Soal utang membikin Presiden Gloria Macapagal Arroyo pusing tujuh keliling. Memang bukan utang pribadi, tapi berpotensi menurunkan kesohoran Arroyo. Poling mutakhir Pulse Asia mencatat, Arroyo masih didukung 55 persen rakyat Filipina. Tapi angka ini bisa-bisa melorot bila menilik peringatan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Pekan lalu, koran-koran setempat merilis angka utang luar negeri Filipina sebesar US$ 60,71 miliar (Rp 563 triliun)—atau setara dengan 77 persen pendapatan kotor Filipina pada 2003. Bank Pembangunan Asia yang berpusat di Manila menaksir, sepertiga anggaran nasional akan terpakai untuk membayar utang. Itu pun sebagian baru untuk mencicil bunga. Alhasil, Filipina harus menoleh ke sumber lain buat memacu pertumbuhan ekonomi. Salah satunya, pajak.
Dalam pidato kenegaraan pada bulan lalu, Arroyo menyodorkan delapan paket peraturan perpajakan ke Kongres. Diharapkan paket ini bisa menyelamatkan Filipina dari tubir jurang krisis. ”Jika tidak, investor bakal kabur, defisit menjadi-jadi, dan pertumbuhan ekonomi tersendat,” katanya. Sasaran terbesar Arroyo adalah pajak impor minyak. Sudut ini dianggap layak bidik karena harga minyak dunia terus menanjak dan harga di Filipina jauh di bawah Kamboja, misalnya, yang sama-sama pengimpor murni.
Sasaran terbesar kedua adalah memompa pajak tembakau dan minuman beralkohol. Bea dari sektor ini diharapkan bisa menyumbangkan hingga 14 miliar peso (sekitar Rp 2,3 triliun) ke dompet negara. Kiat lain adalah mengubah pajak dari pendapatan bersih ke pendapatan kotor, pencabutan sistem pajak pertambahan nilai, pemberian pajak keuntungan bisnis telekomunikasi, rasionalisasi insentif fiskal, pelembagaan amnesti pajak, serta perbaikan sistem pengumpulan pajak.
Agar menjadi undang-undang, proposal Arroyo harus disetujui separuh lebih dari 236 anggota dewan perwakilan. Apes bagi sang presiden. Rupanya, ada 139 wakil rakyat dikabarkan bersekutu dalam Aliansi Legislator Melawan Pajak Regresif. Kaukus ini mendesak pemerintah memperbaiki pengumpulan pajak sebelum menerapkan pajak baru.
Mengapa Arroyo berkukuh ”kembali ke jalan pajak” untuk memperbaiki ekonomi nasional? Pertama, sektor ini memang mampu mengalirkan uang dengan cepat. Kedua, negeri itu ternyata menyimpan banyak pengemplang pajak—mulai dari lingkup korporasi hingga individual. Data pemerintah mencatat di seantero Filipina terdapat 6,75 juta pekerja, 3,3 juta kendaraan bermotor pribadi, dan 3 juta pemegang kartu kredit. Tapi hanya 2,09 juta orang yang taat pajak untuk kurun waktu 2002.
Dengan lain kata, sekitar US$ 625 juta potensi pendapatan pajak lenyap begitu saja. Maka Arroyo berusaha keras menggencet sektor ini untuk menyelamatkan ekonomi negara. Apa daya, alih-alih menuai panen, proposal Arroyo justru menumbuhkan perlawanan. Piston, asosiasi operator angkutan, yang pada Maret lalu melumpuhkan 90 persen jasa transportasi metropolitan Manila, langsung menyusun kekuatan. Kamis pekan lalu, juru bicara Piston, Menardo Roda, mengancam menggelar mogok nasional bila Arroyo tak segera menghadang laju harga minyak.
Runyamnya, efek kenaikan pajak harga minyak sudah melebar ke mana-mana. Harga barang kebutuhan melonjak dan memukul daya beli masyarakat. Maka, Trade Union Congress of the Philippines—ini serikat buruh Filipina yang amat berpengaruh—sudah berancang-ancang menyodokkan petisi penyesuaian upah.
Jika tuntutan buruh dituruti, tentu kian redup cuaca investasi asing di Filipina. Meredupnya situasi ekonomi membuat kian banyak warga Filipina yang mencari makan di luar negeri (lihat Hujan Emas di Negeri Orang). Para pekerja rantau Filipina lama dikenal sebagai salah satu garda depan penyumbang devisa. Tak kurang dari US$ 7,4 miliar (Rp 68,1 triliun) per tahun yang dialirkan oleh bedinde, sopir, tukang rumput, hingga eksekutif Filipina yang tersebar di mancanegara.
Yanto Musthofa (Inq7, BBC, The Economist, Manila Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini