Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pembela melayu berpaling ke timur

Semangat anti-barat mahathir terpupuk sejak kecil. setelah menjadi perdana menteri, semangat anti-baratnya dituangkan dalam pandangan politiknya. gagasan kebangkitan melayu diwujudkan.

12 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA dianggap hendak mencuri perhatian dari Indonesia sebagai tuan rumah KTT Nonblok pekan lalu. Tapi dengan tangkas dan menarik Perdana Menteri Malaysia berusia 67 tahun itu membantahnya: "Bagaimana mungkin kami yang berpenduduk hanya 80 juta jiwa, mencuri perhatian Indonesia yang penduduknya dua kali lebih banyak? Kami sangat kecil," bantah Mahathir dalam suatu jumpa pers. Mungkin Mahathir memang tak berniat mencuri perhatian. Mungkin ia sekadar melanjutkan gaya kepemimpinannya: hampir di setiap forum internasional sebelumnya ia selalu melontarkan gagasan kontrovesial bagi kepentingan Dunia Ketiga. Maka ketika berkunjung ke Tanzania, sebuah spanduk menyambutnya: selamat datang "Pahlawan Kaum Papa". Tampaknya semangat anti Barat Mahathir terpupuk sejak muda. Berbeda dari keempat pemimpin Malaysia sebelumnya yang berpendidikan Barat, Mahathir menyelesaikan gelar dokternya hanya di Singapura. Padahal sebagai lulusan SMP berbahasa Inggris di Kedah, ia ditawari melanjutkan sekolah ke London. Tapi tawaran itu ditolaknya. Sekolah ke London, "Paling-paling setelah lulus cuma jadi pegawai negeri," pikir Mahathir ketika itu. Maka ia memilih masuk sekolah kedokteran di Singapura, setelah gagal mendapatkan bea siswa di sekolah hukum. Cita-citanya memang jadi pengacara atau dokter, cita-cita yang tak disetujui oleh ibunya, Cik Wan Tempawan binti Cik Wan Hanapi yang sangat dicintainya. Bagi ibunya, dua profesi itu waktu itu tak mendatangkan banyak uang. Bagi Mahathir, itulah cara dia untuk menjadi terpandang dan bisa hidup mandiri. Di Singapura, sambil kuliah Mahathir menuangkan pandangan politiknya yang condong anti-Barat lewat sejumlah tulisan yang dimuat harian The Sunday Times (kini The Straits Times) dengan nama samaran C.H.E. Det -- diambil dari Che Det, nama panggilannya. Para pembacanya belakangan kaget setelah mengetahui bahwa artikel-artikel dengan bahasa Inggris yang halus itu ditulis oleh seorang Melayu bernama Mahathir. Karena semangat anti-Baratnya itu ia sampai menghadiri Konperensi Organisasi Solidaritas Rakyat Afro-Asia di Ghana yang didominasi komunis. Di hari-hari pertama ia jadi perdana menteri, semangat anti-Barat itu pula yang muncul bikin gaduh, kata orang Malaysia. Secara mengejutkan ia menyatakan tak bersedia menghadiri pertemuan Negara-negara Persemakmuran, September 1981. Tak hanya itu, Mahathir menerapkan kebijaksanaan mengurangi pembelian produk Inggris melalui program Buy British Last, bikinan Inggris jadi alternatif terakhir. Dilanjutkan dengan konsep "Berpaling ke Timur", pembangunan sejumlah proyek Malaysia sengaja diberikan pada kontraktor Jepang dan Korea, ketimbang kontraktor Amerika atau Inggris. Sebagai Melayu, Mahathir kecil memang mengalami hal-hal yang akhirnya tak terlupakan. Dalam buku Mahathir of Malaysia: Statesman and Leader, diceritakan bagaimana kemelayuannya membuatnya ditolak oleh seorang Cina. Waktu itu zaman Jepang. Mahathir yang tak sempat menamatkan SMP-nya, mencoba mencari pekerjaan. Seorang babah Cina pedagang karet di kampungnya menolak lamarannya karena ia orang Melayu yang dianggap tak becus berbisnis. Lalu Mahathir bersama dua temannya mencoba berjualan kopi dan kue di kantin markas serdadu Jepang. Tak berapa lama kemudian ia pun terpaksa jualan di luar kantin karena kalah bersaing dengan seorang penjual Cina. "Kemelaratan yang mengakibatkan orang Melayu kelihatan bodoh dan tak mampu bersaing," itulah kesimpulan dia akhirnya, sebagaimana dikutip dalam buku tersebut di atas. Itu memperkuat niatnya membangkitkan harga diri dan taraf hidup Melayu. Pikiran ini dituangkan dalam bukunya, Malay Dilemma, yang pernah tak boleh beredar di zaman PM Tunku Abdul Rahman, di tahun 1960-an. Gagasan kebangkitan Melayu ia wujudkan begitu ia naik jadi perdana menteri, 1981. Serangkaian swastanisasi perusahaan negara lebih banyak diberikan pada orang Melayu. Tapi tampaknya program ini belum sukses. Hingga akhir tahun lalu pihak Melayu masih hanya memperoleh hampir 20% dari porsi kue ekonomi, sedang non-Melayu -- yang terdiri dari India dan Cina -- masih memegang 44% saham. Sisanya, dipegang warga negara asing 40%. Target Mahathir, Melayu memegang 30% saham. Maka prorgam memprioritaskan Melayu itu yang mestinya ditutup tahun lalu, disambung hingga tahun 2020. Satu lagi gaya Mahathir, ia tak begitu ketat dalam keprotokoleran. Ia sering tampak menyetir mobil sendiri. Dan dalam KTT di Jakarta, Kamis siang pekan lalu Mahathir diam-diam hilang dari Balai Sidang. Ia terlihat menikmati makan siangnya di Restoran Padang Natrabu di Jalan Sabang, Jakarta, sekitar 5 km dari Balai Sidang. Mahathir memesan Dendeng Balado berkali-kali, bahkan minta dibungkuskan untuk dibawa ke Hilton, tempatnya menginap. Setelah menikmati mangga manis, Mahathir yang sudah dua kali berkunjung ke Natrabu menorehkan kesannya di buku tamu: "Amat Sedap Sekali." Didi Prambadi, LSC (Jakarta) & Ekram H. Atamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus