SALIM muda tiba di Paris dari Medan ketika Perang Dunia I baru saja selesai. Dalam dunia seni lukis Paris -- tempat berkumpulnya pelukis dari segala bangsa -- tahun kedatangannya, 1920, ditandai oleh berkembangnya (atau mungkin menyimpangnya) sejumlah pelukis kubistis yang sebelumnya kira-kira bernapas sama menjadi masing-masing lebih spesifik. Picasso pada tahun-tahun itu banyak melukis figur monumental bergaya neoklasik. Georges Braque menjadi lebih puitis, meski tetap lukisannya merupakan orkestrasi bidang-bidang, dan bukan warna. Fernand Leger meninggalkan gaya kubisme yang memberikan imaji susunan logam, baja, dan lain-lain, menjadi lebih manis: warna-warna cerah yang melunakkan bentuk-bentuk "industrialistis"-nya. Nama tersebut terakhir itulah yang ditemui Salim. Pertemuan itu barangkali menjelaskan mengapa karya Salim pada awalnya sudah bersifat kubistis. Bukan kubisme pada masa awal ketika Picasso dan Braque memulainya, yang melihat benda-benda bagaikan seorang ahli ilmu ukur -- menganalisa benda menjadi bentuk-bentuk kubus, kerucut, prisma, dan bentuk ilmu ukur lainnya -- melainkan kubisme sebagai stasiun berangkat. Dalam hal Salim, seperti bisa dilihat di antara 50-an karyanya yang dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu, kubismenya jadi ornamentik. Dalam Pelabuhan di Eropa Utara II, karya 1967, misalnya, bentuk-bentuk di latar belakang figur lebih terasa sebagai hiasan dan pada hasil analisa bentuk. Lebih jelas lagi dalam Komposisi, 1953, yang menggambarkan sekelompok tanaman. Di situ niat dekoratif nyata sekali. Bentuk digambar satu-persatu, bagaikan dalam lukisan Bali. Lebih nyata lagi adalah ilustrasi Salim untuk buku-buku puisi, yang dibuat dengan pena dan tinta Cina, yang sama sekali dekoratif. Ini mungkin yang menyebabkan pelukis Affandi, yang menemuinya di Paris pada 1950, kaget bahwa Salim tetap "Timur" dan tidak kebarat-baratan. Bila karya-karya barunya, tahun 1990, kembali mirip karya-karya awal sampai akhir 1960-an, tampaknya sosok bentuk kembali jadi perhatian pelukis Indonesia yang bermukim di Paris sejak 1920 ini. Periode ini diselingi dengan karya-karya dengan warna cerah, dan garis-garis tipis, lincah dengan komposisi dinamis, yang tampak dari karya-karya 1970-an sampai awal 1980-an. Karya-karya yang lebih dekat ke nonfiguratif. Obyek hampir hilang, yang ada hanyalah warna-warna dan coret-coret. Pemandangan Kota, 1977, hanyalah sekelompok kotak-kotak kecil yang seolah terhambur di antara sapuan ringan warna-warna keputihan. Sebuah puisi sapuan warna dan coretan garis. Di Paris, Salim memang bisa bertahan dengan gayanya itu. Paris bukan lagi pusat pergolakan seni rupa ketika ia datang. Pergolakan itu pindah ke London, dan kemudian New York. Masa setelah Perang Dunia II menjadi lebih tegas, Paris tinggal dalam semangat post-kubisme, sementara di Amerika hura-hura pop art jauh meninggalkan semangat Eropa. Dari situ tergambar, mengapa Salim masih setia dengan komposisi warna dan garis, menggambarkan pemandangan kota dan gereja-gereja, meski tangga melingkar di apartemennya sudah diganti dengan elevator. Tampaknya ia memang tak merasa harus ganti "bahasa", bila memang itu sudah cukup bisa mengekspresikan yang ia maui. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini