Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berlomba di luar, petik kemenangan di kandang

Pm mahathir mohamad menarik minat wartawan selama ktt nonblok ke-10 di jakarta. ia bicara keras terhadap politik internasional. berani mengkritik barat. ingin mengangkat etnis melayu.

12 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEANDAINYA Mahathir dulu jadi sekolah di London, mungkin pekan lalu ia tak akan berada di antara sekitar 100 kepala negara dan pemerintahan di KTT Nonblok ke-10 di Jakarta. Tapi ia menolak ke London, dan 11 tahun lalu ia terpilih menjadi perdana menteri Malaysia. Maka ia hadir, dan bersaing dengan Ketua PLO Yasser Arafat dalam hal menarik minat wartawan. Dan mungkin sudah terlalu tahu minat wartawan, keduanya berbicara tentang masalah yang sedang menjadi topik. Kalau kemudian Arafat menjadi runner up, itu karena soal Palestina, intifadah, atau Jalur Gaza sudah terlalu sering diomongkan dan belum ada yang baru. Dan kebetulan, Konperensi Damai Timur Tengah di Washington memasuki masa istirahat. Lain halnya dengan Mahathir Mohamad, sudah sejak berangkat dari Kuala Lumpur, ia sudah melempar bola. Beberapa hari sebelum ia berangkat ke Jakarta ia memutuskan hubungan diplomatik dengan Beograd, ibu kota bekas Yugo. Lalu, sebelum terbang ke Jakarta awal pekan lalu, ia menyatakan akan mempersoalkan dengan keras soal Bosnia dan bekas Yugoslavia. Cukup kompletlah unsur yang bisa membuatnya moncer di sebuah pertemuan internasional yang diliput dua ribuan wartawan. Dan memang benar. Di Jakarta, janji Mahathir ditunggu-tunggu. Tapi ternyata ia tak ingin bikin gaduh. Dalam pidatonya kemudian di sidang KTT, ia memang lantang mengecam Serbia yang menjarah Bosnia. Tapi ia tak mendesakkan KTT Nonblok harus membuat satu keputusan tentang bekas Yugoslavia. Ia menghormati kesepakatan sidang tingkat menteri luar negeri, sebelum ia hadir di Jakarta. Yakni bahwa soal Yugo akan dibicarakan di sidang tingkat tinggi di New York, minggu depan. Sebuah antiklimaks, memang. Jadi? "Mahathir memang politikus ulung," ujar seorang wartawan senior. Sejumlah pemimpin dunia yang vokal, kata wartawan itu, biasanya tak menyia-nyiakan kesempatan seperti KTT ini sebagai pentas politik dunia, untuk menyuarakan kepentingan politiknya. Itulah cara memantapkan kepemimpinannya di dalam negeri sendiri, cara untuk membikin pucat oposisi. Buktinya memang ada. Berita Harian dan sejumlah surat kabar di Kuala Lumpur memberitakan panjang lebar tentang pidato dan pernyataan-pernyataan perdana menterinya itu. Saking semangatnya, surat kabar Berita Harian menilai media massa Indonesia kurang memberi porsi besar bagi pemimpinnya. Malah sempat tersebar kabar burung bahwa pers Indonesia memboikot Mahathir. Yang terang, Berita Harian edisi Sabtu pekan lalu menurunkan kepala berita berjudul "Indonesia Cemburu pada Mahathir". Mustapa Omar, penulis berita di harian Kuala Lumpur itu, mempertanyakan mengapa kedatangan rombongan perdana menteri Malaysia tak dipublikasikan seperti rombongan delegasi negara lainnya. "Mungkin ada kekhawatiran Mahathir menjadi populer dengan pendapatnya yang mengecam negara-negara maju," tulis Mustapa. Dalam satu hal, Mustapa benar: Mahathir bukan cuma di KTT Nonblok di Jakarta gemar meledek Barat. Misalnya saja, beberapa hari menjelang keberangkatannya ke Jakarta, dalam acara Hari Wanita ke-30 di Kuala Lumpur, Mahathir pun tak melepaskan kesempatan ini. Dalam pidato sambutannya, antara lain ia mengatakan, "Sementara di rumah tangga selalu membicarakan soal moral, di luar wanita-wanita Barat menuntut haknya sama dengan pria agar bisa menyeleweng. Lembaga perkawinan pun tak ada harganya lagi bagi mereka." Sehari sebelumnya dalam Kongres Partai Pesaka Bumiputra Bersatu di Kuching, Serawak, Mahathir mengulangi kecamannya pada "pihak tertentu", dan agaknya yang dia maksud adalah Barat. Itulah kecaman pada negara yang menggagalkan pembentukan Kaukus Ekonomi Asia Timur. "Dengan pelbagai usaha, mereka mencoba mempengaruhi negara sahabat agar ikut menentang pendirian kaukus ini," kata Mahathir. Kaukus atau kelompok ekonomi Asia Timur yang diusulkan Mahathir dalam KTT ASEAN di Singapura beberapa lama lalu adalah wadah kerja sama ekonomi Asia Timur. Tujuannya, untuk mengurangi peranan Barat, terutama Amerika, di kawasan ini. Sebab, kini sudah ada Jepang. Tapi itulah kesan di permukaan. Sebagaimana bintang panggung, tentunya Mahathir tahu bagaimana memikat publik, sedangkan apa yang sebenarnya terjadi adalah urusan para kritikus. Coba saja simak, apa sebenarnya yang terjadi dengan program "Melihat ke Timur"-nya. Di bawah program yang terkesan progresif dan berbau anti-Barat itu, ternyata ada tujuan yang sungguh-sungguh dan sebenarnya lebih berbau konservatif (lihat Dari Ekonomi Baru sampai Pantai Kura-Kura). Seorang pengamat peristiwa internasiobnal, Yusuf Wanandi, setuju dengan pendapat itu. Dilihat secara keseluruhan, kata pengamat dari CSIS (Centre for Strategic and International Studies) itu, "Mahathir cenderung konservatif." Contohnya sangat jelas. Kebijaksanaan luar negerinya yang mengizinkan Amerika Serikat mereparasi kapal-kapal perangnya di Malaysia merupakan salah satu contoh. Lalu, hubungan perdagangan dan ekonominya yang masih tergantung AS merupakan contoh lain -- 25% ekspornya ke AS. Dan memang dalam jumpa persnya di KTT Nonblok, Mahathir mengakui bahwa ia bukanlah anti-Amerika. "Malaysia tetap berhubungan baik dengan Amerika. Bahkan, sekitar 40% investasi asing Malaysia berasal dari AS," katanya. Yang dikecamnya dari Amerika adalah sejumlah aksi yang menurut Mahathir sewenang-wenang, tak sesuai dengan etik internasional. Misalnya, masuknya pasukan Amerika ke Panama dan menculik Jenderal Noriega, yang waktu itu masih resmi berkuasa. Lalu pengeboman Tripoli, ibu kota Libya, oleh pesawat pengebom AS beberapa tahun lalu. Kritik tajamnya terhadap Barat itulah yang membuat banyak negara berkembang menganggap Mahathir sebagai pahlawan. Sehingga tak heran jika dalam kunjungannya ke Tanzania, salah satu sebutan yang diberikan pada Mahathir adalah "Pahlawan dari Selatan". Tampaknya, tentang Mahathir pun orang tak bisa menilainya hanya dari satu sudut. Semangatnya yang membela kaum Melayu misalnya. Sementara sikap pro-Melayu Mahathir -- seperti yang tertulis dalam bukunya, The Malay Dilemma -- adalah "suara Mahathir tiga puluh tahun silam," tutur Tan Sri Ghazali, bekas menteri luar negeri Malaysia. Dan itu tak berarti Mahathir tak pernah mengritik orang-orang Melayu yang korup dan memanfaatkan Kebijaksanaan Ekonomi Baru untuk kepentingan pribadi. Lalu, apa yang diharapkan Mahathir dari pertemuan internasional seperti KTT Nonblok Jakarta kali ini? Ada yang mengatakan, Mahathir sebagai pengagum Bung Karno ingin mengisi kekosongan negara Dunia Ketiga dari pemimpin yang vokal. Pemimpin yang kini masih aktif masing-masing sibuk dengan masalah dalam negerinya sendiri: Fidel Castro, Saddam Hussein, dan Muammar Qadhafi. Tapi, kata Dr. Rustam A. Sani dari Institut Kajian Strategi dan Internasional Malaysia, "Apakah Dunia Ketiga masih memerlukan juru bicara seperti dulu?" Pengamat internasional Malaysia ini menilai Mahathir sebenarnya juga ahli strategi. Menurut Dr. Rustam, kritik tajam yang didengungkan Mahathir dalam KTT Nonblok dimaksudkan untuk menarik simpati negara-negara di Amerika Latin, Afrika, dan Kepulauan Pasifik. Tujuannya, "agar barang-barang ekspor Malaysia memperoleh pasaran," kata Rustam. Toh ada juga yang bependapat lain. Bahwa sukses ekonomi Malaysia bukan karena Mahathir. Ini dikatakan oleh Tengku Razaleigh Hamzah, bekas wakil presiden UMNO, yang gagal bertanding dengan Mahathir dalam pemilu tahun 1988. "Bukan saja perekonomian Malaysia yang maju, tetapi juga negara anggota ASEAN lainnya," kata Razaleigh. Maksudnya, kemajuan ekonomi Malaysia bukan semat-mata karena Mahathir, tapi memang suasana di dunai internasional memungkinkan itu. Misalnya, kata Tengku Razaleigh lagi, menguatnya ringgit Malaysia belakangan ini bukan merupakan indikasi naiknya ekonomi Malaysia. Itu hanya merupakan fenomena sementara. Sebab mata uang Malaysia ini meningkat nilai tukarnya terhadap dolar Amerika saja. Terhadap mata uang lainnya, seperti dolar Singapura, Brunei, bahkan terhadap mata uang Eropa maupun Jepang tetap. "Ini adalah permainan AS agar dapat meningkatkan ekspornya," ujar Razaleigh. "Dan hal ini justru merugikan Malaysia, karena bisa berarti cadangan devisa dolar Amerika yang dimiliki Malaysia bisa turun," tambahnya. Bahkan Tengku Razaleigh yang bergelar Pangeran dari Istana Kerajaan Kelantan ini tidak melihat Malaysia berhasil dengan proyek otomotif Proton Saganya. "Biaya pembangunan fisik pabrik mobil yang hampir 2 milyar ringgit hingga kini belum impas," katanya. Hal ini karena sebagian besar komponen mobil sedan itu masih diimpor dari Mitsubishi, Jepang, dengan biaya tinggi. Malaysia baru mampu memproduksi 30% komponennya. Apalagi dengan menekan harga agar lebih murah daripada harga mobil sejenis dari produksi lain, "Berarti pemerintah Malaysia harus menyuntik sejumlah subsidi bagi setiap mobil Proton Saga," ujar Razaleigh. Meski begitu, patut diakui bahwa kedudukan Mahathir di panggung politik dalam negeri Malaysia memang kuat. Sejak ia memenangkan kursi ketua United Malays National Organization (UMNO), Mahathir mendapat kepercayaan dari para pengikutnya. "Jika ia mau, hari ini pun orang-orang yang menentangnya bisa ditendang dari partai maupun pemerintahannya," kata Razaleigh pula. Jadi, mungkin benar, semua itu adalah upaya Mahathir memperoleh dukungan di dalam negeri sendiri. Bila ada keuntungan diperoleh dari luar, syukurlah. Sebab, tampaknya kerugian dari luar tak akan ada. Kecaman yang selama ini dilontarkan Mahathir terhadap Amerika dan Barat, misalnya, mungkin tak akan sampai membuat Bush atau PM Inggris John Major marah. "Siapa yang mau mempedulikan kecaman dari sebuah negeri kecil seperti Malaysia ini?" kata Razaleigh. Juga, pemerintah di Barat yang sudah terbiasa dengan pers bebas dan kebebasan berbicara tentu tak mudah tersinggung. Hal itu terbukti dengan pendapat sumber-sumber AS di Jakarta, bahwa pemerintahan Presiden Bush tak melihat Mahathir sebagai masalah besar. Kata seorang diplomat Barat, "Boleh dibilang Malaysia tak dianggap, bila Washington memandang peta politik Asia Tenggara." Mahathir sendiri mungkin tahu benar, memang bukan itu sasarannya. Tapi bagaimana membuat ia didukung, dan bagaimana kaum Melayu menjadi tampil di dunia internasional, setidaknya namanya. Bukan begitu, Datuk? Didi Prambadi (Jakarta), Biro Jakarta, dan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus