Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan raut muka marah sambil membawa parang dan berteriak-teriak, warga Afrika Selatan membakar toko-toko milik kaum imigran pada Jumat dua pekan lalu. Para pemilik toko hanya bisa bersembunyi dan melindungi diri menggunakan batu bata.
Melihat situasi hampir tak terkendali, polisi terpaksa menembakkan peluru karet untuk membubarkan massa yang menimbulkan kerusuhan di Kota Johannesburg. Tapi para imigran menuding polisi tak berbuat banyak untuk melindungi diri dan bisnis mereka.
Serangan serupa bahkan masih terjadi pekan lalu. Sebuah toko milik imigran di kota pelabuhan Durban menjadi target kemarahan warga asli. Akibatnya, dua warga asing dan tiga warga asli tewas. Hal serupa terjadi di Kota Verulam, tempat sekelompok warga asli menyerang kediaman seorang pria imigran. Pria berusia 58 tahun itu sempat dilarikan ke rumah sakit setelah diserang, tapi nyawanya tak tertolong.
Selama hampir tiga pekan, kota-kota di Afrika Selatan mengalami kerusuhan berdarah yang menyasar kelompok imigran. Hal ini dipicu oleh perasaan iri warga asli terhadap para imigran yang dianggap telah merebut lapangan pekerjaan dari mereka. Menurut data pemerintah, tingkat pengangguran di Afrika Selatan mencapai 24 persen.
Salah seorang imigran dari Republik Demokratik Kongo, Jean-Pierre Lukamba, mengatakan isu para imigran sebagai pencuri pekerjaan warga setempat digunakan hanya sebagai kambing hitam. "Setiap hari para imigran hidup dalam ketakutan," katanya.
Kerusuhan yang diikuti pembantaian itu membuat ribuan imigran terpaksa mengungsi ke tempat penampungan sementara. Yang lain bersembunyi di rumah kerabat atau menjauhi kota yang rawan kerusuhan. Warga imigran yang memiliki usaha terpaksa menutup tokonya karena khawatir menjadi target pembakaran.
Yayasan Gift of the Givers mengatakan sekitar 8.500 warga telah bersembunyi di pusat-pusat penampungan atau kantor polisi. Angka ini belum termasuk orang-orang yang bersembunyi di rumah teman atau kerabat.
Gelombang kebencian terhadap pendatang atau kwerekwere di Afrika Selatan ini bukanlah yang pertama. Pada 2008, sebanyak 62 orang-sebagian besar imigran-dilaporkan tewas di Johannesburg karena aksi serupa.
Kekerasan yang membidik kelompok imigran timbul setelah pemimpin tradisional Afrika Selatan, Raja Goodwill Zwelithini, mengatakan kepada pengikutnya akhir bulan lalu bahwa orang asing di Afrika Selatan harus berkemas dan segera pergi dari negara itu. Zwelithini adalah Raja Zulu kedelapan sejak 1971 yang memimpin bangsa Zulu di Provinsi KwaZulu-Natal.
"Ada banyak barang tidak sedap dipandang yang memenuhi toko-toko kita. Mereka mengotori jalanan kita. Kita bahkan tak bisa mengenali toko mana milik siapa. Semua terhalang oleh milik orang asing," ucap Zwelithini, seperti dikutip dari situs Quartz.
Komentar tersebut diperparah oleh ucapan putra sulung Presiden, Edward Zuma, yang mengatakan warga asli harus segera menyadari bahwa kehadiran para imigran adalah bom waktu yang bisa mengambil alih negara. Ia juga menghubungkan jumlah imigran dengan peningkatan masalah sosial, seperti kekerasan, perdagangan narkotik, dan kriminalitas.
"Kita tak bisa mengesampingkan kemungkinan terjadinya kudeta di masa depan. Pemerintah perlu membersihkan semua orang yang secara ilegal berada di negeri ini. Mereka harus pergi," ujar Edward Zuma kepada News24.com.
Para pemimpin asosiasi informal yang mewakili pemilik kafe dan toko kecil di Afrika Selatan juga menuding warga asing telah membanjiri pasar dengan harga terlalu murah dan barang-barang di bawah standar serta menghancurkan bisnis warga lokal.
Seminggu kemudian, serangan kepada imigran mulai terjadi. Warga asli menyerang dan menjarah toko-toko milik imigran di Durban. Sejak itu, penyerangan dan kekerasan semakin parah. Di Johannesburg dan kota-kota lain, para imigran menutup toko setelah mendapat pesan pendek di telepon seluler yang mengingatkan pengikut Raja Zulu akan mendatangi dan membunuh warga imigran.
"Pada Rabu, orang Zulu datang ke kota dan menjalani misi mereka untuk membunuh setiap orang asing yang berada di jalan. Tolong sampaikan ini ke semua kontak Anda dan harus selalu waspada," demikian bunyi teks dalam pesan pendek itu yang akhirnya menyebar cepat, seperti dilansir Los Angeles Times.
Pesan lain berbunyi, "Serangan kali ini akan lebih brutal daripada sebelumnya. Tolong anggap ini serius. Teman-teman kita telah dibunuh seperti kecoa."
Namun Raja Zulu membantah tudingan telah memainkan peran dalam memicu kekerasan terhadap warga pendatang. Di depan 6.000 orang di Stadion Moses Mabhida, Durban, Provinsi KwaZulu-Natal, Senin pekan lalu, Goodwill Zwelithini meminta masyarakat mengakhiri kekerasan terhadap orang asing yang melanda negara itu sejak 30 Maret lalu. "Orang-orang mengambil apa yang saya katakan di luar konteks. Ini menggelikan," tutur Zwelithini. "Banyak orang tewas, saya tidak membunuh siapa pun. Saya tidak tahu mengapa saya dituduh."
Beberapa pemicu itu membuat kekerasan menyebar dari Durban ke Johannesburg meskipun Presiden Jacob Zuma telah mengutuk serangan dan meminta warga untuk tenang. "Tidak ada rasa frustrasi atau kemarahan yang bisa membenarkan serangan terhadap warga negara asing dan penjarahan toko-toko mereka," katanya. "Serangan-serangan itu melanggar semua nilai yang diwujudkan Afrika Selatan, terutama menghormati kehidupan manusia."
Zuma mengatakan ia telah memerintahkan polisi bekerja sepanjang waktu untuk melindungi warga negara dan imigran serta menangkap para pelaku.
Menurut Zuma, pemerintahnya sedang menangani isu sosial dan ekonomi yang dibawa oleh warga. Dia mengatakan para imigran telah berkontribusi terhadap perekonomian bangsa dan beberapa memiliki keterampilan khusus. "Meskipun beberapa warga asing ada yang ditangkap karena berbagai kejahatan, itu tidak bisa melabeli semua warga asing terlibat dalam kejahatan di negara ini," ujarnya.
Juru bicara African Diaspora Forum, perwakilan imigran di Afrika Selatan, Mkululi White, mengatakan situasinya sangat menegangkan saat ini. "Banyak warga asing yang ketakutan. Beberapa dari mereka ingin kembali ke rumah mereka di negara asal. Saya bertemu dengan banyak orang yang khawatir dan tidak tahu harus berbuat apa," katanya.
Korban kebanyakan berasal dari Somalia, Mozambik, Ethiopia, Malawi, Pakistan, Zimbabwe, dan Nigeria. Menurut data organisasi hak asasi manusia, Human Rights Watch, diperkirakan ada 2-5 juta imigran di Afrika Selatan. Dengan tingkat pengangguran yang tinggi, warga Afrika Selatan dengan mudah menyalahkan warga pendatang yang menetap dan membuka usaha di negara itu.
Penelitian yang dilakukan The Migrating for Work Research Consortium (MiWORC), organisasi yang mempelajari migrasi dan dampaknya terhadap pasar kerja Afrika Selatan, membuktikan sebaliknya. Dalam dua penelitian yang dirilis pada 2014, MiWORC menemukan 82 persen pekerja usia 15-64 tahun merupakan warga lokal Afrika Selatan. Sebesar 14 persen adalah pekerja domestik lintas provinsi Afrika Selatan selama lima tahun terakhir. Hanya 4 persen pekerja yang masuk kategori imigran. Para pekerja imigran itu terdiri atas 79 persen warga dari negara-negara Afrika, 17 persen kulit putih, dan 3 persen berasal dari India atau negara-negara lain di Asia.
"Ada ketimpangan antara persepsi dan realitas karena data yang pasti baru tersedia sekarang. Tudingan bahwa imigran mencuri pekerjaan terbukti hanyalah mitos tanpa dasar," ujar Zaheera Jinnah, antropolog dan peneliti African Centre for Migration and Society di Wits University.
Rosalina (CNN, Al Jazeera, Quartz, The Guardian, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo