SIAPA yang berani menjamin bahwa tak akan terjadi pembantaian lagi bagi rakyat Palestina? Pertanyaan Pemimpin PLO Yasser Arafat ini bukan cuma diluncurkan buat menyesali pembantaian di Masjid Ibrahim, Hebron, akhir Februari lalu. Ia sebenarnya menyangsikan kemampuan pemerintah Israel dalam menjinakkan kaum ekstremisnya yang suka bertindak brutal atas warga Palestina. Rupanya, kesangsian Yasser Arafat bukan asal syak. Sebab, janji Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin yang mau menindak kelompok ekstrem Yahudi tak juga ada hasilnya. Lihat saja aksi penumpasan gerakan Kach -- kelompok radikal Yahudi yang diikuti penjagal Goldstein. Operasi yang dilancarkan sepekan setelah pembantaian Hebron itu tak berhasil sempurna. Hanya dua dari enam pemimpin kelompok itu yang ditangkap. Lainnya masih dinyatakan buron. Padahal, pemimpin utamanya, Baruch Marzel, kini masih bebas berkeliaran. Ia termasuk sering muncul di layar televisi, radio, atau diwawancarai wartawan. "Saya senang melihat polisi main kucing-kucingan dengan penduduk Yahudi dari balik jendela," kata Marzel kepada sejumlah wartawan Israel. Para pengamat pun menganalisa, niat Israel meringkus kaum ekstremis itu cuma untuk meredam kecaman dunia. Juga soal operasi pelucutan senjata terhadap sejumlah pemukim Yahudi di wilayah pendudukan. Hasilnya boleh dibilang nol besar. "Kami tak akan menyerahkan senjata ini ke pemerintah yang berkhianat," kata David Axelrod, pemukim Yahudi yang tinggal di Kfar Tapuah, Tepi Barat, kepada tentara Israel yang akan melucutinya. Ia dengan bengal malah menantang mereka: "Kalian saja yang pergi. Biar kami yang mempertahankan tanah ini." Warga Yahudi, terutama kelompok ekstrem, juga cuek dengan ketentuan jam malam di wilayah pendudukan yang dimaksudkan untuk meredam kemungkinan kerusuhan warga Yahudi-Arab setelah peristiwa Hebron. Padahal, seperti diumumkan Menteri Luar Negeri Shimon Peres, jam malam itu berlaku bagi seluruh warga yang ada di Jalur Gaza dan Tepi Barat. "Termasuk warga Yahudi," katanya. Para pemukim di Kiryat Arba (tempat Goldstein), dengan leluasa berkalung senapan otomatis berjalan-jalan di pasar Hebron. Bahkan, tak sedikit pemukim Yahudi yang berkeliaran sampai Yerusalem atau Tel Aviv. Sementara itu, ribuan warga Palestina di Ramallah dan Yerikho tetap dilarang keluar rumah. Perlakuan berat sebelah itu tentunya tak lepas dari perubahan sikap politik dalam Partai Buruh pimpinan PM Yitzhak Rabin. Majalah The Economist mengulas, partainya kini tak lagi harus bergantung pada lima anggota partai-partai Arab yang mendukung- nya dalam pemilu 1992. Berbaik-baik dengan kelompok Arab, tulis majalah itu, dianggap warga Israel tak ada gunanya. Misalnya, serangkaian kerusuhan yang dilancarkan penduduk Arab selama ini dinilai Israel telah membuat kaum Yahudi tertekan. Goldstein itulah salah satu cetusannya. Untuk itu, Partai Buruh yang kini menguasai 56 kursi dari 120 kursi Knesset (parlemen) berencana menarik simpati dari Partai Shas, partai ultra-ortodoks Yahudi, yang punya enam kursi. Cara mengambil hati, mungkin ia akan mengangkat dua atau tiga orang untuk duduk di kabinetnya. Juga, tentu sikapnya yang tak tegas bagi kaum ekstremis itu. "Kami tak akan membuat keputusan penting tanpa mayoritas yang solid," ujar Rabin di parlemen. Bisa duduga, Rabin tak akan memberikan konsesi terlalu besar bagi PLO tanpa dukungan di dalam negeri. Walau, untuk mengambil hati dunia, Rabin dengan suara lantang mengecam peristiwa Hebron dan mengimbau Yasser Arafat agar kembali ke meja perundingan damai (lihat Berpacu di Jalan Damai). Sikap mendua itu tampaknya memang sulit disembunyikan Israel. Koresponden The Economist melaporkan dari Hebron bahwa aparat Israel telah menghilangkan bukti-bukti pembantaian oleh Goldstein -- sebelum komisi penyelidik yang dibentuknya tiba di lokasi. Beberapa jam setelah Masjid Ibrahim dinyatakan tertutup, sejumlah serdadu tampak membersihkan genangan darah di lantai. Ratusan sandal jemaah yang berlumur darah diangkut dan dimusnahkan. Sejumlah saksi mata di Rumah Sakit Al-Ahli bahkan menuturkan bahwa tentara Israel masih menembaki rombongan keluarga korban yang berkumpul di pintu gerbang rumah sakit, termasuk seorang penyumbang darah yang pecah kepalanya kena peluru. Para polisi yang diinterogasi komisi penyelidik memang mengakui bahwa mereka tak boleh menembak warga Yahudi. "Kami hanya boleh mencegah atau meringkusnya, untuk diamankan," kata Meir Tayar, kepala satuan polisi di Hebron. Kebetulan tak ada larangan buat penduduk Palestina. Karena itu, wajar kiranya bila Yasser Arafat menuntut kehadiran pasukan internasional PBB di wilayah pendudukan, selain pelucutan senjata bagi sekitar 140 ribu pemukim Yahudi. Tuntutan itu sulit dikabulkan Rabin. Ia bahkan akan mengirim 1.500 tentara untuk menjaga pemukim Yahudi yang ngotot tak mau dipindahkan. Mereka, sekitar 400 orang, baru akan dipindahkan setelah lima tahun masa pemerintahan transisi PLO di Yerikho dan Jalur Gaza. Kalau itu yang terjadi, jalan damai akan kian panjang dan berliku. Misalnya, penarikan pasukan Israel yang dijadwalkan April ini bisa jadi tak akan terwujud.Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini