JIM, demikian seorang pengamat setengah berkelakar, mungkin lebih tepat disebut Boim (Bogor Informal Meeting). Sebab, pertemuan tersebut berlangsung tiga setengah hari di Istana Bogor. Namun, tak pula salah kalau disebut JIM. Bukankah setengah hari dari pertemuan penting itu, di hari ketiga, berlangsung setengah hari di Jakarta? Tepatnya di Wisma Negara, tempat bersemayamnya Pangeran Sihanouk dan Putri Monique. Itulah pertemuan yang menyita sekitar empat jam, antara sang pangeran, Hun Sen, Son Sann, dan Khieu Samphan. Sebagian dari waktu itu, tentu saja, adalah untuk mendengarkan pidato Sihanouk yang berapi-api, yang saat itu pula mengeluarkan lima usulan penyelesaian konflik Kamboja. Usulnya untuk kembali memimpin Kamboja memang diterima oleh faksi CGDK yang diketuainya, sekalipun Sihanouk secara tiba-tiba memutuskan untuk berhenti, dan memutuskan untuk hidup di pengasingan, di Paris. Sihanouk, demikian menurut beberapa pengamat masalah Indocina, rupanya merasa jengkel benar akan ulah RRC, yang terus saja menyuplai senjata kepada Khmer Merah. Dan senjata itu, selain untuk memerangi tentara PRK, konon digunakan pula untuk mengejar-ngejar dan membunuh tentaranya, yang tergabung dalam ANS. Apakah keputusannya untuk pensiun sudah tak lagi bisa ditawar-tawar, itu masih perlu disimak lebih jauh. Sebab, Pangeran Sihanouk, seperti kata seorang diplomat yang berpengalaman di Jakarta, memang suka bersikap emosional. Tapi, mengingat pemikirannya yang jernih, dan tajam, bukan mustahil langkah Sihanouk yang sulit ditebak adalah bak langkah kuda hitam di papan catur. Bisa jadi dia ingin mengetes dalamnya sumur, seberapa jauh dia masih dibutuhkan oleh keempat faksi yang bersengketa, juga oleh ASEAN, dan Vietnam. Kalau benar langkah itu yang sengaja ia tempuh, tak terlalu meleset, agaknya. Selama berlangsungnya JIM, tak satu pun ketua delegasi yang bicara jelek tentang dirnya. Tidak pula Menlu Co Thach, yang tak bersedia bicara banyak tentang kehadiran Sihanouk. Jelas, sang pangeran itulah tokoh yang dipandang cocok untuk, kalau waktunya tiba, menduduki kursi paling atas dalam pemerintahan baru di Kamboja. Tapi yang masih belum jelas benar adalah, peran kepemimpinanya nanti: Sebagai kepala negara yang berkuasa atau sekadar sebagai simbol? Hun Sen sendiri, dalam beberapa hal, sejalan dengan pandangan Sihanouk. Keduanya tak ingin melihat kembalinya rezim Pol Pot yang tersohor berdarah. Apalagi, seperti pernah dikatakan Sihanouk, beberapa dari anaknya, dan sanak keluarganya, telah mati dibunuh orang-orang Pol Pot. Sulitnya, usul Sihanouk, agar tiap faksi membuka bajunya masing-masing, dan menanggalkan semua kekuasaannya, sebelum membentuk pemerintahan sementara yang berkaki empat, rupanya sulit diterima oleh faksi Heng Samrin dan Hun Sen. Maunya keduanya pemimpin PRK itu, agar Sihanouk bersedia pulang ke Phnom Penh, dan duduk sebagai kepala negara dalam pemerintahan PRK yang sekarang. Suatu tawaran yang, tentu saja, serta-merta ditolak oleh Sihanouk karena, "Saya tidak mau dijadikan boneka." Keempat faksi di Kamboja tampaknya, sudah letih untuk terus-terusan berperang. mereka, seperti terbukti dalam JIM, ingin segera melihat terciptanya suatu Kamboja yang damai dan stabil. Tapi masing-masing punya resep sendiri untuk mengobati sang pasien yang bernama Kamboja. Hun Sen, misalnya, mengajukan usul untuk membentuk suatu dewan nasional demi terciptanya kerukunan nasional, dan dia setuju Pangeran Sihanouk memimpinnya. Dewan itulah, menurut Hun Sen, yang akan mempunyai tugas khusus untuk mengatur pemilu. Tapi Hun Sen menuntut agar pemerintahannya yang sekarang tidak diutak-atik. Sihanouk tentu akan menjawab, bagaimana pemilu itu bisa berjalan cukup adil kalau yang membagikan kotak suara adalah orang-orang Hun Sen, dan yang mengawasi jalannya pemilu adalah polisi PRK? Usul Sihaouk agar semua faksi melucuti senjatanya masing-masing mudah diduga akan mendapat tentangan dari Khmer Merah. Demikian pula tentang harus dienyahkannya rezim Pol Pot, terbukti sempat membuat Khieu Samphan naik pitam pada akhir JIM. Bisa saja Sihanouk akan bertemu muka lagi dengan Hun Sen di Paris, pada bulan Oktober mendatang. Barangkali Sihanouk akan lebih memusatkan usulnya yang keempat: "Pemerintahan nasional bermula seperti adanya sekarang, berdasarkan kerangka pemerintahan Phnom Penh saat ini. Tapi dengan pengertian, pemerintahan empat faksi secara pelan dan rinci akan diubah menjadi pemerintahan satu partai . . . berdasarkan sistem persaudaraan." Apakah Sihanouk akan lebih berhasil membujuk Hun Sen, agaknya, tak terlepas dari peran dua gajah yang belakangan ini sedang bermesraan: Washington dan Moskow. Pendekatan dua negara superkuat tersebut, sedikit banyak, juga akan berpengaruh pada sikap Vietnam, yang selain ekonominya bertambah sulit kini jua dipimpin para teknokrat. Pangeran yang di akhir Oktober nanti akan genap berusia 66 tahun itu juga ingin melihat JIM kedua bisa berlangsung lagi di akhir tahun ini, mungkin masih di Istana Bogor. Kalau benar demikian, kali ini, mudah-mudahan, sang pangeran tak lagi membuat ulah yang bikin kaget banyak orang. Bambang Harymurti & F.J.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini