MESIR mungkin akan memenangkan kembali diplomasi dalam dunia Arab setelah Kairo dan Amman sepakat memulihkan hubungan diplomatik yang beku selama lima tahun terakhir. Israel mengharapkan, pencairan hubungan Mesir-Yordama ltu dapat mempercepat proses perdamaian di Timur Tengah. Tapi negara-negara Arab berhaluan keras mencela tindakan Raja Hussein itu. Keputusan Raja Yordania itu dikritik keras Syria dengan menyebutnya sebagai tindakan yang mengingkari resolusi Liga Arab pada pertemuan Baghdad. Resolusi itu yang dikeluarkan sesudah Presiden Anwar Sadat menandatangani persetujuan damai dengan Israel di Camp David, Maret 1979 bertujuan mengucilkan Kairo dari dunia Arab. Libya pun mengancam akan "menghukum" Yordania, setelah mendengar pengumuman pemulihan hubungan Kairo-Amman itu, 25 September silam. Tapi Hussein tak bergeming oleh tuduhan dan ancaman itu. Dari Istana Nadwa, Amman, dia menjawab bahwa pemimpin negara-negara Arab sudah diberitahu sebelum keputusan itu diumumkan. "Saya," katanya, "punya firasat baik tentang apa yang dipikirkan para pemimpin Arab untuk masalah ini." Kata Hussein, itulah yang jadi dasar kebijaksanaannya. Pemulihan hubunan kedua negara itu sebetulnya tak terlalu mengejutkan. Yordania dan Mesir, Desember lalu, sudah menandatangani perjanjian perdagangan. Hubungan timbal balik laim: ratusan mahasiswa Yordania belajar di Mesir, dan ribuan orang Mesir mencari nafkah di Yordania. Kendati demikian, Presiden Mesir Husni Mubarak tetap menyebut keputusan Raja Hussein sebagai "tindakan berani, tepat, dan menghormati ikatan sesama Arab". Siapa menyusul? Diduga, Irak, yang didukung Mesir dalam perang melawan Iran, akan segera mengikuti langkah Raja Hussein itu. Sementara negara Arab moderat lainnya tetap diam, Raja Hassan II dari Marokko, empat hari setelah pemulihan hubungan Kairo-Amman diumumkan, menyerukan diselenggarakannya pertemuan puncak Arab untuk masalah ini. Sejak Mesir dikucilkan dari Liga Arab April 1979, hanya Oman, Sudan, dan Somalia yang tak memutuskan hubungan dengan Kairo. Sampai Husni Mubarak menggantikan Sadat - yang terbunuh 6 Oktober 1981 - 17 anggota Liga Arab lainnya tetap "menghukum" Mesir. Rujuknya Amman-Kairo ini tampaknya merupakan sebagian hasil usaha Mubarak memperbaiki citra negerinya selama ini. Citra lain yang diperlihatkan Presiden Mesir itu adalah menarik duta besarnya dari Tel Aviv ketika Israel menduduki Libanon 1982. Usul Washington agar Kairo mengirim kembali duta besarnya ke Israel ditolak Mubarak. Walau begitu, dia tetap setuju dengan rencana perdamaian Reagan, 1982 - yang ditolak Israel - buat memberikan otonomi bagi orang Palestina di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk berkonfederasi dengan Yordania. Sikap tegas Mesir juga terlihat ketika Mubarak menyatakan "tidak" terhadap rencana perundingan dengan PM Shimon Peres, selama Israel tak mau menyelesaikan masalah permukiman Taba di tepi Teluk Aqaba. Tapi untuk kembali bersatu dengan Kairo, Raja Hussein boleh jadi punya alasan lain. Yordania cemas sekali melihat gelagat Syria, yang berambisi menggantikan peranan Mesir sebagai kekuatan berpengaruh di kalangan Arab. Selain itu, Hussein juga risau melihat pengaruh Damaskus di kalangan pejuang Palestina, yang membuat Yasser Arafat, tokoh yang didukung Yordania, tersingkir dari Libanon, Mei 1983. Namun, sebagian pengamat menyimpulkan, Amman berbaik dengan Kairo karena, sebagai negeri kecil berpenduduk 3,5 iuta Iwa, Yordania membutuhkan perlindungan. Mubarak mengharapkan negara Arab lainnya mengikuti jejak Yordania. Sikap Arab Saudi, yang terlihat masih menunggu, mungkin dapat mempengaruhi anggota Liga Arab lamnya. Tapl kuniungan menten perminyakan Arab Saudi Ahmed Zaki Yamani - sebagai pejabat OPEC - ke Kairo, minggu lalu, di mata diplomat Barat terlihat sebagai kontak resmi Mesir - Saudi yang pertama sejak 1979. Hingga awal pekan ini belum tampak perkembangan lain dalam tubuh Liga Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini