Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYESALAN tak habis-habisnya menghinggapi Victor Irianto Napitupulu jika mengingat pemilihan umum calon anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta tahun lalu. Pengusaha dan pendiri lembaga swadaya masyarakat ini gagal berkantor di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, karena tak meraih cukup suara sebagai legislator dari Partai NasDem.
Mencalonkan diri dari daerah pemilihan I yang meliputi Menteng, Sawah Besar, Tanah Abang, dan Kemayoran, Victor hanya membukukan 1.692 suara, kurang sekitar 4.000 suara untuk lolos. Meski biaya kampanye sebagian besar disokong partainya, Victor menyesal tak mengikuti cara teman-temannya membeli kekurangan suara. "Harganya Rp 100-500 ribu per suara," katanya di Jakarta, dua pekan lalu.
Victor mengaku ditawari suara dengan cara membelinya per kepala oleh sebuah organisasi kemasyarakatan. Dia menolak karena merasa kampanyenya, dengan 19 orang dari tim sukses yang ia bekali sepeda motor yang membagikan kartu nama dan brosur, sudah efektif membidik pemilih. Nyatanya, jumlah suaranya jeblok. Dia kini bersiap maju lagi dalam pemilihan pada 2019.
Persiapannya yang mepet pada pemilihan lalu membuatnya sadar bahwa persiapan harus matang dan lama untuk menembus persaingan yang ketat dalam mendapatkan suara. Beberapa partai, seperti NasDem dan Partai Demokrat, sudah membuka pendaftaran calon anggota legislatif. "Pemilu nanti saya mau beli Rp 1 juta per suara," kata Victor.
Victor mengatakan kolega-koleganya yang lolos ke Kebon Sirih memakai cara ini sehingga di atas kertas suara mereka cukup mendapat satu kursi. "Bajak saksi dan formulir jumlah suara juga," kata Muhammad Taufik, politikus Gerindra yang terpilih dan kini menjabat Wakil Ketua DPRD Jakarta.
Saat pemilihan selesai dan suara dihitung, setiap calon mengirimkan dua saksi di ribuan tempat pemilihan suara. Setiap saksi dibayar Rp 100 ribu. Sampai ke tingkat provinsi, ada empat kali penghitungan suara dengan upah tiap saksi meningkat Rp 100 ribu pada tiap tahap. Para calon mesti mengeluarkan biaya lagi untuk menggaji sepuluh orang yang mengawasi para saksi ini di tiap lokasi untuk menangkal saling bajak itu.
Soalnya, kata Taufik, bajak-membajak saksi marak pada tiap tahap penghitungan. Caranya adalah membayar saksi pesaing di daerah pemilihan lebih tinggi daripada yang diberikan calon yang menyewanya. Saksi yang dibajak itu kemudian mengalihkan suara kepada calon yang membayarnya lebih tinggi. "Itu permainan mengubah perhitungan konvensional," kata Taufik.
Semua itu membutuhkan biaya tak sedikit. Taufik mengungkapkan total biaya yang ia keluarkan Rp 5 miliar, sedangkan Victor hanya Rp 400 juta karena sisanya disediakan partai. Penelitian Komite Pemantau Legislatif Indonesia yang selesai tiga pekan lalu menyebutkan bahwa ongkos pemilihan tiap calon legislator-yang terpilih atau gagal-sebesar Rp 5-8 miliar.
Biaya Rp 5 miliar dikeluarkan oleh calon yang maju untuk periode kedua. Sedangkan calon yang baru sekali ikut harus keluar hampir dua kali lipat, yakni Rp 9,5 miliar. "Untuk tim sukses saja rata-rata Rp 2 miliar," kata Syamsuddin Alimsya, Direktur Eksekutif Komite Pemantau.
Taufik mengkonfirmasi biaya tim kampanye ini. Dan, kata dia, anggaran itu di luar ongkos pengawalan suara agar tak berubah tadi. Untuk menggaji saksi dan pengawasnya, ia menghabiskan Rp 1 miliar.
Penelitian yang berlangsung sejak Januari selama tiga bulan itu memakai teknik wawancara para calon legislator Jakarta yang gagal ataupun terpilih. Dari pelbagai jenis pengeluaran tiap calon sejak sosialisasi hingga pemilihan, biaya pembagian bahan kebutuhan pokok kepada pemilik suara memakan ongkos paling banyak, yakni Rp 4 miliar.
Penelitian ini tak merekam adanya biaya-biaya lain di luar logistik. Ongkos Rp 9,5 miliar itu hanya beberapa item yang bisa dihitung harganya lalu diakumulasikan dengan jumlahnya dalam setiap kegiatan. Soalnya, argo seorang calon legislator mulai berjalan berbeda-beda, tergantung statusnya.
Bagi calon bertahan, uangnya mulai keluar begitu ia mendapat nomor urut. Itu pun jika bukan pengurus partai. Taufik, yang menjabat Ketua Gerindra Jakarta, secara otomatis mendapat nomor urut 1. Calon yang baru mendaftar akan berebut nomor urut 2, 3, dan 5. Nomor 4 jatah pengurus partai juga. Di bawah nomor 5 biasanya dipasang calon terkenal yang tak berminat menjadi anggota legislatif, tapi efektif menggaet suara untuk partai.
Berebut nomor urut ini ada harganya. Para calon berlomba memberi pelayanan prima kepada para pengurus partai agar diberi nomor urut atas. Menurut seorang calon legislator pemula, layanan itu umumnya hiburan yang diadakan dalam forum lobi-lobi di hotel dan kafe. "Istilahnya biaya kenakalan," ujarnya.
Bagi calon baru, kata sumber ini, untuk mendapat nomor urut biayanya Rp 500 juta karena setiap kali menjamu elite partai di kafe menghabiskan Rp 50 juta. Muhammad Taufik menyangkal ada "biaya kenakalan" di partainya. Menurut dia, setiap calon-baru atau lama-diperlakukan sama. "Nomor urut itu disesuaikan dengan probabilitas memperoleh suara di daerah pemilihannya," ucapnya.
Menurut Taufik, ia keluar uang banyak untuk senam pagi tiap pekan selama enam bulan di 16 kelurahan daerah pemilihan Jakarta III: Penjaringan, Pademangan, dan Tanjung Priok. Tiap senam di satu tempat butuh Rp 10 juta untuk makanan, minuman, bikin panggung, sewa pengeras suara, dan beli hadiah. "Setiap pekan saya habis Rp 160 juta," kata Taufik.
Senam ini, menurut dia, sangat efektif karena disukai ibu-ibu. Untuk mengetahui tema kampanye para pemilih di daerahnya, Taufik menyewa lembaga survei yang membuat strategi kampanye berbeda-beda. Biayanya Rp 125 juta.
Johny Wenas Polli dari Demokrat juga menyewa lembaga survei untuk mengukur popularitas. Sebagai calon bertahan, Ketua Fraksi Demokrat DPRD Jakarta ini mengeluarkan biaya paling banyak justru untuk memelihara konstituen. Setiap hari ia keluar Rp 3 juta untuk masyarakat dari daerah pemilihannya. "Mereka datang ke rumah," katanya.
Johny mengaku mengeluarkan Rp 1,5 miliar. Toh, ia tak lolos. Menurut dia, pemilihan anggota legislatif secara langsung tahun lalu berlangsung brutal dan kasar. "Tiga kali saya ikut pemilihan, kemarin yang paling jorok dan keras karena politik uang sangat telanjang," katanya.
Sumber semua biaya besar itu, para calon kompak mengatakan berasal dari sumbangan para pengusaha. Mereka mengajukan proposal biaya kampanye hingga pemilihan pada tiga bulan menjelang pencoblosan atau utusan para pengusaha itu yang mendekati mereka. "Saya ditawari Rp 44 miliar," kata Victor Napitupulu.
Muhammad Taufik, yang pernah dipenjara karena korupsi pengadaan sewaktu menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum Jakarta, menguras tabungan hingga simpanan anaknya. Ia menyangkal mendapat sumbangan dari pengusaha. "Kalau pendanaan tak kuat dan makan pokok, bisa gila," katanya.
Dini Pramita
Simulasi Ongkos Calon Legislator
SOSIALISASI DAFTAR CALON SEMENTARA
Survei awal Rp 250 juta
Cetak baliho, spanduk, kartu nama Rp 1,7 miliar
Total: Rp 1,95 Miliar
SOSIALISASI DAFTAR CALON TETAP
Cetak dan pasang baliho, kalenderRp 405,5 juta
Iklan media cetakRp 57 juta
Biaya konsultanRp 300 juta
Posko dan operasionalRp 669 juta
Pengerahan massaRp 642,5 juta
Total: Rp 2,07 Miliar
MINGGU TENANG
Sosialisasi tertutupRp 767 juta
Bingkisan sembakoRp 4,5 miliar
SaksiRp 383,5 juta
Pengerahan pemilihRp 153,4 juta
Total: Rp 5,80 Miliar
Sumber: Komite Pemantau Legislatif
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo