Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kebijakan Koboi Perangi Narkotik

Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte mengobarkan perang terhadap narkotik dengan meminta polisi dan warganya menumpas sendiri para pengedar dan gembong. Kebijakannya dikritik, dia menantang pemberlakuan darurat militer.

15 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Senin pekan lalu, sekitar pukul 22.30 di East Avenue Nil Village, Barangay Sto. Niño, Marikina, sebuah sudut di Kota Metro Manila, seorang pria ditemukan tewas tergeletak. Usianya 35-40 tahun, dengan tato ”Sputnik” dan ”Rommel Warrior 1” di lengannya. Pria itu ditemukan pengendara jip dalam keadaan tertelungkup.

Ia mati dengan sebuah pesan. Menurut Marlon Maiso, polisi yang bertugas, kepala pria itu dibungkus lakban. Di samping mayat ada kardus bertulisan dalam bahasa Tagalog: ”Pusher, magnanakaw ako, huag tularan” atau ”Saya pengedar, pencuri. Jangan meniru saya”.

Inilah kebijakan Presiden Rodrigo Duterte memberantas narkotik. Saat berkampanye, Duterte sudah mengobarkan perang terhadap narkotik, dan kini dia bahkan memberikan keleluasaan bagi warganya untuk menembak sendiri pengedar dan gembong narkotik. ”Silakan hubungi polisi atau Anda melakukannya sendiri jika memiliki pistol. Dan saya akan memberikan medali,” ujar Duterte.

Menurut Inquirer.net pekan lalu, sejak Duterte dilantik pada 30 Juni lalu, mayat yang diduga pengedar dan pemakai narkotik bergelimpang di jalanan mencapai 564 orang. Adapun The Guardian menyebutkan sudah 700 orang pada Senin dua pekan lalu. Setiap hari pasti ada korban: puluhan tergeletak di jalanan Manila. Mayat tergeletak dengan kardus di sampingnya bertulisan ”Pusher Ako”, yang bermakna ”Saya pengedar narkotik”.

Markas Besar Kepolisian Filipina menunjukkan, selama 1 Juli-1 Agustus, jumlah tersangka tewas 395 orang, ditangkap 5.251, dan buron 409 orang. Selain itu, pengedar dan pengguna narkotik yang menyerahkan diri mencapai 545.589 orang.

Kebijakan Duterte menuai kecaman dari Badan Narkotik Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), setelah diadukan 300 pegiat hak asasi manusia. Lembaga pemberantas narkotik dan kejahatan dunia itu prihatin atas melonjaknya kasus pembunuhan terhadap tersangka pengguna dan pengedar narkotik di Filipina. Mereka menilai kebijakan Duterte sebagai aksi pembunuhan di luar hukum.

Uskup Agung Socrates Villegas meminta cara ini dihentikan karena akan membuat anak-anak belajar memaklumi pembunuhan. ”Dari generasi pecandu narkotik, akankah menjadi generasi pembunuh jalanan?” ujar Villegas. Namun bekas Wali Kota Davao itu tak ambil pusing. ”Persetan dengan PBB. Anda sendiri tidak dapat memecahkan masalah pembantaian di Timur Tengah,” katanya.

Kebijakan Duterte terus berlanjut. Awal pekan lalu, dia merilis 150 nama pejabat, dari polisi, hakim, wali kota, bekas wali kota, hingga anggota parlemen yang diduga terlibat perdagangan obat ilegal. Duterte mengistilahkan ”narco-politician” dan ”narco-judges” serta mengultimatum mereka selama 24 jam untuk menyerah atau ditangkap polisi.

l l l

Sepucuk surat dikirimkan Ketua Mahkamah Agung Filipina Maria Lourdes P.A. Sereno kepada Presiden Duterte, awal pekan lalu. Isinya, meminta sumber valid yang menjadi dasar Duterte menyebut nama 14 hakim yang diduga terlibat narkotik. Soalnya, menurut Sereno, penyebutan nama-nama tersebut secara prematur atas penyelidikan kasus dugaan narkotik akan berefek pada peran adjudikasi hakim serta mengganggu pelayanan publik. ”Kami tidak suka dengan kemampuannya menghancurkan lembaga-lembaga publik dan menghasut para hakim dan pegawai terlibat perdagangan obat ilegal,” kata Sereno.

Sereno menyindir kebijakan Duterte yang bisa menimbulkan krisis konstitusi. Mahkamah seharusnya diberi kesempatan melakukan pencegahan ketimbang lebih dulu mengumumkannya. Menurut dia, pengadilan tinggi di setiap wilayah para hakim bertugas memiliki mekanisme secara administratif untuk menyelidiki, menangguhkan, atau menjatuhkan sanksi disiplin. Mahkamah juga membentuk tim komite pencari fakta untuk menyelidiki tuduhan Duterte.

Sereno memuji kebijakan Presiden membersihkan pengadilan. Tapi dia mengingatkan Duterte agar tetap taat aturan konstitusi. ”Dengan segala hormat, Bapak Presiden, kami tidak siap dengan pengumuman tersebut,” demikian isi surat itu.

Kepada rekan-rekan sejawatnya yang diidentifikasi terkait dengan perdagangan obat ilegal, Sereno menyerukan agar tidak menyerah kepada polisi kecuali ada surat perintah penangkapan. Menurut Sereno, kebijakan Duterte berbahaya karena nyawa para hakim terancam pembunuhan di luar hukum. Karena itu, dia mendesak pemerintah membolehkan koleganya membawa senjata api untuk membela diri. ”Kami tidak memiliki personel untuk melindungi hakim.”

Duterte geram. Dia memperingatkan Sereno agar tidak membuat kegaduhan dan krisis kepercayaan publik atas kepemimpinannya. Duterte bahkan mengancam bakal meminta jajarannya di eksekutif untuk tidak menghormati Sereno. 

Sereno dinilai salah memahami maksud penyebutan para hakim sebagai pihak yang diduga terlibat narkotik. Duterte menjelaskan, dia tidak pernah memerintahkan para hakim ditangkap. ”Yang saya katakan, hakim yang ada dalam daftar harus melapor ke Mahkamah Agung,” ujarnya.

Duterte membantah jika penyebutan nama para hakim dikatakan sebagai tuduhan. Dia beralasan, penyebutan nama-nama hanya berdasarkan data. ”Ini bukan informasi kriminal. Saya berkewajiban memberitahukan ke publik dan menjadi bagian tugas saya sebagai Presiden Filipina.”

Duterte meminta Sereno tidak campur tangan dalam tugasnya memberantas narkotik atau memaksanya bertindak melebihi wewenangnya selaku eksekutif. ”Anda mengganggu pekerjaan saya. Minggir. Aku bukan orang bodoh. Jika ini terus berlanjut, atau Anda lebih suka saya menyatakan darurat militer?” ujar Duterte mengancam.

Menurut Philstar.com, ada sejumlah persyaratan bagi Presiden Filipina untuk menetapkan negara dalam keadaan darurat militer. Dan itu harus disetujui ­Kongres.

Menurut Pasal VII, Bagian 8 dari Konstitusi Tahun 1987, status darurat militer hanya berlaku dalam kasus invasi atau pemberontakan. Presiden menyampaikan laporan adanya kasus invasi atau pemberontakan itu kepada Kongres secara langsung atau tertulis dalam waktu 48 jam. Disetujui atau tidaknya status darurat militer, Kongres menyatakannya secara bersama-sama atau setidaknya melalui pemungutan suara mayoritas anggota.

Masa status darurat militer hanya berlaku selama 60 hari, kecuali mayoritas anggota Kongres menyetujui untuk diperpanjang. ”Itu pun jika invasi atau pemberontakan mengancam keselamatan publik.”

Penetapan status darurat militer juga ditinjau oleh Mahkamah Agung untuk dinilai cukup-tidaknya alasan faktual keluarnya status tersebut berdasarkan masukan masyarakat. Mahkamah memiliki waktu 30 hari untuk memutuskan ada-tidaknya alasan faktual tersebut.

Presiden Filipina terakhir yang menetapkan darurat militer adalah Gloria Macapagal-Arroyo. Dia menetapkan status tersebut di Provinsi Maguindanao pada 4 Desember 2009. Di provinsi sebelah selatan Filipina itu, 57 orang tewas dalam peristiwa pembunuhan bermotif politik.

Status darurat militer hanya berlangsung delapan hari karena Presiden Arroyo mencabut status tersebut pada 12 Desember 2009. Sejumlah alasan memenuhi syarat pencabutan status tersebut, antara lain pemberontakan di Maguindanao berhenti, para tersangka pembunuhan massal pada 23 November tahun lalu itu ditangkap, dan kelompok bersenjata dilucuti.

Duterte pun terus mengobarkan janji kampanyenya untuk memerangi narkotik. Setelah memerintahkan polisi, dia meminta Angkatan Bersenjata Filipina bergabung berperang melawan narkotik. Berbicara di depan prajurit Divisi 4 Infanteri di Labangan, Zamboanga del Sur, dia menegaskan, bagi tentara, perang melawan narkotika merupakan peran konstitusional untuk selalu melindungi negara dari ancaman keamanan nasional. ”Bantulah pemerintah. Ini demi Anda, anak Anda, dan cucu Anda.”

SUKMA LOPPIES (INQUIRER, PHILSTAR, CNNPHILIPPINES.COM, REUTERS, THE GUARDIAN)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus