PERANG Iran-Irak sekarang sudah memasuki tahun keenam, tapi belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Untuk sementara Irak memang tidak lagi melancarkan serangan rudal ke berbagai kota di Iran, tapi sasaran tembakan mereka alihkan ke terminal minyak di Pulau Kharg. Sejak pertengahan Agustus lalu, tentara Saddam Hussein malah meningkatkan gempuran terhadap ladang minyak lepas pantai di Cyrus dan Adhesis. Tidak heran jika utusan Kuwait, Abdullah Yacoub Bishara, yang juga menjabat Sekjen AGCC (Dewan Kerja Sama Negara-Negara Teluk), berkata, "Perang Teluk sudah berada di ambang pintu kami. Kalau tidak segera dihentikan, seluruh wilayah Teluk akan terancam." Terbentuk sejak 1981, AGCC secara tetap mengadakan pertemuan puncak. Untuk tahun ini berlangsung di Muscat, Oman. Berakhir Rabu pekan lalu, pertemuan itu memutuskan untuk bersikap netral terhadap perselisihan Iran-Irak. "Kami akan memperbarui kontak-kontak dengan kedua pihak," ujar Abdullah. Ia menambahkan, Iran dan Irak selama ini telah sia-sia menghamburkan dana dan daya untuk perang yang tidak jelas lagi ujung pangkalnya. Abdullah tidak menutupi kenyataan bahwa AGCC sejak dulu memihak bahkan membantu Irak. Namun, menurut Abdullah, ini tidak menghalangi AGCC untuk menciptakan keseimbangan baru di kawasan yang rawan itu. Tanpa buang waktu, seorang pejabat senior Oman telah diutus ke Baghdad dan Teheran. Pejabat itu, Youssef bin Alawi, ditugasi membujuk kedua negara bermusuhan agar mau beralih ke meja perundingan. Sekalipun begitu, seorang diplomat Arab membisikkan, "Kunjungan Alawi cuma formalitas." Mengapa? Penyelesaian politik yang kami usulkan itu sepenuhnya bergantung pada Iran. Ia pura-pura tidak tahu bahwa Irak ternyata sangat agresif belakangan ini. Ketika pertemuan puncak AGCC ditutup, Irak justru secara demonstratif menyerang pabrik baja Iran di Ahwaz, hanya 80 km dari perbatasan. Tentara Presiden Saddam Hussein juga menembaki sebuah tanker Yunani ketika sedang berlayar mengangkut 16.000 ton minyak mentah dari Iran. Teheran berang, dan seperti dulu mengancam akan menutup Selat Hormuz. "Mereka yang menyerukan penghentian Perang Teluk adalah orang-orang tolol," ejek Hashemi Rafsanjani, ketua Majelis (Parlemen) Iran, di hadapan para perwira tinggi Angkatan Bersenjata. Dengan ini, Rafsanjani terang-terangan menyindir upaya damai AGCC. Di samping itu, ia mengisyaratkan bahwa kelancaran pengapalan minyak enam negara Teluk (Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Oman, Bahrain, dan Persatuan Emirat Arab) juga akan terganggu bila Selat Hormuz benar-benar ditutup. Melihat gejolak perang Iran-Irak, keenam negara Teluk kini menyadari pentingnya menggalang kerja sama di bidang industri senjata, pembentukan sistem komunikasi pertahanan bersama, dan pembelian senjata. Tapi gagasan baik itu kini terhalang kemerosotan hasil minyak, gara-gara harga minyak anjlok selama empat tahun terakhir. Arab Saudi, yang cadangan minyaknya mencakup 25% cadangan minyak dunia, ternyata mengalami defisit US$ 55,4 milyar. Aramco, perusahaan minyak di kerajaan itu, terpaksa me-PHK-kan 7.000 dari 55.000 buruhnya. KEADAAN di Bahrain dan Qatar tidak lebih baik. Di sana pemerintah terpaksa memotong gaji pegawai negeri. Di Emirat Arab, anggaran belanja merosot sampai US$ 11,9 milyar, jumlah terendah sejak tahun 1981. Menghadapi bayang-bayang suram itu, enam negara pengekspor minyak bumi ini merencanakan pembangunan jaringan pipa minyak seharga US$ 3 milyar. Pipa itu akan merentang ke seluruh wilayah negara Teluk dan diharapkan bisa menjamin pendapatan negara. Sementara itu, pendekatan Alawi kepada Presiden Saddam Hussein diharap tidak terbentur jalan buntu, begitu pula dengan para pemimpin di Teheran. Pendekatan dua arah ini boleh dianggap tepat waktunya, mengingat Iran dan Irak sedang dilanda kesulitan ekonomi yang jauh lebih berat. Sebegitu jauh baru Saddam Hussein yang menyambut baik prakarsa AGCC ini, sementara sikap Iran sebagai pemegang posisi kunci belum bisa diketahui. Kendati demikian, ada dua hal positif yang patut dicatat. Pertama, lewat kampanye penghematan yang dicanangkan Rafsanjani, Iran berusaha menekan biaya perang. Di samping itu, belum lama ini, Ayatullah Khomeini berpetuah, "Revolusi Iran tidak perlu diekspor dengan senjata, tapi cukup dengan kata-kata." Jelas sudah, petuah itu tidak lagi haus darah. Teheran mulai berubah? Isma Sawitri Laporan Praginanto (Muscat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini