MEJA perundingan damai PLO-Israel kembali dibuka setelah macet hampir sebulan. "Proses itu kini mulai digerakkan lagi," ujar Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres, setelah ketemu Faisal Husseini, perunding Palestina. Kedua petinggi itu, seperti dilaporkan Reuters yang mengutip Radio Israel, sepakat menetapkan jadwal perundingan damai itu, Ahad pekan ini, di Tunis. Agak mengherankan jika PLO tiba-tiba lunak sikapnya. Padahal, semula ia memboikot pembicaraan damai itu setelah terjadi pembantaian Hebron 25 Februari lalu. Sejak saat itu, Ketua PLO Yasser Arafat tak kepalang tanggung menaikkan tarif syarat- syarat damainya pada Israel, yang deklarasi prinsipnya telah diteken di Washington, September tahun lalu. Di antara yang ditekankan, Arafat minta agar perluasan kawasan permukiman Yahudi disetop. Juga daerah kantong terorisme harus dibersihkan dan ratusan ribu pemukim Yahudi dilucuti. Ada lagi: agar didatangkan pasukan internasional (bersenjata) di daerah pendudukan untuk melindungi warga Palestina. Belum lagi tuntutan itu dijawab, apalagi disanggupi, kubu Arafat sudah membuka pintu untuk berunding. Agaknya ini tak lepas dari manuver Perdana Menteri Yitzhak Rabin, yang getol mencari simpati di dalam dan luar negeri. Bahkan, Jumat pekan lalu, Rabin juga bertelepon dengan Yasser Arafat selama 15 menit. Bisa jadi, ini juga lantaran diplomasi nonstop yang dilancarkan Amerika Serikat -- belakangan diikuti Rusia. Menteri Luar Negeri Warren Christopher terus-menerus membujuk Arafat dan Rabin. Cara Amerika melumerkan sikap keras PLO antara lain dengan memamerkan hasil perundingan damai Israel dengan kubu yang lain. Misalnya, adanya kesediaan Suriah, Yordania, dan Libanon untuk berembuk dengan Israel di Washington, awal April depan. Apalagi, kata Rabin, Israel mau membuat kejutan, yakni menyerahkan Dataran Tinggi Golan ke Suriah. Namun, memang ada yang menarik PLO kembali ke meja perundingan, yakni resolusi Dewan Keamanan PBB Jumat pekan lalu. Resolusi yang disusun atas desakan Djibouti, Inggris, Prancis, Spanyol, dan Rusia ini, selain mengutuk pembantaian Hebron, juga ada sejumlah rumusan yang membuat PLO sedikit senang. Ada beberapa yang sejalan dengan keinginannya -- yang tentunya ditentang Amerika. Misalnya, sebutan "Yerusalem sebagai daerah pendudukan Israel", "kawasan Palestina yang diduduki". Di situ juga disebutkan perlunya kehadiran pasukan internasional tanpa senjata, untuk menjaga warga Palestina -- walau cuma temporer dan sekadar pengamat. Puaskah PLO? "Itu kan hanya secarik kertas. Yang terpenting justru penerapannya. Dan kami tunggu tindakan Israel selanjutnya," kata Yasser Abed-Rabbo, anggota Komite Eksekutif PLO. Yang juga membuat PLO tertarik adalah janji Menteri Shimon Peres, bahwa perundingan yang dimulai di Tunis itu hanya butuh waktu empat minggu. Kalau tak molor, ini tak jauh beda dari jadwal mundurnya Israel dari wilayah Yerikho dan Jalur Gaza, 13 April mendatang.Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini