Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bis sama, yang berganti cuma sopir

Pengungsi kamboja banyak bertebaran di pelbagai negara. sebagian ditampung oleh indonesia & dibiayai unhcr. sebagian ada yang benci dengan pol pot. mereka menunggu, kapan damai tiba di negeri tercinta.

6 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI terus dilanda kenelut dan kekurangan pangan, Kamboja belakangan punya "komoditi ekspor" baru: pengungsi. Tidak jelas berapa jumlahnya, tapi mereka punya alasan yang sama mengapa mereka lari: menghindari derita berkepanjangan di negerinya dan untuk menemukan masa depan yang lebih berpengharapan di negeri orang. Berapa jumlah penduduk Kamboja saat ini ? Sulit menyebutkannya secara pasti. Berdasarkan sensus tahun 1962, di zaman pemerintahan Norodom Sihanouk, jumlah penduduknya ada 5.728.771 jiwa. Dari situ PBB membuat estimasi di tahun 1982 penduduk negeri itu sudah 9.303.000. Sihanouk mengatakan penduduknya masih ada 7 juta, tapi banyak pengamat yang yakin penduduk Kamboja sekarang ini cuma sekitar 5 juta. Kudeta Lon Nol, 1970, pemerintahan rezim Khmer Merah, 1975, lalu invasi Vietnam, akhir 1978, yang berekor konflik bersenjata berkepanjangan telah, mengambil korban jiwa tak sedikit. Selama berkuasa tiga tahun, delapan bulan, dua puluh hari, rezim Pol Pot saja ditaksir sudah memusnahkan sekitar satu setengah juta jiwa. Haru-biru inilah yang menyebabkan banyak penduduk yang lari mengungsi. Malah sebagian terdampar di Indonesia seperti 47 pengungsi yang kini mendiami Wisma Ciliwung, tempat penampungan yang disediakan oleh komisi tinggi PBB urusan pengungsi, UNHCR (United Nations High Commission on Refugees) di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Sayang, mereka luput dari perhatian sepanjang JIM berlangsung. "Pemimpin negeri kami datang kemari hanya untuk JIM tapi tak peduli nasib kami di sini," keluh seorang di antaranya. Tak aneh bila mereka tampak amat gembira ketika tiba-tiba Kamis pekan lalu, Haing S. Ngor datang berkunjung ke Wisma Ciliwung, ditemani wartawan TEMPO Syafiq Basri Assegaf. Apalagi nama Ngor sudah dikenal di sana karena film The Killing Fields yang dibintanginya. Diantar oleh Mohamed Bouabid, kepala perwakilan UNHCR Jakarta, Ngor berkeliling menemui para pengungsi satu per satu dan berdialog dengan mereka dalam bahasa Khmer. Mereka saling mengisahkan pengalaman meloloskan diri dari Kamboja. "Masih ingatkah kamu pengalaman makan kalajengking di zaman Pol Pot?" tanya Ngor. Jawaban yang terdengar hanya suara tawa berderai. Semua itu kini memang telah menjadi masa lalu. Sekarang mereka menatap hari depan dengan penuh harapan. Mungkin mereka juga mengimpikan untuk bisa hidup eperti Ngor: menjadi warga negara Amerika, tinggal di Los Angeles, mendiami sebuah rumah berharga Rp 500 juta. Kembali ke Kamboja? Tampaknya, mereka juga bersikap seperti Ngor, yang tak ingin kembali ke negara asalnya. "Di Amerika saya bebas bicara, bebas pergi ke mana-mana," ujarnya. Sukses Ngor agaknya impian setiap orang yang sekarang berada di Wisma Ciliwung. Mereka tak kelihatan sebagai orang yang sedang merana. Rata-rata kelihatan bersih dan gemuk. Mungkin karena mereka sudah ada di sana beberapa bulan dan hidupnya ditanggung UNHCR. Untuk akomodasi, obat-obatan, dan makan yang 47 orang ini, UNHCR keluar uang Rp 2 juta/bulan. Pasangan muda Som Bonheng dan Na Vy malah mendapatkan anak pertama di tempat ini Juni lalu Na Vy melahirkan bayi perempuan yang sehat. Padahal, ketika di Kamboja, dua anak Monita San, 33 takun, mati karena lapar. Itu bukan kisah aneh menurut wanita Kamboja ini. Di saat Pol Pot memerintah, hampir setiap hari ada saja anak tetangganya yang mati kelaparan. Sekalipun gurat-gurat kecantikan masih membekas di wajahnya, wanita itu tampak layu: betapa pedih pengalaman yang telah dilewatinya. Ia dulu anak pedagang yang hidup berkecukupan di Phnom Penh. Suaminya seorang perwira polisi militer rezim Lon Nol. Di tahun 1974, misalnya keluarga ini sudah memiliki sebuah mobil Peugeot. Kemudian Pol Pot berkuasa dan semua harta mereka dirampas. Malah pada 1978, suaminya mati dibunuh tentara. "Rezim itu memang tak suka pada orang berkecukupan seperti kami. Mereka umumnya berasal dari masyarakat kelas bawah," ujar Monita. Temannya sesama pengungsi, Sukon Ith, berkesimpulan sekalipun rezim berganti, keduanya sama komunis. "Bis tetap sama saja. Yang berganti cuma sopirnya," kata pemuda itu. Kesamaan rezim itu dilihat Monita dari sudut ini: di zaman Pol Pot banyak gadis diperkosa tentara. Sekarang banyak juga gadis yang dipaksa jadi istri gelap serdadu Vietnam. "Saya pernah mendengar ada gadis diperkosa 13 tentara Vietnam," katanya. Wanita yang mengaku tinggal sebatang kara itu merasa dirinya sudah selamat berada di Wisma Ciliwung, tinggal menunggu kapan ada negara Barat yang mau menerimanya. "Kalau bisa saya ingin ke Prancis," kata janda tentara itu. Padahal, mencapai Jakarta bukan kerja mudah. Sukhon, 25 tahun, sebagai anak petani di Phnom Penh, mengaku mengumpulkan uang sejak 1982 dengan menyelundupkan barang kebutuhan sehari-hari dari perbatasan Muangthai dan menjualnya di Phnom Penh. Jakarta memang bukan tujuan, cuma tempat persinggahan menanti ada negara Barat yang bersedia menerima mereka. Menurut catatan, rombongan pertama masuk ke Jakarta, 16 Januari 1988, sebanyak 10 orang. Enam orang melapor ke Kedutaan Besar Amerika dan empat di Kedutaan Besar Australia. Mereka sudah diberangkatkan ke Prancis pada 22 Januari yang lalu. Tapi mereka bcrdatangan terus dalam bentuk rombongan kecil terdiri atas dua sampai lima orang. Ada yang melapor ke kedutaan-kedutaan tadi, ada juga yang mendatangi gedung PBB di Jalan Thamrin, Jakarta. Selain yang 47 itu masih ada 17 warga Kamboja yang menjadi tahanan Imigrasi di rumah tahanan Kalideres, Jakarta Barat, dan 16 orang di rumah penjara Tanjungpinang, Riau. Ada pula tiga orang menghuni rumah penjara di Padang. Mereka cukup merepotkan juga. "Kita 'kan harus kasi makan," ujar Sumaryono, kepala imigrasi Tanjungpinang. Mengapa mereka ke Indonesia? Menurut Muon Chit, 33 tahun, yang kini menghuni penjara Tanjungpinang, mereka sebetulnya ingin ke Pulau Galan. Pulau Galang, yang terletak 50 km di selatan Tanjungpinang, sejak 1979 dijadikan UNHCR tempat penampungan pengungsi Vietnam. Di sana mereka diproses untuk dikirimkan ke negara yang bersedia menampung. Sekarang di pulau itu ada sekitar 2.000 pengungsi, semua orang Vietnam. Pulau itu memang tidak direncanakan untuk pengungsi Kamboja. Begitulah setelah 42 hari berlayar, 2 Desember 1987, Muon Chit bersama istri dan seorang anaknya mendarat di Tanjungpinang. Mereka ditangkap polisi dan dimasukkan penjara. "Tapi penjara ini lebih baik dari Kamboja," katanya. Di Kamboja, ia pernah lima tahun berperang melawan tentara Vietnam, bergabung dengan pasukan Khmer Merah. Bosan berperang, 1981, ia lari ke perbatasan Muangthai dan masuk kamp pengungsi. Tapi di sana pun ia belum merasa tenteram, selain kamp itu sendiri sudah penuh sesak manusia. Ia takut dijadikan tentara lagi. "Pemerintahan Hun Sen itu 'kan terus mencari orang untuk dijadikan tentara," katanya. Mereka semua, Monita, Sukhon, atau Muon Chit, dan kawan-kawannya, beruntung. Setidaknya mereka adalah orang yang punya uang untuk ongkos melarikan diri sampai ke Indonesia. Sementara itu, di sepanjang perbatasan Kamboja, di wilayah Muangthai, kini ada 260.000 pengungsi Kamboja yang ditampung PBB. Dari jumlah ini sekitar 75.000 terdiri atas anak-anak berumur lima tahun ke bawah. Artinya, mereka dilahirkan setelah kamp-kamp itu didirikan 10 tahun yang lalu. "Mereka tak mengenal sawah. Coba tanya pada mereka dari mana datangnya beras, mereka akan menjawab dari tempat pembagian ransum," ujar seorang ibu di sana dengan sedih. Secara fisik delapan kamp yang ada sama saja, terdiri atas gubuk yang dikelilingi pagar kawat berduri. Di sekelilingnya kelihatan tentara Muangthai berjaga-jaga. Tapi penghuninya berbeda. Dari delapan kamp itu, lima di antaranya diisi oleh kelompok Khmer Merah (dengan jumlah 58.000 pengungsi), sisanya dihuni pengikut Son Sann dan Sihanouk. Malah para pengungsi sering digunakan gerilyawan sebagai tenaga pengangkut amunisi dan senjata yang baru datang dari RRC. Kepada Yuli Ismartono yang meninjau kamp itu dua pekan lalu, para pengungsi bercerita bahwa mereka dipukuli bila tak mau bekerja untuk kepentingan pasukan Khmer Merah. "Sebetulnya saya kesasar. Saya kira semula ini kamp Son Sann," ujar seorang di antaranya. Seorang mengaku pernah melarikan diri tapi tertangkap lalu dibawa ke markas pasukan Pol Pot di Ta Luan, dipukuli dan diberi indoktrinasi, lalu dikembalikan ke tempat penampungan pengungsi Khmer Merah itu. Dengan berbisik orang itu berkata, "Di sini banyak yang benci Pol Pot. Bagi kami siapa pun jadi pemimpin Kamboja tak ada soal asal jangan Pol Pot." Amran Nasution, bachtiar Abdullah, Syafiq Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus