Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bila minyak tak muncrat dari teluk

Jika perang teluk pecah diperkirakan harga minyak akan terus naik & ekonomi dunia terguncang. jepang dan amerika paling terpukul. opec belum mengubah peraturan kuota.iea tidak melepas cadangan minyak.

18 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA perang pecah di Timur Tengah, diduga ladang-ladang minyak Arab Saudi yang bakal jadi sasaran utama serangan Irak. Konon, Irak ingin mengacaukan perekonomian barat dan menaikkan harga minyak dengan jalan merusak ladang-ladang minyak Arab Saudi, eksportir minyak terbesar di dunia. Perkiraan itu bukan tak berdasar. Setelah Irak melakukan invasi ke Kuwait, dua pekan lalu, harga minyak langsung melompat. Harga jual minyak Brent dari Laut Utara mencapai US$ 28 per barel (sebelumnya cuma US$ 20,8). Kemudian harga anjlok lagi setelah negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC menjamin mengisi kekurangan suplai dunia. Jumat pekan lalu, harga kembali melonjak (mencapai US$ 24 per barel) setelah Presiden Saddam Hussein, melancarkan perang jihad melawan orang-orang asing. Senin pekan ini, harga minyak Brent (untuk penyerahan Oktober) tercatat US$ 25,30. "Jika perang marak, saya ragu Arab Saudi bakal mampu memproduksi minyak lebih banyak," ujar seorang pedagang minyak di Amerika. Diperkirakan harga minyak dalam dua pekan ini US$ 29. Tak heran bila minyak asal Iran, yang tak laku sebelum krisis Teluk, ikut melonjak. Menurut Nippon Oil Co. Ltd., pembeli minyak terbesar di Jepang, suplai minyak mereka yang selama ini berasal dari Irak telah digantikan oleh Iran. Rabu pekan lalu, Nippon Oil telah menandatangani kontrak pembelian dengan Iran (untuk penyerahan pertengahan Agustus) sebanyak enam juta barel. Kekurangannya dipasok Uni Emirat Arab dan Venezueia. Meski harga minyak melonjak tinggi, OPEC secara resmi belum mengubah peraturan kuota negara-negara anggota. Sampai pekan lalu baru Menteri Luar Negeri Venezuela, Reinaldo Figueredo, yang memperjuangkan peningkatan kuota bagi negaranya. Usul tersebut belum disepakati. Sebaliknya Irak. Ahad kemarin, negara itu mengancam anggota OPEC agar tidak meningkatkan produksi guna mengisi kekurangan suplai minyak dunia. "Negara-negara OPEC harus mengingat kepentingan mereka sebelum melakukannya. Jika mereka meningkatkan produksi, mereka bakal membayar mahal di masa depan," ujar Menlu Irak Tareq Aziz. Peningkatan produksi minyak tampaknya belum perlu. Menurut Presiden OPEC Sadsek Boussena dari Aljazair, pasar dunia belum kekurangan minyak karena cadangan negara-negara industri cukup besar. Sementara itu, Indonesia berpendapat suplai ekstra bergantung pada penggunaan stok minyak Barat. Diperkirakan, pasar dunia selama sisa tahun 1990 cuma butuh 500 juta barel (14-%) untuk mengisi kekurangan ekspor dari Irak dan Kuwait. Sementara itu, 21 negara industri yang tergabung dalam Badan Energi Internasional (IEA), Kamis lalu, telah memutuskan tak akan melepaskan cadangan minyak masing-masing. Mereka menilai ancaman terhadap kekurangan minyak bumi di pasar dunia tak begitu mencemaskan. Mereka baru akan melancarkan tindakan darurat jika situasi memburuk. Untuk itu, IEA telah mendesain dua cara dalam menghadapi krisis minyak bumi. Pertama, dengan cara mengalokasikan suplai yang ada kepada negara anggota atas formula yang didasarkan pada tingkat konsumsi masing-masing. Ini bisa dilakukan bila suplai terhadap anggota IEA berkurang 7% -- ini belum pernah terjadi. Kedua, dengan cara melepas sebagian cadangan minyak mereka ke pasar. Total persediaan minyak anggota IEA sekitar 142 juta ton -- setingkat dengan impor 150 hari. Ketika krisis minyak 1979, cadangan minyak anggota IEA cuma 25 juta ton. Meski belum terlihat tanda-tanda krisis minyak, Jepang, yang memiliki cadangan minyak untuk jangka waktu 142 hari (82 juta kiloliter), cukup terguncang oleh invasi Irak ke Kuwait. Harga saham 225 perusahaan terkemuka Jepang di pasar saham pada Senin pagi pekan ini ajlok lagi sampai 1,153 yen dari tiga hari sebelumnya. Selama dua pekan invasi Irak ke Kuwait kemerosotan harga saham di Tokyo Stock Exchange tercatat 4,661 yen. Pada waktu "Black Monday", Oktober 1987, kemorosotan harga saham cuma 3,836 yen. Untungnya "panik minyak" belum menguncang masyarakat Jepang seperti krisis minyak 1973. Pada waktu itu cadangan minyak mereka cuma untuk 58 hari. Tampaknya yang bakal terpukul sekali oleh serangan Irak ke Kuwait adalah Amerika. Kenaikan harga minyak (sekalipun mereka punya cadangan untuk 90 hari) selain bakal mengerem laju pertumbuhan ekonomi mereka, juga akan meningkatkan inflasi. Kenaikan harga minyak US$ 5 per barel akan menambah defisit perdagangan Amerika sebesar US$ 15 milyar per tahun. Krisis Teluk, menurut Menteri Keuangan Nicholas Brady, pekan lalu, sudah menyunat setengah pertumbuhan ekonomi Amerika. Maka, banyak yang meramalkan Amerika sukar menghindarkan diri dari resesi ekonomi. Jika perang tak jadi meletus di Teluk Amerika juga tak untung banyak. Justru Arab Saudi yang bakal menggaruk pemasukan besar dari kenaikan harga minyak. Pekan lalu saja, misalnya, dengan harga minyak mentah mencapai US$ 23 per barel, Arab Saudi meraup sekitar US$ 85 juta per hari. Seiichi Okawa dan FS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus