Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Burma

Burma negeri tertutup berusaha agar masyarakatnya tidak serakah, dengan mengekang perdagangan, meminimalkan keinginan. Harus diakui keniscayaan keserakahan manusia, di Burma banyak penyelundup & penadah.

6 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI luar pagoda suci di Kota Rangoon, seorang lelaki menunjukkan bungkusan kecil kepada para turis. Di dalamnya ada sejumlah batu jade dan rubi. Ia butuh uang: "Supaya saya bisa pergi ke Muangthai untuk belanja kemeja dan suku cadang mobil saya." Siapakah dia? Adakah namanya keserakahan? Atau keinginan? Atau kebutuhan? Saya tak tahu. Ada sejumlah orang yang naik perahu ke Moulmein. Kemudian mereka berangkat lagi ke sebuah desa yang tak berapa jauh. Di sana ada gajah-gajah yang membawa mereka melintasi gunung. Perjalanan menyeberang itu makan waktu sekitar 17 jam. Mereka membawa bekal 400 kyat, sekitar 500 dolar. Separuh dari jumlah itu mereka pakai buat menyogok orang-orang Karen yang menjaga perbatasan. Separuhnya lagi buat orang Thai. Mereka tak merasa rugi: mereka penyelundup. Siapakah yang mereka layani? Kerakusan ? Jangan salah paham. Saya belum pernah ke Burma. Saya bahkan tak pernah bermimpi datang ke Mandalay. Cerita-cerita di atas cuma saya kutip dari sebuah reportase jurnalistik yang pendek. Tetapi seorang teman saya, seorang pemikir yang masgul melihat dunia sekitarnya, pernah berkata, "Saya rasa, kini hanya di Burma orang berbahagia." Bahagia -- kata itu bagus tapi aneh. Bagi teman saya itu, orang Burma berbahagia" karena mereka tak bertingkah laku seperti orang-orang yang penasaran di malam yang berkeringat di Kota Bangkok. Atau macam pria dan wanita yang resah di Jakarta. Atau seperti saudagar-saudagar yang tegang oleh uang di Kuala Lumpur dan Singapura. Di kota-kota itu, bagi teman saya itu, bahagia telah kehilangan intinya. Rumah di daerah eksklusif, baju dengan nama desainer, parfum dengan nama Gucci, dan merk mobil dengan nama-nama bersinar -- termasuk sebuah Mercedes Ben yang berharga Rp 200 juta lebih -- menyebabkan manusia tergoda, memendam hasrat, belingsatan. Bila akhirnya mereka tak mendapat, mereka pun cemburu. Mereka terbakar. Demikianlah di luar Burma semua seperti terbakar: gemerlap tapi sengsara. Sang Budha tak didengar, ketika ia berbicara bahwa kelahiran itu menyakitkan, usia tua itu menyakitkan, gering itu menyakitkan, dan "tak memperoleh apa yang diiinginkan itu menyakitkan." Di Burma, kata teman saya tadi, Sang Budha -- dan sabdanya itu -- masih hidup dari pucuk Pagoda Shwedagon. Keinginan telah diminimalkan. Negeri ditutup, dan godaan benda-benda dari luar ditangkis. Di Rangoon tak ada pantalon logro atau baggy. Yang nampak di tiap sudut hanya sarung longyi. Tak ada supermarket yang membentang, tak ada etalase yang merangsang. Perdagangan dikekang oleh negara, agar semua pembujuk selera konsumen bisa dikendalikan. Seorang wartawan Inggris tahun lalu yang jadi turis di Burma menulis, "penampilan Rangoon tetap seperti ketika ditinggalkan Inggris pada 1948". Tapi justru dalam keadaan seperti itulah, kata teman saya, "di Burma orang berbahagia". Bagaimana dia bisa tahu, entahlah. Dia bukan orang Burma. Dia bahkan tak pernah hidup dalam ketertutupan yang disebut "sosialisme" itu. Sebaliknya, lelaki yang menjual batu jade dan rubi di luar pagoda suci itulah yang orang Burma. Penyelundup yang naik perahu ke Moulmeln untuk menyeberangi bukit-bukit itulah yang orang Burma. Juga para penadah: orang-orang yang, dalam kungkungan yang dipaksakan itu, ternyata bukan rahib dan ternyata menolak Burma untuk dijadikan biara. Mereka memang tahu ada Sang Budha yang mengajarkan pembebasan dari rasa sakit, tapi mereka merasa lebih sakit untuk tak punya kosmetik, sigaret, T-shirt, wiski, dan mobil. Bila pasar gelap berkecamuk dengan barang selundupan, itu adalah petunjuk, bahwa "orang Burma yang bahagia" itu hanya impian seorang pemikir yang masgul. Tapi bila di Burma orang tak berbahagia, siapa lagikah yang berbahagia? Bila eksperimen Burma juga gagal, bagaimana membuat sebuah masyarakat agar tidak gila oleh nafsu "memiliki" yang tak pernah terpuaskan itu? Mungkin kita harus mengakui keniscayaan keserakahan manusia, kata seorang teman lain, lalu kita bikin sistem yang bisa jalan yang menyebabkan keserakahan manusia tak menjadi destruktif. Tapi teman itu pun tak tahu bagaimana itu bisa dilahirkan. Ia cuma bisa memandang ke langit. Nun sana ada lapisan ozon yang berlubdng: jejak mengerikan dari manusia yang abai -- dan berkali-kali gagal menentukan batas bagi dirinya, dan bagi hasratnya. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus