukan dalam menghadapi negara yang menindas hak asasi manusia. Yang jelas, kata Haig, AS juga harus mempertimbangkan aksi-aksi oleh kaum oposisi yang menentang rezim otoriter maupun totaliter. Peka Hak Asasi Pemerintahan Reagan, katanya, tetap peka dengan masalah hak asasi manusia. Namun ia terutama menempatkan 'agresi totaliter' sebagai bahaya utama. Dan jelas Uni Soviet yang ditudingnya. Tapi apakah pernyataan Haig ini hanya suatu pembenaran bagi kerjasama AS dengan rezim diktator? Mungkin inilah yang menjadi soal, seperti dikomentari koran International Herald Tribune pekan lalu. "Adalah tidak perlu membuat pemisahan yang palsu antara kediktatoran kiri dan kanan." Jika AS mengadakan hubungan dagang dengan Argentina -- meskipun negara ini secara terus menerus melanggar hak asasi manusia --haruslah dilihat secara jelas karena adanya kepentingan Amerika, tulis koran Amerika itu. "Dan bagi mereka yang menjadi korban penyiksaan tak ada bedanya apakah itu dilakukan oleh jaksa yang Marxis atau yang fasis." Seorang pembantu dekat Menlu Haig mencoba melunakkan kritik orang dalam soal ini. "Apa yang dikemukakan Haig tidaklah berarti suatu kata akhir dari Pemerintahan Reagan," ujarnya. Yang jelas di bawah Alexander Haig, Deplu AS menyesuaikan lagi suatu kebijaksanaan dengan keadaan baru yaitu tidak akan mengkritik secara terbuka pe pemerintahan negara sahabat, betapapun sikapnya terhadap hak asasi manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus