Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Haing ngor, sebuah derita panjang

Cuplikan buku "a cambodian odyssey" karya haing ngor. ia menulis sendiri pengalamannya ketika menjadi tawanan khmer merah di bawah pol pot. namanya terkenal setelah ia main film "the killing fields".

6 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAING Ngor, seorang dokter, adalah salah satu dari segelintir golongan intelektual yang berhasil keluar hidup-hidup dari Kamboja ketika negeri itu ada di bawah teror Khmer Merah. Ia berhasil lari ke perbatasan Kamboja-Muangthai dan kemudian pergi ke Amerika. Namanya terkenal setelah ia memerankan tokoh Dith Pran dalam film The Killing Fields. Untuk peran itu ia merebut hadiah Oscar. Ia menulis sendiri pengalaman-pengalamannya dalam buku A Cambodian Odyssey (1987). Di bawah ini beberapa petikan dari buku itu. Pada pagi hari, para pengawal melepaskan orang-orang yang telah disalib di pohon sebelum kami. Mereka meletakkan sepiring nasi di muka orang-orang yang masih hidup dan menginterogasi mereka. Kemudian mereka memasang kantung plastik ke kepala dan muka para tahanan itu dan mengikatkannya di leher mereka. Para tahanan itu kemudian menggeliat-geliat dan mengejangkan kakinya untuk melepaskan diri. Saya terlalu lemah untuk melihat ataupun peduli dengan pemandangan itu. Ketika para penjaga menggusur tubuh-tubuh yang sudah tak bernyawa itu dan menempatkan orang-orang baru di salib, saya hampir tak memperhatikannya. Apa yang masih tertinggal di tubuhku hanyalah sebuah jantung yang masih berdetak di dada, mulut yang masih bernapas, mata yang tersorot oleh panas dan kemasukan asap, dan otak yang masih berdoa. Setelah empat hari dan empat malam tanpa makanan dan air, mereka menurunkanku dan melepaskan ikatan. Aliran darah yang kembali ke tangan dan kaki membawa rasa sakit yang jauh lebih nyeri ketimbang mati rasa, dan lebih panas dari api. Saya terjatuh telentang dan tak bisa bergerak. Mereka mengikat lagi tangan dan kakiku. Mereka mencoba membuatku berlutut, tapi saya jatuh ke depan dan kemudian mereka menjambak rambutku serta menggoyang-goyangkan kepalaku sampai saya melihat sebuah piring di mukaku. Di piring itu ada nasi sehari dengan dua potong ikan asin di atasnya. "Apakah kau seorang dokter?" sebuah suara sayup-sayup terdengar. "Seorang kapten ? "Saya mencoba menyusun kata-kata, tapi mulutku tak berfungsi. Di mukaku piring dengan nasi itu bagaikan menari-nari. "Tidak," bisikku. "Berilah aku minum dan tembaklah aku." "Kalau kau jujur. Cerita saja kepada Angka (Partai) sejujurnya dan kau akan mendapat nasi dan air." Darah yang berasal dari bibirku yang pecah-pecah telah mengalir ke mulutku. "Tembak saja aku," kataku merajuk. "Saya tak bisa lagi menanggungnya. Angka, kalau kau tak mempercayaiku, tembak saja. Saya akan bahagia buat mati. Tembaklah saja." "Mulut gede!" teriak seorang pengawal. Ia memanggil seorang rekannya dan keduanya mendorongku ke posisi duduk. Sebelum mereka menutup kepalaku dengan kantung plastik, saya menengok ke wanita hamil yang terbaring di sisiku. Kepala dan wajahnya sudah dipasangi plastik dan ia sedang menendang-nendangkan kedua kakinya dengan membabi buta. Mereka mengikatkan kantung plastik di leherku. Saya tak bisa melihat apa-apa dan mereka mendorongku sehingga jatuh lagi. Saya berusaha bernapas, tapi plastik itu menghalangi mulutku sehingga tak ada udara. Saya mengamuk dan bergerak-gerak hebat untuk melepaskan plastik itu. Tapi kemudian mereka membukanya dan saya pun bernapas kembali. Mereka membuka plastik dari wanita hamil itu, tapi sudah terlambat. Ia telah mati karena tak dapat bernapas. Seorang penjaga menyobek blusnya dan menarik sarungnya. Kemudian diambilnya senapannya yang sudah dipasangi bayonet. Lalu ia menusukkan bayonet itu ke pusarnya dan menyobek perutnya sampai ke bawah. Ditariknya janin dari perut itu dan dicampakkannya. Kemudian lalat-lalat berkerumun ke tubuh wanita yang malang itu -- "kejahatan"-nya adalah kawin dengan seorang serdadu rezim Lon Nol. Waktu berlalu. Lima menit atau lima jam. Saya tak tahu perbedaannya. Sebuah sandal karet menggerak-gerakkan pundakku. Dan saya pun ada dalam posisi telentang memandang ke wajah seorang penjaga. Katanya, "Yang satu ini belum mati. Beri aku seember air untuk mengguyur lubang hidungnya." Seorang penjaga lain datang dan saya mendapatkan diri memandang ke arah cu curan air berwarna cokelat yang turun dari ember. Air berlumpur itu menciprat dekat lubang hidung dan ada sedikit yang mengalir jika mulut. Saya terbatuk, tapi pada waktu yng bersamaan mulutku berfungsi kembali dan saya bisa menelan. Saya tak pernah merasakan air senikmat itu. Suatu pergantian datang menyelusupi tubuhku dan mendatangkan kekuatan. Ketika penjaga itu telah mengosongkan embernya dan kemudian pergi, saya merasa jauh lebih baik. Dalam keremangan cahaya pagi sekali, para penjaga melepaskan ikatan-ikatan kami dan mendorong kami kembali ke penjara. Dari 18 orang yang digiring, hanya lima yang masih hidup, dan tak ada wanita satu pun. Mereka menyuruhku bekerja di sekitar penjara. Saya berkebun dan membersihkan halaman. Setiap hari kulihat "orang-orang baru" datang dan hanya beberapa saja kembali hidup-hidup. Di siang hari lalat beterbangan dan di malam hari serigala meraung-raung sambil mencabiki daging dari mayat-mayat yang bergelimpangan di luar. Kemudian saya dilepaskan. Beberapa serdadu menggiring kami kembali ke komune kami. Saya keheranan. Heran lantaran saya masih hidup. Dewa-dewa telah mengizinkanku hidup buat kedua kalinya. Istriku Huoy yang telah kutinggal selama dua bulan masih hidup. Kami kembali harus bekerja. Musim penghujan telah datang. Air datang mengalir dari bukit-bukit, memenuhi saluran-saluran yang telah kami bangun serta memenuhi sawah-sawah bagaikan tak ada penghalang apa pun. Hampir seluruh padi tenggelam, kecuali yang ada di tempat lebih tinggi. Chev, pemimpin koperasi kami, datang menginspeksi sambil membawa cangkul. Seluruh tubuhnya penuh lumpur. "Bibit-bibit padi kita akan mati hanya dalam beberapa jam kalau air tak turun," katanya. Ia bicara dengan tenang, tapi ketika saya ikuti pandangannya ke sawah-sawah yang dibanjiri, pikiranku jadi ciut. Itu bukan kesalahan kami. Salurannya kurang dalam untuk dapat menampung air. Kami tak memiliki tenaga cukup. Di kelompok kami hanya ada empat orang. Dua terserang malaria, dan dua lagi dibawa ke hutan untuk disiksa atau dibunuh. "Tekadmu mesti bulat," kata Chev sebelum ia ngeloyor pergi. "Kalau kau tak bisa mengatasinya, kau semua mesti bertanggung jawab." Kami bekerja lagi untuk menggali saluran. Saya berdoa sambil bekerja. Dan petang itu, atas kemurahan hati para dewa, hujan berhenti. Air turun dan benih-benih padi itu muncul lagi dari permukaan air. Tapi keesokan harinya hujan turun lagi. Bendungan bobol oleh air dan kami mesti bekerja mati-matian lantaran demi keselamatan kami dan juga agar koperasi punya beras untuk dimakan. Chev memutuskan buat mengorganisasikan kembali koperasi dengan cara membangun dapur umum yang masing-masing terpisah sejauh 1,5 km. Ayah dan saudara lelakiku diberi tugas di dapur, tapi aku masih sering melihatnya. Kemudian suatu penyembelihan besar-besaran dimulai. Mereka tak lagi membawa orang yang "bersalah" ke hutan untuk dibinasakan, tapi kali ini para serdadu Khmer Merah membuat mereka sebagai contoh hukuman. Mereka diikatkan ke pohon dan para penjaga meneriakkan keras-keras apa kesalahan mereka. Saya selalu mencoba tak memandang dan melihat. Sudah terlalu banyak hal dalam benakku. Jadi, saya tak begitu memperhatikan ketika pada satu petang kembali ke rumah umum di tahun 1976. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang serdadu umur belasan tahun. "Lihatlah musuh-musuh kita di sini! Angka berhasil menangkap mereka ketika sedang mencuri makanan. Mereka mencuri makanan dari kita. Tengoklah mereka selagi ada kesempatan. Belajarlah dari kesalahan dan hukuman mereka." Dekat kaki si penjaga duduklah beberapa orang tahanan. Tangan-tangan mereka diikatkan ke sebuah pohon. Wajah mereka mengerut. Salah satu tahanan itu adalah ayahku! Saya terkulai lemah. Ayahku memandang kepadaku dengan sedih. Bibirnya bergerak. Ia ingin mengatakan sesuatu. Ia memerlukan pertolongan. Rasanya, bagaikan memandang ke sebuah terowongan, menyaksikan mata ayahku membesar penuh ketakutan. Ia memberi isyarat kepadaku agar pergi. Dan saya menurut. Wajah Huoy sudah membengkak lantaran menangis. Ia telah mendengar bahwa seorang pejabat tinggi yang sedang meninjau dapur umum baru telah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana ayahku mencuri nasi dari drum. Chev menangkap Ayah pada waktu itu juga. Di saat matahari terbenam, prosesi itu lewat di depan rumah panjang kami. Bapak diikatkan bersama dengan dua orang tahanan lain. Seorang pengawal memegang tali itu di ujungnya dan menggiring mereka pergi. Ketika mereka mendekat, ayahku mengangkat kepalanya dan memandang kepadaku. Tak ada jalan pulang. Ketika tiga hari telah berlalu, Huoy dan saya membawa makanan pembagian ke rumah bersama dengan beberapa potong lilin. Para tetangga tahu apa yang kami kerjakan, dan mereka pun membiarkan kami. Kami pasang lilin-lilin itu. Abang dan istrinya berdoa di depan altar yang kami bikin seadanya. Huoy dan saya menunggu sampai mereka selesai. Saya berdoa agar ayahku dilahirkan kembali tapi jauh-jauh dari Kamboja. Dari hari ke hari pembersihan makin keras. Beberapa orang dibawa pergi lantaran mengeluh, dan yang lain lagi karena mencuri makanan supaya bisa hidup terus. Kami berusaha mencari tahu mengapa Khmer Merah membunuh demikian banyak orang. Tapi kami tak pernah dapat menemukan alasan tersebut. Mereka menciptakan musuh-musuh untuk dibunuh, yang pada akhirnya meningkatkan nafsu mereka untuk membuat lebih banyak musuh. Dan untuk lebih banyak membunuh. Dua minggu kemudian abangku dan istrinya juga diambil dengan tangan-tangan terikat. Saya tak tahu kenapa. Mereka tak pernah kembali. Huoy dan saya bersembahyang. Kami menyalakan lilin-lilin yang sama yang sudah hampir habis. Hanya ada kami berdua yang berdoa untuk arwah mereka. Kami pun bertanya-tanya, siapa yang akan menyalakan lampu buat arwah kami nanti. Khmer Merah selalu mengadakan pertemuan besar sebelum memulai suatu proyek. Itu supaya kami memiliki pengertian revolusioner yang benar tentang tugas kami. Pada Januari 1977 mereka menyelenggarakan suatu rapat umum dan menghadiahi kami liburan setengah hari untuk menghadirinya. Itu merupakan suatu kemurahan hati untuk sebuah rezim yang tak pernah memberi kami liburan akhir pekan atau cuti. Pada hari ketika rapat umum itu akan berlangsung, saya mengambil pembagian nasi berair dan menempatkannya di dalam sebuah periuk. Jalan setapak dan jalan besar penuh dengan orang-orang "baru" yang menuju ke tujuan sama. Huoy sudah menunggu saya di sana. Kami duduk di tanah yang agak tinggi. Ia telah memasak masakan tradisional berupa kepiting yang digiling halus dan dicampur dengan asam dan cabai. Kami makan pakai garpu, menyodok sampai ke dasar piring untuk mengambil butiran nasi berair. Di sekeliling kami duduklah para budak perang yang sedang makan nasi air dengan apa saja yang dapat mereka temukan sebagai lauknya. Itu merupakan suatu rapat umum terbesar yang pernah saya lihat di garis depan. Pengunjungnya saya kira sekitar 10 ribu orang. Bendera-bendera merah berkibar di tiang-tiang yang ditegakkan di bukit dan di pinggir bendungan. Para penjaga yang bersenjata berjalan dari satu tiang bendera ke yang lainnya sambil mengawasi kalau-kalau terjadi kericuhan. Sesuatu yang mustahil, lantaran kami tak bersenjata, sudah terkalahkan dan kelaparan. Sebuah panggung telah didirikan dengan lebih banyak bendera merah di atasnya. Sebuah generator menghidupkan sistem pengeras suara. Di panggung seorang pembawa acara sedang mengucapkan kata pengantar. Lalu diperkenalkanlah pembicara utama: Sama Mit Vanh. Seluruh hadirin bertepuk tangan ketika tokoh yang kurus itu naik panggung. Dari sepuluh ribu orang yang ada di sana, hanya Huoy dan saya yang tahu identitas aslinya: Chea Huon. "Vanh" adalah nama samaran revolusionernya sedangkan "Sama Mit" berarti "Kamrad yang setaraf". Itu merupakan gelar yang diberikan buat para penggede Khmer Merah. "Hidup Revolusi Kamboja!" teriak Chea Houn melalui mikrofon. Suaranya bergema di lembah itu. Kami berdiri tegak dan meneriakkan slogan yang sama sambil memukulkan tangan kanan ke dada dan kemudian mengacungkannya ke atas kepala. Sekali lagi ia berteriak yang sama dan kami juga membalasnya dengan slogan yang sama. Kemudian semua orang kembali duduk. Chea Houn memulai pidatonya. Ia bicara dengan suaranya yang ringan tapi masih juga mengepalkan tinjunya untuk mempertegas pernyataannya. Itu kebiasaannya ketika ia masih mengajar di sekolah kami. Guruku yang membimbingku pada masa mudaku sekarang menjadi pemimpin musuhku. Yang sangat mengherankanku dengan Chea Houn adalah perubahan kepribadianya. Ia merupakan seorang intelektual pertama yang pernah saya kenal. Ia sangat pandai. Tapi, kalau saja benar ia pandai, ia pasti takkan percaya akan apa yang dikatakannya sekarang pada peresmian bendungan yang baru saja selesai kami bangun itu. Ia memulai pidatonya dengan menyebutkan serangkaian kemenangan atas imperialisme Amerika". Bagaimana para patriot Kamboja telah berjuang melawan para penyerbu Amerika mula-mula hanya dengan tangan kosong, kemudian dengan "kapak dan panah" dan kemudian mengusir mereka dari Kamboja. Itu merupakan kebohongan telanjang dan ia pun pasti tahu itu dusta besar. Orang Amerika tak pernah secara langsung berperang dengan Khmer Merah. Pasukan darat Amerika hanya pernah berada di Kamboja selama beberapa bulan pada 1970 melawan orang Vietnam. Pengeboman Amerika atas Kamboja berhenti pada 1973, dua tahun sebelum kaum komunis merebut kekuasaan. Tapi Chea Houn tak tertarik pada fakta bahwa mereka telah mengalahkan Amerika terus-menerus diulangi sampai mereka sendiri percaya atas itu. Mereka perlu percaya akan itu lantaran itu merupakan dasar program mereka untuk membangun negeri. Untuk mereka, mengalahkan suatu negara berkuasa berarti suatu bukti bahwa mereka merupakan manusia super. Kalau mereka berhasil mengalahkan sebuah negara super, mereka akan sanggup untuk mengerjakan apa pun. Tak ada yang bisa menghalangi. Apabila menengok ke belakang, tampaknya 1977 merupakan tahun ketika rezim penguasa mulai retak. Khmer Merah telah mencoba mengorganisasikan kembali negeri secara cepat dan radikal. Karena itulah strukturnya tak kuat. Terjadi pertentangan antarpara pemimpin, sedangkan rakyat umum menunjukkan tanda-tanda ketidak-puasan. Tapi kami tak memperhatikannya. Hidup kami yang rutin diatur oleh bel untuk bangun, kerja, istirahat, makan siang, tidur, dan kegiatan lain. Keretakan mulai kelihatan. Salah satu pertanda pertama adalah makin meningkatnya pencurian di "kebun umum" yang menyediakan sayuran untuk dapur. Pada 1975 dan 1976 banyak orang "baru" yang mengumpulkan makanan dari tanaman liar. Tapi tak ada yang berani mencuri dari "kebun umum", lantaran dijaga ketat. Pada 1977, ketika saya mulai mencuri mulai terlihat juga makin banyak orang yang melakukan "kejahatan" yang sama. Mereka hampir selalu orang "baru". Para anggota bersenjata Khmer Merah tak mau lagi berjaga pada malam hari, kecuali dengan cara bergerombol. Tanda lain adalah obrolan tentang pasukan Khmer Serai (kaum nasionalis yang didukung oleh Amerika dan Muangthai). Banyak cerita beredar dari satu koperasi ke koperasi lain tentang adanya suatu pasukan bersenjata pejuang kemerdekaan yang bermarkas di perbatasan Muangthai, sekitar 180 km dari tempat kami. Begitu banyak desas-dcsus tentang kedatangdn mereka, sehingga orang mulai melihat ke langit sambil mengharapkan helikopter yang membawa pejuang pembebas. Saya sedang membangun rumah di garis belakang ketika pemberontakan meletus. Pemimpinnya adalah seorang yang bernama Thai. Saya pernah ngomong dengannya di dekat cahaya api dan kami semua disumpah untuk tutup mulut. Thai dan beberapa orang yang dipilihnya -- campuran dari orang "lama" dan orang "baru", di antaranya pembantu utama Chev -- pada suatu malam membunuh setengah lusin serdadu dan mencuri senjata mereka. Keesokan harinya mereka bekerja seperti biasa bagaikan tak terjadi sesuatu. Malam berikutnya dibunuhnya lagi enam orang Khmer Merah. Pada malam ketiga, mereka membajak sebuah kereta api dan memaksanya menuju ke perbatasan Muangthai dan bergabung dengan para pejuang di sana. Khmer Merah mengumumkan bahwa mereka telah membunuh Thai dan para pengikutnya, walaupun saya tak yakin. Tak lama kemudian suatu pembersihan di garis depan dilancarkan. Setiap sore, selama seminggu, para serdadu Khmer Merah mengikat 100 orang dan menggiring mereka ke hutan buat dieksekusi. Walaupun pemberontakan gagal, dampaknya cukup besar. Telah runtuh mitos bahwa Khmer Merah tak bisa dikalahkan. Kami dikumpulkan lagi untuk sebuah upacara. Kali ini yang berbicara adalah Kawan Ik, orang tua yang tak punya gigi. Ia mulai bicara ke sana-kemari. Tapi kemudian subyek pembicaraan berubah, "Alasan lain kami mengumpulkan kalian di sini adalah untuk menceritakan tentang seorang tokoh yang telah mengkhianati negerinya. Sebelum itu kami mempercayainya dengan sepenuh hati. Sekarang kami baru tahu tentang kepribadiannya yang asli. Aku berbicara tentang Vanh." Seseorang di belakang saya berbisik "Sungguh ajaib! Barangkali itu sebabnya kita tak pernah melihatnya hilir mudik di sini dalam beberapa hari terakhir ini." Saya menutup mulut, walaupun terdengar obrolan yang makin keras di sekeliling saya. Saya ingin tahu tentang orang yang saya kenal sebagai Chea Houn itu. "Kami telah menangkap Vanh sang musuh," kata orang tua itu lagi. "Dan kami akan menemukan orang-orang yang punya hubungan dengannya. Mereka tak boleh membuat keributan lagi. Kalau kalian mendengar seseorang bicara baik tentang Vanh laporkan kepada Angka. Mereka adalah musuh yang tak bisa dibiarkan hidup." Sambil bertepuk tangan, saya memandang pada Ik. Ia tak mengatakan semua yang diketahuinya. Kalau Chea Houn telah tertangkap hidup-hidup, ia tak 'kan meminta pertolongan kami untuk menemukan kaki tangannya. Ia bisa mendapat keterangan itu dengan cara penyiksaan. Ada cerita burung berkembang bahwa Chea Houn lari ke perbatasan Muangthai dengan jip bersama beberapa pengawalnya dan dengan membawa sekarung uang dolar Amerika dan emas. Saya tak tahu pasti, walaupun itu mungkin saja. Sebagai seorang komandan dengan kedudukan tinggi, ia bisa saja menulis suat-surat keterangan buat dirinya sendiri, sehingga bisa lolos di pos pemeriksaan mana pun. Ia juga menguasai uang serta emas yang dirampasnya dari orang-orang "baru" ketika Angka melenyapkan pemilikan pribadi. Ia juga cerdik. Ia bisa dengan mudah mencapai perbatasan dan bergabung dengan para pejuang kemerdekaan. Atau dari Muangthai ia bisa pergi ke negeri lain. Dengan karungan uang dolar dan emas, apa saja bisa dilakukannya. Tapi saya tak pernah tahu bahwa ia gagal atau berhasil atau ke mana ia pergi. Huoy, istri Ngor, meninggal pada 1978 ketika melahirkan. Keadaan kesehatannya yang sangat buruk -- terutama lantaran kekurangan gizi -- menyebabkan ia tak sanggup melahirkan. Ia harus dioperasi. Tapi Ngor, yang kebetulan dokter kandungan, tak dapat melakukan operasi tersebut. Pertama, alat-alat untuk melakukan operasi tak tersedia. Kedua, kalaupun ada alat-alatnya, suatu operasi yang dilakukan Ngor dapat membahayakan keselamatannya. Tiga kali ia masuk penjara Khmer Merah dan hampir menemui ajalnya karena ia disangka seorang terpelajar, dokter dan kapten dalam angkatan darat pemerintah lama. Selama empat tahun ia berhasil menyembunyikan identitasnya dan mengelabui para penangkapnya dengan hanya mengaku sebagai bekas sopir taksi. Pada 1979, bersamaan waktunya dengan penyerbuan Vietnam ke Kamboja, ia berhasil lari ke perbatasan Muangthai. Beberapa waktu kemudian ia dapat berangkat ke Amerika. Sekarang ia tinggal di Los Angeles, masih belum menikah, belajar menjadi sutradara sambil membuat beberapa film dokumenter tentang kekejaman Khmer Merah. Ia juga menulis buku dan artikel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus