SESUDAH kudeta gagal Ahad pekan lalu, kestabilan politik Filipina masih diuji oleh pemberontak separatis Moro yang menculik 10 biarawati ordo Carmelite Jumat pekan silam. Terjadi di Cagayan de Oro, di tepi Danau Marawi, Mindanao, para korban kabarnya dilarikan ke seberang danau yang terpisah oleh jarak 10 km. Keesokan harinya, Lawrence, seorang pendeta Protestan dari Wisconsin, AS, telah pula dilarikan dengan cara yang sama. Tidak jelas apa motivasi penculik, tapi pihak militer segera melancarkan operasi penyelamatan Sabtu berselang. Di antara kudeta dan penculikan, kawasan utara Filipina dilanda topan Peggy yang menewaskan sedikitnya 71 orang dan menyebabkan ribuan lainnya kehilangan tempat berteduh. Presiden Corazon Aquino, yang belum tuntas menggarap urusan kudeta, terpaksa membagi perhatian pada korban bencana alam itu. Di pihak lain, pemberontak Arturo Tolentino telah dituntut ganti rugi US$ 500.000 oleh Hotel Manila yang dijadikan markas sementara dan terpaksa menampung 200 tentara bersenjata plus 5.000 warga pendukung Marcos. Bukan tidak mustahil Tolenti no, yang masih bebas berkeliaran di Manila itu, akhirnya terdorong juga ke ruang pengadilan, semata-mata karena urusan uang. Sejauh yang menyangkut kudeta konyol itu, Tolentino masih sempat angkat bicara. "Pengambilan sumpah saya minggu lalu hanyalah satu penegasan simbolis akan keyakinan saya pada konstitusi dan dedikasi saya pada demokrasi," katanya berteori. "Saya tidak pernah melakukan kejahatan, baik terhadap republik maupun rakyat Filipina," tuturnya lebih lanjut. Walaupun dikenai tahanan kota, Tolentino rupanya tidak kehilangan gairah untuk bersilat kata. Presiden Aquino sementara itu telah melancarkan ultimatum yang sebegitu jauh belum ditanggapi oleh Tolentino. Partner Marcos ini diharuskan menyatakan diri tunduk pada konstitusi baru, dengan jaminan kejahatannya diampuni. Tapi kalau ia menolak -- sampai kini Tolentino hanya mengakui UUD 1973 ciptaan Marcos -- maka pengacara kawakan itu terpaksa dituntut ke pengadilan. Hukuman yang berbau politis itu bukan saja terlalu lunak, tapi dianggap mencerminkan ketidaktegasan Cory Aquino. Sebagian orang malah kecewa dan khawatir kalau ia begitu terus, lama-lama sang presiden akan kehilangan wibawa. Sebaliknya, ada juga yang terkagum-kagum dengan apa yang mereka sebut kebesaran jiwa Cory, tidak terkecuali Presiden AS Ronald Reagan. Caranya menangani saat-saat gawat dianggap luar biasa, padahal Presiden Filipina itu justru digerakkan oleh motivasi sederhana. Ia bersikap luwes, semata-mata "karena tidak mau menobatkan Tolentino sebagai martir". Alasannya masuk akal juga. Andai kata orang seperti Tolentino dihadapi secara keras, mungkin sekali situasi akan tidak bisa dikuasai. Sebaliknya, dengan sikap lunak tapi penuh perhitungan -- kebrengsekan massa Marcos bisa dikendalikan. Seorang pengamat bahkan meramalkan, dengan kegagalan Tolentino, petualangan politik Marcos bisa dikatakan sudah tamat. Singkatnya, telah tertutup peluang bagi bekas presiden itu untuk coba-coba berkuasa kembali. Memang, sejauh ini belum ada bukti kongkret tentang keterlibatan Marcos, tapi jubir Deplu AS Bernard Kalb berjanji akan melacak kemungkinan itu sampai tuntas. Dari Manila, satu sumber intel membocorkan pada media massa bahwa, tepat pada hari kudeta, Tolentino menerima telepon dua kali dari Marcos. Pada pembicaraan pertama Marcos menyarankan agar Tolesltino mengangkat sumpah sebagai wapres dan menjadikan Hotel Manila sebagai markas. Kedua saran itu dilaksanakan Tolentino. Lalu dalam pembicaraan telepon kedua, Marcos khusus menyampaikan ucapan selamat. Semua ini diketahui dari hubungan telepon antara Honolulu dan Hotel Manila yang dapat disadap petugas intel. Hal lain yang perlu dicatat adalah penampilan MenhanJuan Ponce Enrile yang semakin berbinar-binar di cakrawala politik Filipina. Sering dikambinghitamkan sebagai tokoh yang sewaktu-waktu akan melakukan kudeta, Enrile justru membuktikan sebaliknya. Ia, dengan caranya sendiri, telah berhasil mematahkan kudeta Tolentino, sekaligus membuktikan bahwa ialah tokoh penting dalam percaturan politik di masa kini dan masa-masa mendatang. Keberhasilan Aquino juga akan banyak bergantung kelak pada jasa Enrile, walaupun kedua tokoh itu misalnya tetap sering bersilang pendapat, khususnya dalam masalah hankamnas. Sementara itu, berita terakhir dari Manila menyebutkan, Tolentino dan 13 rekannya yang terlibat pemberontakan telah menolak mengakui konstitusi Filipina. "Kami tidak akan mengakui secuil peraturan pun jika belum diresmikan rakyat Filipina. Karena itu, peraturan itu belum dapat disebut konstitusi," ujar Gerry Espina, juru bicara kelompok itu. Penolakan ini bisa membuka kemungkinan buat penuntutan atas ke-14 orang itu ke depan pengadilan. Itu pun tentu saja kalau Cory tak mundur lagi dan memaafkan mereka. I.S., Laporan Reuter
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini