INILAH sebuah upacara naik tahta yang berjalan dalam diam. Padahal, hadir 2.500 undangan, di antaranya 70 pemimpin negara asing, termasuk Presiden Soeharto. Kyuden, istana kaisar Jepang, sekali lagi menyaksikan satu upacara diresmikannya seorang kaisar baru. Senin pekan ini, tepat pukul 1 siang, Akihito, "putra matahari", muncul dengan sokutai (pakaian tradisional) kuning-merah di muka para tamu. Di belakangnya, dengan busana juni hitoe (kimono warna-warni rangkap 12), Permaisuri Michiko melangkah anggun. Tak ada musik. Semuanya berjalan dengan senyap, khusyuk. Maka, dimulailah upacara sokui no rei, penobatan kaisar secara tradisional. Akihito dan Michiko berjalan menuju takamikura, panggung singgasana berbentuk segi delapan, dihiasi sejumlah besar cermin dan patung -- dianggap memiliki kekuatan gaib. Selain itu, panggung setinggi hampir enam meter itu dilengkapi sebuah permata dan pedang -- barang suci milik kaisar Jepang. Menurut pihak Kunaicho, badan rumah tangga istana, panggung itu dianggap sebagai singgasana kaisar, yang menurut mitos Jepang, kaisar dipercaya sebagai keturunan Ninigi No Mikoto, cucu Amaterasu Omikami, sang Dewi Matahari. Panggung itu sendiri sudah digunakan dalam upacara naik tahta ayah dan kakek Akihito, dulu. Rencananya, sesudah itu, PM Toshiki Kaifu, yang mengenakan pakaian seremonial hitam, maju ke depan Kaisar. Begitu selesai upacara, PM Kaifu memimpin penghormatan dengan cara mengucapkan seruan Tenno Heika Banzai (hidup Kaisar) tiga kali, yang diikuti oleh segenap hadirin -- kecuali para tamu asing yang menyaksikan jalannya upacara dari balkon. Seusai upacara kenaikan tahta itu, Kaisar dan Permaisuri menuju ke Istana Akasa (tempat tinggal keluarga Akihito) dalam mobil terbuka. Jamuan resmi pertama diselenggarakan di Kyuden, pada malam harinya. Para wakil 160 negara ikut hadir (cuma Irak, menurut departemen luar negeri Jepang, yang tak diundang). Termasuk sejumlah tokoh dunia, antara lain Pangeran Charles dan Putri Diana dari Inggris, Presiden Filipina Cory Aquino, Wakil Presiden AS Dan Quayle, dan Presiden Jerman Richard Von Weizsacker. Pesta --- dan jamuan lebih kecil bakal berlangsung selama tiga hari berikutnya. Tapi dari semua itu yang terpenting adalah yang disebut Daijo Sai, upacara pemberian sesaji berupa nasi yang ditanak dari beras yang padinya belum lama ini dituai, kepada Dewi Amaterasu. Inilah upacara yang sangat misterius, yang hanya melibatkan Kaisar Akihito sendiri. Berlangsung di tengah malam, pada malam Jumat pekan depan, di kamar yang dibangun di halaman Kyuden. Jika seorang kaisar tidak melakukan Daijo Sai, ia bakal dianggap cuma setengah kaisar. Sebab, menurut agama Shinto, upacara dalam kamar nan gelap gulita itulah yang mengubah seorang kaisar Jepang jadi setengah dewa -- begitu konon pada awalnya tujuan Daijo Sai. Dua buah ruangan (kamar) seluas 19 x 12 meter, tak tembus cahaya, khusus dibangun untuk upacara gelap gulita itu di halaman Kyuden. Di kamar pertama yang disebut Yukiden, Akihito menghidangkan nasi untuk makan malam bersama Dewi Amaterasu. Di subuh paginya, di ruang kedua, Sukiden namanya, Kaisar menyuguhkan sarapan dan meminta sang Dewi pulang kembali. "Setelah itu, Kaisar akan memperoleh kekuatan dewa," ujar Soji Okada, asisten profesor ahli agama Shinto dari Universitas Kokugakuin. Ia akan menjadi arahitogami atau dewa yang menjelma jadi manusia. Apa saja yang dilakukan Akihito yang bertemu Dewi Amaterasu yang konon cantik jelita itu dalam kamar yang gulita tersebut? Banyak orang Jepang percaya Kaisar naik ke pelaminan bersama sang Dewi. Memang, dua kamar itu juga dilengkapi tempat tidur. Tapi pihak Kunaicho membantah keras anggapan itu. "Tempat tidur yang dibuat dari lapisan tatami dan sutera putih itu memang untuk tempat istirahat dewa. Tapi tidak dilengkapi selimut dan perangkat untuk tidur yang lain (bantal dan guling). Kaisar tak akan naik ke tempat tidur itu," kata pihak urusan rumah tangga istana. Upacara berbau mistik di tengah salah satu bangsa di dunia yang menciptakan komputer canggih dan robot-robot fungsional ini tentu saja terasa sangat kontroversial. Pihak ekstrem kanan Jepang, pendukung kekaisaran, sangat menyetujuinya. Dengan upacara itu diharapkan kaisar Jepang tak hanya sebagai pemimpin simbolis, tapi sebagai kepala negara yang berfungsi. Tapi banyak pihak di masyarakat Jepang sendiri yang memprotes penyelenggaraan Daijo Sai. Di antaranya kelompok cendekiawan dan sejumlah organisasi Kristen. Mereka bukan hanya memprotes biaya yang begitu besar, yang tentu saja diambilkan dari hasil pajak. Untuk serangkaian upacara wisuda kaisar yang meriah itu -- di antaranya jamuan tujuh kali berturut-turut -- menelan biaya keseluruhan 12,3 milyar yen. Rinciannya, upacara Daijo Sai membutuhkan 2,5 milyar yen, dan 43-% biaya, atau sekitar 5,3 milyar yen, dipakai untuk ongkos keamanan. Mereka pun menuduh pemerintahan PM Kaifu, yang membiayai serangkaian upacara bersifat agama Shinto itu, melanggar UUD. (UUD Jepang mewajibkan pemisahan urusan politik dengan agama). Langkah sangat berani diambil oleh sekitar 1.500 warga Jepang -- yang cuma mau disebut sebagai pembayar pajak, karena takut ancaman dari kelompok ekstrem kanan. Mereka menggugat pemerintah Jepang melalui pengadilan daerah Osaka. Sidang gugatan itu dimulai Selasa dua pekan lalu. Selain mereka menuntut pemerintah membatalkan pembiayaan serangkaian upacara naik tahta itu, mereka meminta ganti rugi 10.000 yen per orang. Jumlah itu merupakan biaya kompensasi atas upaya pemerintah memaksa dan membebani mereka, sebagai pembayar pajak, untuk mengongkosi upacara tersebut. Pemerintah Tokyo menjawab, "Sepanjang pemerintah tidak memaksa rakyat untuk berperan serta di dalamnya," ujar seorang pejabat, seperti dikutip Reuters, "hal itu tak melanggar hukum." Apa pun nanti keputusan pengadilan, jelas, ternyata, membengkaknya biaya karena soal keamanan. Meski ini bisa sangat dimaklumi, mengingat kubu ekstrem kiri, yang ingin menghapuskan sistem kekaisaran, belakangan meningkatkan aksi mereka. Menurut Keitsucho (badan kepolisian nasional Jepang), tahun ini saja tercatat 61 kali aksi teror oleh kelompok ekstrem kiri, dan kebanyakan aksi antikekaisaran. Tiga orang tewas dan sejumlah besar cedera. Aksi terakhir terjadi Jumat dua pekan silam, di dua asrama polisi di Tokyo. Ledakan bom itu menewaskan seorang polisi dan mencederai enam polisi lainnya. Dalam penyelidikan polisi, Chukaku Ha, kelompok ekstrem kiri terbesar di Jepang, beranggotakan 6.000 orang, telah mengembangkan sistem mortir yang mampu terbang sejauh 6 km. Diduga kelompok itu menyembunyikan 20 peluru mortir berbentuk roket, berdiameter 10 cm, dengan panjang 40 cm, di suatu tempat rahasia. Tak jelas, sasaran yang direncanakan kelompok ekstrem kiri tersebut. Yang pasti, sudah disebut-sebut rencana mengganggu gelombang siaran TV. Seperti diketahui seluruh rangkaian upacara naik tahta ini akan disiarkan pada 120 juta rakyat Jepang melalui televisi. Selain itu, kelompok ekstrem kiri juga mengancam akan menyerang seluruh anggota kerajaan. Sejak 1970 sudah 45 kali terjadi serangan terhadap keluarga kekaisaran. Maret 1986, dua roket meluncur ke halaman istana. Untung, tak terjadi kerusakan berarti. Tak heran jika Menteri Kehakiman Jepang, Seiroku Kajiyama, langsung mengumumkan niat penerapan UU pencegahan aksi sabotase. Yakni peraturan yang memberi hak pada polisi untuk membubarkan organisasi-organisasi kelompok ekstrem dan hak melarang rapat massa. Inilah peraturan paling ketat, yang belum pernah dipakai sejak disusun 38 tahun silam. Pekan ini Keitsucho akan memobilisasikan 37 ribu personelnya, sebagian didatangkan dari luar Tokyo, ke ibu kota. Itu jumlah yang besar, sekitar seperenam jumlah anggota polisi di seluruh Jepang -- rekor baru dalam sejarah pengawasan polisi di ibu kota Negeri Sakura, setelah pemakaman Kaisar Hirohito, Februari tahun lalu, yang memerlukan 32 ribu polisi. Sementara itu, pihak oposisi di parlemen Jepang pun menuduh Partai Liberal Demokrat (PLD), yang berkuasa, berupaya mengembalikan status kaisar sebagai kepala negara sepenuhnya. Itu sama saja artinya menghapuskan Konstitusi Pasca Perang, yang menentukan kaisar sebagai "simbol rakyat", bukan kepala negara yang resmi. Majalah Vanity Fair, edisi Maret 1989, menyebut-nyebut adanya perebutan pengaruh antara kubu konservatif kanan (diwakili oleh staf kekaisaran dan politikus sayap kanan) dan kubu liberal, soal peran Kaisar Akihito. Yakni sekitar keinginan menjadikan sistem kekaisaran Jepang lebih terbuka, meniru gaya kerajaan Inggris. Tapi, para anggota kabinet Jepang dan kelompok konservatif generasi muda tak mendukung gagasan ini. "Percayalah, semua dalam kabinet pemerintah kini sepakat bahwa bangsa Jepang punya hak untuk bertarung dalam Perang Dunia II," ujar Hideaki Kase, wartawan yang mencerminkan sikap nasionalis sejumlah warga Jepang, seperti dikutip Vanity Fair. Indikasi seperti ini jelas semacam pembenaran kecemasan kubu kiri, yang sejak awal khawatir bila Akihito diberi kekuasaan yang lebih besar, "bisa mengembalikan kejayaan militer Jepang." Kalau benar indikasi semacam itu, tampaknya Kaisar Akihito berada dalam posisi terjepit. Sejak awal, Akihito, kaisar ke-125 dalam sejarah kekaisaran Jepang yang, konon, sudah berlangsung 2.650 tahun itu, berniat melonggarkan sistem kekaisaran yang kaku. Dobrakan pertama Akihito, kini 57 tahun, adalah ketika ia melanggar tradisi dengan mengawini gadis asal rakyat biasa. Lalu, anak sulungnya, Putra Mahkota Pangeran Hiro, disekolahkan ke luar negeri -- suatu hal yang juga melanggar tradisi. Pangeran Hiro-lah ahli waris tahta Bunga Seruni pertama yang belajar di luar Jepang. Akihito pun tak mau hanya terkurung dalam istana yang barangkali saja sudah tak angker lagi. Gaya hidup sehari-harinya menyiratkan bahwa "putra matahari" ini ingin lebih merakyat. Beberapa tahun yang lalu ia mengajak anak istrinya naik kereta api bawah tanah Tokyo. Memang, mereka naik kendaraan umum itu setelah satu gerbong dikosongkan sama sekali dari penumpang lain. Contoh lain terjadi tak lama setelah dilantik sebagai kaisar tahun silam. Akihito memerintahkan pada pihak rumah tangga istana agar prosesi pengawalan mobilnya tak menggunakan sirene dan lampu yang menyala. Perintah ini dijalankan. Namun, di luar itu, tradisi kekaisaran tetap berlangsung kaku dan ketat. Kunaicho (rumah tangga istana) adalah pihak yang ketat mengontrol segala peraturan. Badan yang beranggotakan 1.130 petugas inilah yang mengatur jadwal harian kegiatan kaisar dan permaisuri, termasuk menentukan siapa saja yang dapat ditemui kaisar dan untuk berapa lama. Secara tak langsung, permaisuri Michiko pernah mengakui "kontrol " pihak Kunaicho. Yakni saat ditanya wartawan, apakah ia membaca artikel tertentu dalam surat kabar. Jawab Michiko, "Saya cuma membaca apa yang mereka berikan pada saya." Kubu kanan menyalahkan pendidikan Akihito di masa mudanya, yang "merusak" pemikirannya. Akihito adalah kaisar pertama yang di masa muda mendapat seorang guru dari bangsa asing, yakni Nyonya Elizabeth Gray, orang Amerika, yang memberi pelajaran bahasa Inggris. Ibu guru ini ternyata tak hanya mengajar bahasa. Ia juga bercerita tentang demokrasi di Amerika. Konon, ibu guru inilah yang mempengaruhi Akihito agar hidup sebagai "manusia normal". Maka, di mata sebagian masyarakat Jepang, Akihito dan Michiko dianggap "tidak asli". Mereka seperti bunga liar, yang berusaha menjadi bunga Seruni kekaisaran Jepang. Mereka meninggalkan tradisi kekaisaran Jepang dan lebih seperti raja-raja di Eropa, yang dibelenggu konstitusi. Tugas mereka cuma tukang stempel UU, memotong pita, dan menyambut pemimpin asing. Namun, berbeda dengan anggota kerajaan Inggris, Akihito tak punya kekayaan pribadi. Semua anggaran sebanyak US$ 90 juta per tahun dikontrol oleh Kunaicho. "Jika mereka harus selalu berpaling pada negara untuk segala sesuatu, mereka menjadi semacam boneka dan tawanan negara mereka. Itu yang terjadi dengan anggota kerajaan Jepang. Mereka bahkan tak bisa berlibur tanpa persetujuan parlemen," ujar Pangeran Charles, putra mahkota kerajaan Inggris, suatu kali. Namun, "boneka-boneka" ini dalam kehidupan nyata lebih penting daripada rekan-rekan keluarga kerajaan di Barat. Sikap dan langkah keluarga Kaisar diamati oleh mayoritas rakyat Jepang. Langkah menyimpang sekecil apa pun bisa menjadi berita besar di media Jepang. Misalnya ketika Akihito mengendurkan tata cara penampilan seorang kaisar yang dianggap keturunan Dewa Matahari di muka umum, dengan mengelus rambut bocah lelaki Amerika, rakyat menyatakan ketidaksenangannya. Setelah memperhitungkan faktor-faktor itu, seorang pengamat Jepang menyimpulkan bahwa Akihito bisa punya peranan besar dalam negara Jepang sekarang. "Jepang sudah menjadi masyarakat yang terkotak-kotak dengan faktor-faktor pemersatu yang tipis. Kaisar Akihito, yang bakal menjadi simbol yang kuat, akan memainkan peran besar. Ia dapat menjadi kaisar yang hebat," kata George Packard, dekan sekolah lanjutan Studi Internasional di Universitas John Hopkins. Bukan berarti Akihito tak mempunyai kelemahan. Dalam kehidupan pribadi, Akihito, konon, seorang pemarah. Lebih dari satu keramik antik dibantingnya ke lantai Istana Togu. Selain itu, kabarnya, pribadi Akihito juga kalah kuat dibanding sang permaisuri. "Sayalah orang yang bertugas melindungi sang Kaisar," kata Michiko dalam percakapan intim dengan kenalan dekatnya. Semua orang sepakat, memang Michiko-lah kekuatan di belakang tahta kekaisaran. Akihito pun kalah populer di muka publik dibanding dengan sang permaisuri. Akihito bahkan tak malu-malu meminta pendapat istrinya, di muka umum. Kelemahan lain Akihito, "ia cenderung memperbaiki teks pidato, yang tak pernah dilakukan ayahnya," ujar seorang diplomat senior Jepang. Di tengah persaingan antara kelompok kanan dan kubu kiri tentang peran Akihito, bagaimana pendapat -- kebanyakan rakyat Jepang sendiri? Hasil pengumpulan pendapat yang dilakukan beberapa tahun silam mungkin bisa dijadikan patokan. Sekitar 5% responden setuju peran kaisar ditingkatkan. Sementara itu, 11% menghendaki sistem kekaisaran dihapuskan. Selebihnya tetap menginginkan peran kaisar seperti sekarang: hanya sebagai simbol pemersatu Jepang. Ketika sosok samurai Jepang bukan lagi musashi yang bisa sekali pukul mematikan musuhnya, tapi seorang berdasi dan necis dengan berpuluh rencana investasi di luar Jepang, tampaknya aneh bila fungsi kekaisaran kembali punya pengaruh dalam pemerintahan nyata. Bila itu memang terjadi, tentulah sesuatu sedang terjadi di Jepang, negara yang dianggap sudah menyaingi superkuat Amerika sebagai pemberi utang. Atau, yang selalu dibanggakan oleh orang Jepang mencapai puncaknya dalam upacara baik tahta ini -- sebagai manusia yang mampu menciptakan harmoni antara modernisasi dan tradisi? Seiichi Okawa (Tokyo) dan Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini