Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rafli Atmaja menatap tajam tumpukan bukti transfer yang berserakan di meja ruang tamunya, Senin sore pekan lalu. Karyawan sebuah perusahaan leasing itu tak mempedulikan lagi telepon selulernya yang terus berdering. "Orang-orang itu pasti menanyakan nasib investasi mereka di PT Dua Belas Suku," kata Rafli ketika Tempo menyambangi rumahnya di Jalan Selayar 2, Blitar, Jawa Timur.
PT Dua Belas Suku (DBS) adalah perusahaan konsultan keuangan yang menjalankan bisnis pemutaran uang (money game)?di Kota Blitar dan sekitarnya. Perusahaan itu tak beroperasi lagi sejak semua direktur dan komisarisnya ditahan polisi pada 11 April lalu.
Penutupan PT DBS membuat hidup Rafli, 26 tahun, jauh dari ketenangan. Sebagai nasabah utama PT DBS, ia telah merekrut ratusan nasabah dengan total investasi sekitar Rp 1,3 miliar. Ketika PT DBS tak bisa mengembalikan dana pokok dan keuntungan investasi, Rafli pun dikejar-kejar ratusan nasabah itu.
Rafli tergiur ajakan rekan sekantornya untuk berinvestasi di PT DBS pada Agustus tahun lalu. Sang rekan menjelaskan, PT DBS menawarkan skema investasi sebesar Rp 1 juta atau Rp 5 juta. Dalam sepekan, PT DBS berjanji memberi keuntungan sebesar 30 persen. Dalam sebulan, uang nasabah yang berinvestasi Rp 1 juta, misalnya, akan berlipat ganda menjadi Rp 2,2 juta. Tak ada batasan nilai investasi yang bisa ditanamkan seorang nasabah.
Iming-iming keuntungan besar membuat Rafli gelap mata. Dia pun nekat menggadaikan surat mobil dan sepeda motornya ke bank untuk mencari modal awal. Ia lalu memasukkan semua uang hasil gadai, sebesar Rp 100 juta, ke PT DBS. "Berapa pun bunga pinjaman bank masih kalah jauh dari bunga simpanan PT DBS," ujar Rafli, menuturkan lagi perhitungannya kala itu.
Awalnya Rafli tak curiga bagaimana uangnya bisa beranak-pinak. Soalnya, selama dua bulan, keuntungan yang dijanjikan mengalir lancar. Bau busuk mulai tercium ketika sebagian nasabah mulai tak menerima transfer laba pada Desember tahun lalu. Kala itu manajemen PT DBS berdalih transfer laba tersendat karena pendaftaran nasabah baru yang luar biasa banyak sehingga membuat sistem kacau.
Penjelasan PT DBS sempat diterima nasabah setelah pada bulan berikutnya pembayaran laba kembali lancar. Namun, pada Maret lalu, pembayaran laba dari PT DBS berhenti total.
Ratusan nasabah terbakar emosi ketika mereka menyambangi kantor PT DBS pada pertengahan Maret lalu. Kantor di kompleks pertokoan di Jalan TGP, Kota Blitar, itu terkunci rapat. Nasabah yang geram pun melaporkan perusahaan itu ke polisi. Dua pekan berselang, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Blitar menyegel kantor PT DBS. Polisi juga menyita semua dokumen dan komputer yang tersisa di kantor itu.
Puncaknya, lima direktur dan komisaris PT DBS ditahan pada 11 April lalu. Mereka adalah Jefry Cristian Daniel sebagai komisaris utama, Naning sebagai komisaris independen, Rinekso sebagai direktur utama, Jeremy sebagai direktur pendapatan, dan Nathalia sebagai direktur keuangan. Polisi kemudian menyita aset pribadi petinggi perusahaan itu, antara lain berupa rumah, tanah, dan mobil.
Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Blitar Ajun Komisaris Naim Ishak, bisnis pemutaran uang oleh PT DBS tak memiliki izin dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Selama ini PT DBS hanya mengantongi izin jasa konsultasi keuangan dari Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Pemerintah Kota Blitar.
Kelima petinggi DBS dijerat dengan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukuman pasal penipuan itu maksimal empat tahun penjara. Polisi, menurut Naim, tak menjerat mereka dengan Undang-Undang Perbankan, yang hukumannya lebih berat, bisa sampai 15 tahun penjara. Alasannya, PT DBS tak pernah menghimpun uang secara langsung di rekening mereka. "Kami sudah berkonsultasi dengan OJK. Kejahatan ini tak bisa dijerat Undang-Undang Perbankan," ujar Naim, Senin pekan lalu.
Sewaktu menjaring nasabah, PT DBS meminta mereka membuka rekening bank untuk menyetorkan dana investasi dan menerima transfer bunga. PT DBS membebaskan calon nasabah membuka rekening di bank mana pun. Sebagai syarat pendaftaran, calon nasabah diminta menyerahkan fotokopi kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan sampul muka buku rekening.
Setelah terdaftar, nasabah diminta mentransfer uang kepada sejumlah nasabah yang lebih dulu bergabung. Jumlah uang dan siapa nasabahnya ditentukan PT DBS. Rupanya, uang yang ditransfer nasabah baru itulah yang dianggap nasabah lama sebagai bagi hasil investasi.
Semua proses transfer dilakukan nasabah di bank masing-masing tanpa keterlibatan PT DBS. "Dengan cara itu, PT DBS lolos dari jerat Undang-Undang Perbankan," kata Naim.
Sebagai pengelola investasi, PT DBS mengutip 11 persen dari dana yang disetorkan setiap nasabah. Belakangan, jumlah kutipan meningkat menjadi 17 persen. Kepada polisi, pengurus PT DBS berdalih kutipan itu untuk menutup biaya administrasi. Hasil kutipan juga disisihkan sebagai dana cadangan jika sewaktu-waktu terjadi kemacetan pembayaran bunga kepada nasabah.
Menurut perhitungan para nasabah, jumlah uang yang nyantol di PT DBS tak kurang dari Rp 125 miliar. Namun polisi belum mengumumkan jumlah uang nasabah yang diraup PT DBS. "Kami masih menghitung," ujar Naim.
TERBONGKARNYA investasi bodong PT DBS juga menyingkap aliran dana ke sejumlah pejabat di Kota Blitar. Lembaga swadaya masyarakat Komite Rakyat Pemberantas Korupsi mencium aliran dana itu dari catatan seorang anggota staf keuangan PT DBS.
Berdasarkan catatan itu, uang mengalir ke sejumlah pejabat pemerintah kota, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kepolisian, hingga media massa di Kota Blitar. "Itu uang pengamanan agar bisnis mereka tak diusik," kata Muhamad Triyanto, Ketua Komite Rakyat Pemberantas Korupsi, kepada Tempo pada Selasa pekan lalu.
Menurut Triyanto, dua anggota DPRD yang tercatat dalam buku pengeluaran PT DBS berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Demokrat. Keduanya disebut menerima tiga kali aliran dana dari PT DBS dengan jumlah total Rp 325 juta. Ada pula aliran dana Rp 500 juta untuk pejabat dengan kode "Pemda". Catatan pengeluaran terbesar, Rp 1 miliar, ditujukan kepada pejabat dengan kode "WK".
Kuasa hukum para direktur dan komisaris DBS, Karsono, membenarkan keberadaan catatan pengeluaran dana tersebut. Namun dia tak mau berbicara soal nama-nama penerima dana. Dia hanya menerangkan, sebagai komisaris utama, Jefry Cristian Daniel kerap memberikan akun keanggotaan gratis kepada para pejabat di Kota Blitar.
Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Blitar Maryoto mengatakan tidak pernah mendengar aliran dana untuk pejabat Pemerintah Kota Blitar itu. "Saya tidak tahu ada rumor seperti itu," ujarnya.
Adapun Wakil Ketua DPRD Kota Blitar Totok Sugiarto mengatakan dua legislator yang tercatat di buku keuangan PT DBS sudah diperiksa secara internal. Kepada tim pemeriksa, mereka mengakui menerima uang tersebut. Namun mereka berdalih uang itu merupakan pembayaran dua unit mobil Toyota Camry dari pengurus PT DBS. "Jika ada dugaan gratifikasi, silakan polisi atau jaksa mengusutnya," ucap Totok.
Naim Ishak juga membenarkan adanya catatan aliran dana itu. Dia pun berjanji melacak aliran dana, meski nama sejumlah polisi tercantum dalam catatan itu. Hanya, kata Naim, untuk sementara polisi masih berfokus pada penyitaan aset PT DBS yang tersebar di berbagai kota. "Agar dana nasabah bisa dikembalikan," ujarnya.
Karena ada nama polisi dalam pembukuan PT DBS, dua pekan lalu Triyanto dan kawan-kawan melaporkan dugaan aliran dana itu ke Kejaksaan Negeri Blitar. "Kami berharap jaksa bisa lebih netral," kata Triyanto.
Harapan Triyanto bisa saja meleset. Belum apa-apa, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Kota Blitar Hargo Bawono mengatakan alat bukti yang ada belum mencukupi. Catatan pengeluaran PT DBS, menurut dia, tak bisa dijadikan bukti bila tak ada kuitansi atau saksi penyerahan uang. "Kalau PT DBS mau memberikan bukti itu, akan kami selidiki," ucap Hargo.
Febriyan, Hari Tri Warsono (blitar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo