Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berdemokrasi Gaya Tentara

Rakyat Thailand setuju terhadap konstitusi yang disponsori militer. Pemilih kurang pengetahuan tentang apa saja yang hilang dan berbagai kelemahan yang ada.

15 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengenakan kaus oblong bersablonkan kalimat ”I Love Gen. Prayuth”, Rackchart Wong-Arthichart bergegas masuk ke sebuah kedai kopi di salah satu lokasi di Bangkok. Jenderal Prayuth Chan-ocha adalah pemimpin junta di Thailand. Rackchart mahasiswa dan aktivis yang memperjuangkan demokrasi, maka kaus dengan desain itu tentu saja masuk kategori ”salah kostum”. Tapi dia buru-buru menunjuk bagian punggung kausnya: ada gambar sepasang jari yang disilangkan.

”Saya sendiri yang merancang,” kata anggota Resistant Citizens itu kepada Time, pekan lalu. ”Kami banyak melakukan kampanye satire melawan pemerintahan militer.”

Resistant Citizens adalah kelompok mahasiswa dan aktivis yang secara damai mengkampanyekan kembalinya demokrasi di negara yang dikuasai militer sejak kudeta pada 22 Mei 2014 itu. Tapi upaya mereka, juga siapa saja yang masih bernyali melawan militer dan belum dijebloskan ke penjara, tampaknya bakal berlangsung sangat panjang—jika tak bisa disebut sia-sia. Pada Ahad pekan lalu, melalui referendum yang diarahkan militer, 61 persen rakyat Thailand memilih mengiyakan rancangan konstitusi baru yang sepenuhnya melucuti kekuasaan lembaga-lembaga demokrasi.

Mereka yang memberikan suara dalam referendum hanya 54 persen dari total jumlah pemilih. Tapi ini sudah cukup bagi militer untuk memperoleh legitimasi dan menerapkan demokrasi yang akan mereka kendalikan.

”Mereka akan membentuk pemerintahan di dalam pemerintahan,” ujar Rackchart. ”Ini akan lebih buruk ketimbang yang pernah ada dan akan sangat sulit memperbaikinya atau melakukan apa pun.”

l l l

Resistant Citizens sebenarnya terhitung gigih dalam berupaya menentang draf konstitusi baru itu. Selama hampir satu tahun, sekitar 30 orang anggotanya telah menerbitkan puluhan ribu eksemplar majalah protes setiap bulan, di samping membagikan selebaran dan berkampanye melalui media sosial.

Mereka juga menyelenggarakan protes diam di tempat-tempat yang menjadi ciri penting Kota Bangkok. Mereka menggunakan beraneka macam cara kreatif untuk menyuarakan perlawanan: dari sekadar mengunggah foto Transformers dan prajurit Galactic Empire atau storm­trooper dalam film Star Wars ke media sosial, hingga membaca karya klasik George Orwell, 1984, di keramaian atau sekadar makan roti lapis.

Tahun lalu, mereka sempat menggelar pemilihan umum pura-pura di luar pusat seni Bangkok. Mereka juga mengorganisasi protes dengan menumpang kereta ke taman bertemakan kerajaan yang kontroversial—pusat hiburan rakyat yang dibangun tentara berdasarkan kontrak yang diduga penuh korupsi.

Sejak kudeta dua tahun lalu, praktis merekalah, bersama Thai Student Centre for Democracy, kelompok satu-satunya yang secara terbuka menentang militer. Tentu saja militer tak tinggal diam: sejumlah mahasiswa akhirnya dicokok dan ditahan, juga diikutsertakan dalam apa yang disebut ”penyesuaian perilaku”, tempat para mahasiswa itu dipaksa mengubah pendirian politik.

Belakangan, militer mengeraskan sikap. Mereka mengajukan dakwaan kriminal terhadap sejumlah mahasiswa. Rackchart masuk di antaranya. Jika bersalah, yang sangat boleh jadi, mengingat tuntutan diajukan ke pengadilan militer yang tak terbuka, dia bisa menjalani hukuman penjara sepuluh tahun.

Semua tindakan itu merupakan bagian dari cara menyeluruh militer untuk membungkam suara-suara yang tak sejalan dengannya. Pada 22 Juli lalu, militer memerintahkan penghentian siaran Peace TV, stasiun televisi yang loyal kepada oposisi, selama 30 hari. Menjelang referendum pun, tak ada kampanye, karena dilarang; militer melatih dan kemudian menugasi ribuan pegawai negeri memberi penyuluhan dan membujuk pemilih.

Dengan semua pembatasan tersebut, pengetahuan mengenai jalannya pembahasan draf konstitusi di Komite Penyusun Konstitusi dan apa saja isinya tak bisa sampai ke pemilih. Komite yang anggotanya ditunjuk militer itu bekerja tertutup. Diskusi mengenai kelemahan-kelemahannya nihil; suara penguasa lebih dominan.

Wajar bila dokumen yang dihasilkan tak menjanjikan. ”Konstitusi ini sepenuhnya mengabaikan kedaulatan rakyat Thailand,” demikian pernyataan resmi Partai Phuea Thai, yang pemerintahannya digulingkan militer dua tahun lalu. ”Banyak ketentuan di dalamnya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi internasional dan aturan hukum.”

Di antara yang terpenting dan akan mengubah substansi sejumlah institusi demokrasi, dari 279 pasal, adalah keanggotaan majelis rendah parlemen (seluruhnya berjumlah 500 orang), yang tak lagi berdasarkan pemilu distrik, tapi berlandaskan perwakilan proporsional. Dengan cara pemilihan baru ini, keterwakilan Partai Phuea Thai bakal tergerus. Partai mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra ini, dengan nama-nama berbeda, telah memenangi setiap pemilu dalam 15 tahun terakhir.

Melengkapi perombakan majelis rendah, konstitusi baru menetapkan bahwa anggota majelis tinggi atau senat tak dipilih melalui pemilu. Senat inilah yang diberi wewenang memilih perdana menteri, yang sudah pasti hanya terbuka bagi calon dari militer atau siapa pun yang didukung militer.

Dalam berbagai kesempatan, junta yang berkuasa berjanji melepas kekuasaan. Dalam kenyataannya, seperti tecermin dari ketentuan dalam konstitusi, jalan justru terbuka lebar bagi para jenderal untuk mengukuhkan pengaruh dalam jangka lama.

”Ini bukan standar demokrasi yang kita harapkan pada hari dan masa ini,” kata Abhisit Vejjajiva, mantan perdana menteri dan ketua kekuatan politik terbesar kedua, Partai Demokrat, kepada BBC News, ”tapi saya menghargai keinginan rakyat yang memilih.”

l l l

Abhisit masuk di antara sedikit orang yang sebelumnya mendesak Dewan Reformasi Nasional, yang bertugas memberi persetujuan akhir draf konstitusi, meminta perbaikan. Ketika itu bahkan apa yang dipikirkan rakyat kebanyakan, yang bisa jadi sudah bosan oleh ketidakstabilan politik selama ini, pun sulit diduga.

Meski demikian, pada akhirnya, pilihan bagi rakyat Thailand sama sekali tak ada yang menarik. Menurut para pengamat, memilih ”ya” hanya bisa berarti menyokong konstitusi yang tak demokratis dan bisa menjadi dasar pemerintahan otoriter selama bertahun-tahun; memilih ”tidak” pun sama saja dengan memperpanjang kekuasaan militer, yang sudah pasti bakal menawarkan draf konstitusi baru yang sangat bisa jadi bakal lebih buruk.

Koran The Washington Post menggambarkan situasi itu sebagai praktek Potemkin di masa modern: suatu keadaan yang sengaja dibangun semata untuk mengelabui rakyat agar mereka berpikir bahwa situasinya lebih baik ketimbang kenyataannya. Jika tujuannya adalah mengakhiri konflik di tengah masyarakat akibat polarisasi kekuatan, antara rakyat biasa dan kaum pendukung monarki, konstitusi itu bukan yang dibutuhkan Thailand.

Purwanto Setiadi (BBC News, Reuters, Time, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus