Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Benang basah di tepi barat

Raja yordania, hussein, menutup 25 kantor al-fatah & mengusir wakil panglima militer khalil al-wazir, sebagai buntut pelanggaran janji arafat dengan hussein. arafat semakin terkucil & plo makin terserak. (ln)

19 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-HARI ini hari suram buat Yasser Arafat. Sekutu perjuangannya, Raja Hussein dari Yordania, telah memberikan tamparan telak di mata dunia dengan mengeluarkan perintah menutup 25 kantor Al-Fatah sekaligus mengusir Wakil Panglima Militer Khalil al-Wazir (alias Abu Jihad), pekan lalu. Tindakan tersebut sempat memancing kemarahan orang-orang Palestina. Bahkan di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel sejak tahun 1967, muncul pamflet-pamflet anti-Yordania. Tetapi, dalam sebuah wawancara dengan majalah Der Spiegel yang disiarkan awal pekan ini, Arafat malah meminta PBB mengambil alih pengawasan atas wilayah Tepi Barat. Pernyataan ini baru pertama kalinya keluar dari mulut Arafat. Putus asakah dia? Menurut Arafat, keinginan tersebut ditujukan tidak lain agar rakyat Palestina mendapatkan tempat untuk hidup bebas -- sebuah impian yang tak kunjung tiba. Karena itu, Arafat menegaskan akan memberikan jaminan keamanan agar keinginan itu tercapai. Pernyataan tersebut cukup mengagetkan, karena selama ini Organisasi Pembebasan Palestina itu termasuk enggan meminta bantuan PBB. Apalagi sejak institusi tersebut menelurkan Resolusi 242, yang mengakui eksistensi Israel dan menganggap masalah Palestina tidak lebih dari sekadar masalah pengungsi. Namun, tidak sedikit pula pihak yang menganggap pernyataan Arafat itu cuma sekadar hiasan mulut. Sebab, ditendangnya Al-Fatah dari Yordania kali ini juga berpangkal dari ketidaksetiaan Arafat terhadap janjinya sendiri -- setidaknya menurut Hussein. Sementara ini, Hussein masih belum menyinggung kehadiran 12 kantor PLO yang mengurus masalah nonmiliter. Begitu pula terhadap para pejabat PLO yang menangani Tepi Barat. Hanya saja Yordania sementara menghentikan bantuan keuangannya ke wilayah Tepi Barat dan mencabut izin melintasi perbatasan. Sejauh ini banyak pihak menoleh ke belakang ketika Arafat dan Hussein bersepakat dalam prakarsa perdamaian bersama, yang dilandasi oleh Resolusi 242, Februari tahun lalu. Ternyata, Arafat tidak mau menepati janjinya sendiri. Lalu ada yang menduga pengingkaran tersebut disebabkan oleh melemahnya kekuatan Arafat di PLO. Pada kenyataannya, upaya Arafat bersekutu dengan Hussein memang mendapat tantangan dari wakilnya sendiri di PLO, Saleh Khalef (alias Abu Iyad), dan Farouk Kaddoumi, menlu PLO. Menjadi pertanyaan besar, mengapa Hussein berani mengusir Al-Fatah dari bumi Yordania. Bukankah tindakan tersebut nantinya bisa mengakibatkan aksi-aksi balasan berupa teror seperti halnya peristiwa pengusiran gerilyawan Palestina, September 1970? Sejak Hussein mengambil prakarsa perdamaian di Timur Tengah -- yang sempat tenggelam setelah perundingan Camp David yang menimbulkan reaksi keras itu -- ia dianggap telah membuka permainan judi tingkat tinggi. Tampaknya, ia ingin segera mengakhiri pertikaian di Timur Tengah sebelum Israel menjalankan niat: menjadikan Yordania sebagai bumi bangsa Palestina. Bukankah Israel yang sebelumnya menggunakan aksi militer untuk mengusir kehadiran PLO dari Yordania? Kenyataan tersebut tidak bisa ditutupi, memang. Namun, mengikuti pemikiran Hussein, Israel tak mungkin mudah melepaskan Tepi Barat danJalur Gaza. Justru tingginya angka kelahiran rakyat Palestina di sana menkhawatirkan Israel, karena nantinya populasi mereka akan mengungguli warga Yahudi. Berpegang pada anggapan tersebut, Hussein memperhitungkan, dengan segala cara Israel akan mendesak 850 ribu Palestina ke Yordania. Dari teori ini, Yordania mencoba menjalankan strategi baru: rencana pembangunan lima tahun yang akan menelan biaya US$ 150-240 juta per tahun. Berdasarkan hal ini, Yordania berharap agar orang-orang Palestina tidak beranjak dari tempat mereka. Karena itu, ia menawarkan kepada PLO agar mau berunding dengan Israel di bawah delegasi Yordania-Palestina sambil menerima gagasan pembentukan konfederasi Yordania-Palestina. Di sisi lain, upaya Hussein menggaet Arafat bisa dilihat sebagai cara untuk memperbaiki citranya sebagal wakil bangsa Palestina, yang pupus ketika pertemuan puncak di Rabbat, 1974, hanya mengakui PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina. Kegagalan prakarsa perdamaian ini memang cukup menyakitkan hati Hussein, kendati ia mengatakan bahwa tindakan pengusiran Al-Fatah dari Yordania tidak akan mengubah pengakuannya terhadap PLO. Dan korban-korban berikutnya tinggal menunggu saatnya saja. Tapi hal lain yang tidak bisa dipungkiri lagi: perpecahan di tubuh PLO makin menghebat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus