DIAM-diam ada perubahan monumental dalam strategi Perang Teluk. Tiga bulan silam, ketika Saddam Hussein menyerbu dan menduduki Kuwait, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya ada dalam posisi defensif. Pada waktu itu, target utama Amerika adalah menyelamatkan Arab Saudi. Ia khawatir, negara itu akan menjadi sasaran berikutnya yang dicaplok Irak. Karena itulah, dengan tergesa-gesa Washington mengerahkan sekutu-sekutunya dan menghimpun kekuatan. Selain melindungi Arab Saudi, Amerika sengaja mengurung dan mengisolasi Irak. Sekarang setelah Amerika dan sekutunya menempatkan 300.000 tentara, 1.750 tank, 1.109 pesawat tempur, dan 140 kapal perang, keadaannya berbalik. Irak menjadi bertahan dan pasukan multinasional menjadi ofensif. Peralihan keseimbangan itu akan makin menguntungkan Amerika. Apalagi Presiden George Bush telah mendatangkan 100.000 tentara tambahan. Tuntutan Amerika dan para sekutunya adalah Irak harus keluar dari Kuwait tanpa syarat, sementara Irak menjawabnya dengan membangun kubu pertahanan. Dua puluh lima divisi tentara Irak, terdiri dari 430.000 personel, dilengkapi dengan 3.500 tank, 689 pesawat terbang, dan 43 kapal, telah mengambil posisi bertahan di balik benteng yang kompleks. Perbentengan berupa dinding kukuh setinggi sepuluh meter dibangun di sepanjang pantai Kuwait dan perbatasan dengan Arab Saudi. Dinding berbentuk segi tiga yang menjadi tameng tentara dan tank itu hanya bisa dicapai setelah melewati pagar kawat berduri, ladang ranjau, dan rangkaian lubang jebakan yang diisi dengan zat-zat yang mudah terbakar. Strategi Irak, selain untuk tujuan militer, juga bersifat politik. Dalam perhitungannya, Amerika akan berpikir dua kali sebelum menyerbu Kuwait. Perang akan menelan banyak korban jiwa. Karena itulah Saddam berharap suatu perang tak akan terjadi. Ia juga berharap agar pendapat umum di Barat dan dunia Arab berubah dan menentang perang. Direktur CIA William Webster membenarkan perkiraan itu. Ia mengatakan, pihak Irak sadar betul akan kelemahannya, baik di darat, laut, maupun udara. Ia lebih mengandalkan faktor-faktor psikologis. "Strategi dasarnya adalah tiarap dengan ketat. Kecuali kalau benar-benar merasa terancam, barulah Irak bergerak," kata Webster. "Saddam menunggu terjadinya keretakan di kalangan Amerika dan sekutunya, sambil berharap adanya kebocoran pada embargo dan timbulnya pertanyaan mendasar di dunia Arab akan kehadiran pasukan asing," tambah Webster lagi. Melihat medan perang seperti itu, Amerika mengubah strategi yakni melibatkan sesedikit mungkin pasukan darat. Karena itu, yang akan bekerja keras dan memegang peranan kunci adalah angkatan udara dan laut. Serbuan udara dan perang malam hari diharapkan bisa menaklukkan keampuhan Irak di darat. Bahkan kubu pertahanan segi tiga itu justru akan menjadi perangkap bagi Irak sendiri. Sebelas ribu marinir AS yang sekarang disiagakan di kapal-kapal di Teluk Oman akan dengan mudah menerobos dan membobol posisi musuh di pantai. Namun, semuanya itu baru hitungan di atas kertas. Apa pun yang terjadi, perang pasti meminta korban jiwa dan biaya. Yang menjadi soal sekarang, mampukah Amerika -- terutama publiknya -- merelakan ribuan jiwa pemuda-pemudinya musnah di medan padang pasir Arab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini