NASIB rakyat Bosnia tetap seperti biasa. Mereka menjadi bulan- bulanan tentara Serbia dan Kroasia. Saya belum pernah melihat pertempuran yang brutal seperti itu. Menembaki siapa saja. Dalam tiga bulan tinggal di tengah berkecamuknya pertempuran yang tak ada habisnya, saya sempat menghitung, tiap hari terdengar tembakan 15 sampai 150 kali. Saya lihat tiap hari ada saja kaki dan tangan yang buntung. Dan peristiwa mengenaskan itu acap kali terjadi ketika rakyat Bosnia tengah antre air atau makanan. Mereka dihujani artileri oleh pasukan pertahanan Kroasia yang ditempatkan di Bosnia. Dan sebagai tentara pengawas perdamaian, saya bersama 24 anak buah dari Indonesia tak bisa apa-apa. Senjata pun tak ada, dan demikianlah peraturannya. Tugas saya hanya menengahi setiap kali ada pertempuran. Dan bila ini boleh disebut tameng, itu cuma sebuah jip Nissan Trooper berbendera PBB. Tak ada yang lain. Karena itu, nyawa tentara pengawas perdamaian amatlah rawan. Setiap kali terbuka lebar peluang untuk tertembus peluru penembak gelap atau mortir yang ditembakkan dari jauh. Untunglah, beberapa lama di sini, saya sudah hafal perilaku tentara Kroasia dan Bosnia menembak. Setiap kali ada kilatan dari gunung, artinya kami harus cepat-cepat menyelamatkan diri dalam sembilan detik. Banyak hal telah kami alami. Yang pertama, 28 Oktober tahun lalu. Ketika tengah berpatroli, tiba-tiba kendaraan kami diblokade oleh pasukan Bosnia, dan kemudian Kroasia. Lolos dari pemeriksaan, kami masih harus melewati ranjau yang diselang- seling sehingga harus menjalankan Nissan Trooper secara zigzag. Ketika tentara HVO (Kroasia) saya minta meminggirkan ranjau- ranjau itu, mereka mengaku tak berani meminggirkan karena bisa disikat oleh temannya sendiri yang ada di gunung. Ya, terpaksalah kami singkirkan sendiri ranjau-ranjau yang dipasang di tengah jalan itu. Malang, seorang rekan, anggota tentara dari Belgia, dalam perjalanannya dari Sarajevo ke Kiseljak, jantungnya tertembus peluru penembak gelap. Ketika Kota Vares jatuh dari tangan Kroasia ke Bosnia pertengahan musim salju yang amat dingin 3 November lalu, saya melihat pasukan Kroasia mundur sambil menghajar penduduk setempat, termasuk anak-anak dan wanita, dan merobohkan sejumlah bangunan penting dan hotel-hotel. Saya terpaksa ikut menggendong wanita dan anak-anak, membawa mereka berlindung di bawah pasukan perdamaian dari Norwegia dan Denmark. Baju mereka penuh darah. Katanya habis dirampok oleh tentara HVO. Bukan cerita baru bahwa akibat perang yang berlarut-larut di Bosnia itu banyak anak yang kehilangan orang tuanya. Ada yang orang tuanya tewas, ada yang hanya terpisah. Ini bukan lelucon, hanya dalam jarak 500 meter seorang ibu dan anak di Kiseljak (20 km dari Sarajevo) selama lebih dari 20 bulan tak bisa bertemu. Hal itu bisa terjadi karena si ibu tinggal di daerah yang dikuasai Kroasia dan si anak di lokasi yang dipertahankan tentara Bosnia. Ada juga seorang ayah yang bekerja di Sarajevo dan kemudian tak kunjung pulang. Entah bagaimana nasib dia. Dalam catatan sejarah, Bosnia-Herzegovina sebenarnya termasuk negara kaya. Para petani di desa-desa dan di gunung-gunung pun banyak yang punya kulkas, oven microwave, mesin cuci, dan parabola. Dulu Bosnia termasuk negara bagian Yugoslavia yang paling kaya di Eropa Timur. Tapi, sejak pecah perang, kondisinya amat buruk. Dua pertiga wilayah Bosnia kini sudah dikuasai Serbia dan Kroasia. Sepertiga yang dipertahankan oleh angkatan darat Bosnia yang tangguh itu pun ternyata penuh dengan kantong pasukan Kroasia yang dikoordinasi oleh HVO. Dan kini, di tengah cuaca musim dingin yang mencekam, di garis depan tak ada listrik. Saya terpaksa membakar kayu bakar untuk menghangatkan badan setiap hari. Yang membuat saya kian merasa tak enak, manakala melihat kehidupan mereka sehari-hari. Setiap kali keluar dari rumah, sejumlah anak-anak dan orang tua sudah menghadang: sekadar minta biskuit dan rokok jatah kami. Setiap kali melakukan patroli, ketika mobil sedang berlari kencang sekalipun, anak- anak itu dengan nekat bergandengan tangan memanjang dan menyetop kami. Mereka sekadar minta makanan. Saya tak tahan, setiap kali saya berikan jatah makanan saya kepada mereka. Saya sendiri ya tentu tidak makan. Siapa pun akan melakukan ini karena dorongan manusiawi. Tapi, dalam keadaan seperti itu, saya tetap menemukan keramahtamahan orang Bosnia. Meskipun bule dan berhidung mancung, mereka amat ramah dan adatnya seperti kita di Jawa. Sering saya dan teman-teman dari Indonesia diminta bertandang ke rumah penduduk, disuguhi apel dan kubis, karena kopi dan gula yang biasanya jadi kebanggaan mereka manakala menyambut tamu kini sudah tak ada lagi. Sapaan assalamualaikum juga sudah menjadi bahasa penyambung lidah sehari-hari. Tapi kalau salat, ya, masih diam-diam di kamar. Karena di situ juga banyak orang Kroasia yang Kristen. Kalau ketemu orang Bosnia, saya acungkan jempol tanda persahabatan, selain mengucapkan salam. Di sini rasanya semakin dekat saja dengan Allah SWT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini