Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berpacu Menjelang Pertemuan di Negeri Singa

Gedung Putih membatalkan sanksi terhadap sekitar 30 individu dan organisasi terkait Korea Utara.

31 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tayangan televisi tentang rencana pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un disiarkan di Stasiun Kereta Seoul, Korea Selatan, 25 Mei 2018. (AP Photo/Ahn Young-joon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sita Planasari Aquadini
[email protected]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WASHINGTON, DC – Ketidakpastian seakan menjadi nama tengah Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Setelah membatalkan rencana pertemuan dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un pada Kamis pekan lalu, tiba-tiba Trump kembali mempertimbangkan rencana pertemuan tersebut.

Namun kali ini, rencana pertemuan pada 12 Juni di Singapura itu bahkan terasa lebih serius daripada sebelumnya.

Pertama, penunjukan Sung Kim—Duta Besar AS untuk Filipina—sebagai ketua tim negosiator. Sung dilaporkan telah bertolak ke Pyongyang untuk membahas sejumlah detail dengan pejabat Korea Utara.

Ia merupakan Duta Besar AS untuk Korea Selatan dan utusan khusus untuk kebijakan Korea Utara di masa pemerintahan Obama. Sung Kim juga menjadi utusan khusus Presiden George W. Bush dalam pertemuan Enam Pihak yang membahas pengawasan senjata nuklir Korea Utara.

Dalam tim itu juga terdapat Allison Hooker, pejabat urusan Korea di Dewan Keamanan Nasional (NSC), dan Randall Schriver, pejabat tinggi urusan Asia di Pentagon, yang menemani Menteri Luar Negeri Mike Pompeo saat bertemu Kim.

“Ini adalah tim yang kuat. Mereka kompeten dan sangat paham masalah,” kata Mintaro Oba, bekas pejabat Kemlu AS yang berurusan dengan Korea Utara kepada Vox, kemarin.

“Jika Anda percaya bahwa persiapan yang baik adalah kunci keberhasilan sebuah pertemuan, tim ini akan memberi Anda keyakinan besar. Mereka adalah tim A diplomat tentang Korea Utara.”

Tanda keseriusan kedua adalah diizinkannya Jenderal Korea Utara Kim Yong-chol untuk berkunjung ke New York kemarin. Kim, pejabat mata-mata tertinggi dan orang kedua setelah pemimpin muda Korea Utara, dijadwalkan akan bertemu dengan Pompeo untuk membahas persiapan pertemuan di Negeri Singa.

Ia juga menjadi pejabat Korea Utara tertinggi yang pernah datang ke AS sejak dua dekade lalu. Menurut jurnalis Washington Post, Anna Fifield, pada 2000 Jo Myong-rok, bekas pejabat pertahanan Korea Utara, bertemu dengan Presiden Bill Clinton di Gedung Putih.

“Kehadiran sang jenderal merupakan pertanda bahwa kedua pihak serius membahas isi pertemuan selain soal protokol,” ujar Scott Snyder, penulis buku South Korea at the Crossroads and Negotiating on the Edge, kepada Slate.

Hal ini dibenarkan mantan pakar keamanan Asia untuk Kementerian Pertahanan AS, Lindsey Ford. “Ini merupakan tanda-tanda baik ketika seluruh pemain kunci bersedia untuk duduk bersama dan berunding,” kata Ford. “Jenderal Kim cukup senior untuk mewakili Kim. Ini yang kita butuhkan agar kedua negara membuat progres.”

Dari lokasi rencana pertemuan, Trump mengirim Joe Hagin, wakil ketua staf Gedung Putih, yang akan membahas detail pertemuan seperti kapan pertemuan akan berlangsung, seberapa besar informasi yang akan dibuka kepada media, hingga siapa pejabat yang akan ikut di meja perundingan.

Pertemuan simultan di Pyongyang, Singapura, dan Washington menunjukkan semua pihak mendukung rencana pertemuan tersebut.

Bahkan, Trump juga membuat keputusan sangat besar untuk memastikan rencana pertemuan yang hanya dua pekan lagi itu dapat berjalan lancar. Gedung Putih membatalkan sanksi terhadap sekitar 30 individu dan organisasi yang terkait dengan Korea Utara, termasuk dari Cina dan Rusia.

“Ini merupakan keputusan yang sangat bijaksana. Membatalkan sanksi memang penting jika ingin pertemuan dengan Pyongyang tetap berlangsung. Selain itu, pembatalan ini menunjukkan iktikad baik Washington terhadap pemain lain di wilayah, yaitu Beijing yang mendukung upaya diplomasi terhadap Korea Utara,” tutur Oba.

Kendati begitu, sejumlah pihak khawatir semua sinyal positif ini tidak akan berjalan baik karena tenggat menjelang pertemuan sangat singkat. “Masih ada pertanyaan, meski dengan semua kemampuan yang mereka miliki, apakah tim ini mampu membuat terobosan dalam waktu singkat?” ucap Ford.

Veteran perunding AS untuk Korea Utara juga menyuarakan kekhawatirannya. “Presiden berkata ia tak akan pergi kecuali ada kesepakatan yang substansial. Bagaimana mungkin Anda membuat kesepakatan seperti itu dalam waktu sangat singkat?” kata Joseph Y. Yun, mantan ketua negosiator Kemlu AS kepada The New York Times, kemarin.

Ia berharap semua pihak, termasuk Trump, bersedia menerima hasil pertemuan 12 Juni, meski belum mencapai substansi. “Saat ini pertemuan dapat berlangsung saja merupakan perkembangan besar.”

 VOX | SLATE | THE NEW YORK TIMES



Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus