Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bekas presiden vs perdana menteri

Pm lee kuan yew "mempermalukan" eks presiden devan nair di parlemen. akibat keterlibatan nair yang tak senonoh dalam "operasi hitam". "buku putih" diterbitkan guna menyerang nair.

9 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH permusuhan panjang antara seorang perdana menteri dan bekas presiden. Jumat pekan lalu, sebagai balasan atas serangan-serangan Devan Nair, bekas presiden Singapura, PM Lee Kuan Yew berbicara di muka parlemen Singapura. Dan sebuah "Buku Putih" diterbitkan. Pidato Lee, yang diucapkan sebagai jawaban permintaan anggota parlemen Eric Cheong dari Toa Payoh, "menelanjangi" kesalahan-kesalahan Nair, presiden yang dia geser tiga tahun lalu. Lee tadinya merasa perlu menahan diri, tak mau "mempermalukannya". Tapi, katanya, "dengan keluarnya pernyataan-pernyataan Devan Nair akhir-akhir ini tentang perkembangan politik Singapura," dan terlibatnya Nair dalam yang disebut "Operasi Hitam" yang konon memberi angin kepada kelompok oposisi, Lee tak punya pilihan lain. Seperti diketahui, beberapa lama lalu pemerintah Singapura mengusir sekretaris pertama Kedubes AS, karena dituduh terlibat dalam "Operasi Hitam". Operasi itu melibatkan sejumlah pengacara, termasuk Francis Seouw, pengacara Singapura ternama. Dari penyidikan pemerintah Singapura kemudian diketahui bahwa Nair diduga terlibat dalam operasi itu. Barangkali bagian pidato Lee yang paling merusakkan citra Nair adalah yang menyebut "tingkah laku tak terkekang" di muka banyak wanita dalam suatu kunjungan ke Sarawak pada Maret 1985. "Ia mengajak mereka berbuat tak senonoh, mengelus-elus dan mengganggu mereka secara seksual," tambah Lee lagi. Lalu soal kecanduan alkohol. Menurut Lee, Nair mulai minum sejak 1979, ketika salah satu anak kesayangannya, Phey Yew Kok, yang pernah menjabat presiden Persatuan Buruh Nasion, ditangkap karena menggelapkan uang organisasi yang dipimpinnya. Sejak itu ia minum wiski paling tidak sebotol semalam. Yang lebih menghebohkan adalah soal petualangan cinta Nair dengan seorang wanita Jerman. Wanita bernama Konstance Schunemann itu, kata Lee, dikenal Nair dalam suatu perjalanan ke Jerman semasa ia aktif dalam serikat buruh. Nair membawa wanita itu ke Penginapan Istana untuk makan malam. Nair, konon, menyetir sendiri mobilnya tanpa disertai pengawalnya. Ia pun mengenakan rambut palsu. Nyonya Nair mengetahui itu dan terjadilah percekcokan. Ia mengancam akan menceraikan istrinya. Buku Putih dan juga pidato Lee menderetkan beberapa nama dokter ahli yang menguatkan tuduhan bahwa Nair kecanduan alkohol. Selain dokter Singapura, disebut juga Dokter Stanley Gitlow dari New York, yang ahli penyembuhan alkoholik, dan Robin Mitnick, juga dari New York, yang melakukan pemeriksaan atas otak Nair. Keluarga Devan Nair tentu saja marah besar. Nyonya Nair menolak keras bahwa ia pernah mengucapkan hal-hal seperti yang dikatakan Lee. "Saya tak ingat bahwa saya pernah mengatakan hal-hal yang dikutip oleh PM Lee itu," katanya. Nyonya Nair pun menuduh Lee merupakan "manusia tanpa rasa kemanusiaan". Lee telah mengeksploitasi keterangan kesehatan seseorang untuk kepentingan politiknya, katanya. Dan Lee, bagi Nyonya Nair, telah mengkhianati persahabatan. "Ketika saya meminta untuk bertemu dengannya setelah peristiwa Sarawak itu, saya mengajukan itu bukan saja lantaran ia perdana menteri, tetapi juga sahabat." Devan Nair sendiri, yang sedang berlibur di Swiss, membantah semua yang dikatakan Lee. Menurut Nair, Lee telah mengeksploitasi, "cerita yang tak benar sama sekali," untuk menikam seorang teman seperjuangan. Ia mengatakan, Singapura bukan hanya, "bayi Lee, tapi juga bayi Nair." Ia turut dalam pembentukan Negara Pulau itu. Nair pun mengatakan, ia akan mengeluarkan Buku Putih versinya sendiri. Terlepas dari benar tidaknya pidato Lee yang berlangsung selama 15 menit dan Buku Putih itu, kesan yang timbul ialah bahwa politik di Singapura telah jadi soal bagaimana mempermalukan pribadi. Bagi pemerintah Singapura, mungkin itu penting. Bagi orang luar Negara Pulau itu, caranya terasa sangat berlebihan. A.D.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus