Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bumerang mengancam deng

Di tengah pembauran ekonomi, kini Cina sedang dilanda korupsi, perjudian dan kejahatan. Kebijaksanaan politik pintu terbuka Deng, terancam. (ln)

23 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG kuat Cina, Deng Xiaoping, sedang pusing. Pekan lalu, Harian Buruh, yang terbit di Beijing, mengungkapkan, salah urus dalam perekonomian Cina pada 1984 telah mengakibatkan lenyapnya uang hampir 3,4 milyar yuan - sekitar Rp 1,2 trilyun. Hampir separuh dari jumlah itu langsung masuk ke kantung para koruptor. Deng, dan para sejawatnya di pucuk pimpinan Partai Komunis Cina (PKC), kali ini tak segan-segan membuka kartu. Dalam beberapa pidato mereka mengakui, "Gelombang korupsi di tengah sembilan juta pejabat pemerintah negeri ini merupakan ancaman bagi program pembaruan ekonomi." Analisa lebih tajam diberikan oleh Bo Yibo, tokoh yang sangat dekat dengan Deng, dan yang dipercaya mengawasi tindak korupsi. Bo, 77, kepada mingguan prokomunis Ta Kung Pao, yang terbit di Hong Kong, menyebut wabah korupsi ini sebagai "angin baru yang ditiupkan setan". Ia malah mengutip seorang "profesor terkemuka RRC", yang membandingkan suasana Cina sekarang dengan keadaan yang mengawali pemberontakan Li Zhicheng pada abad ke-17, dan pemberontakan Taiping pada abad ke-l9. Dan ia langsung menyindir "beberapa kamerad tua yang menduduki jabatan penting". Toh, korupsi bukan satu-satunya penyakit samping yang mengancam kebiJaksanaan pintu terbuka RRC. Negeri itu juga sedang mengalami "kiprah" di bidang perjudian, penipuan, dan tindak kejahatan lain. Di Penjara Nomor Satu Beijing, misalnya, hampir semua penghuni sekarang adalah penjahat murni. "Hanya 30% tahanan yang dicap kontrarevolusioner di antara penghuni yang berjumlah 1 900," kata Xing Zhonghe, wakil kepala penjara. Dalam beberapa hal, kesalahan ditimpakan kepada pendapatan nasional yang meningkat, yang tahun lalu mencapai 13%, atau 548,5 milyar yuan. Naiknya tingkat kemakmuran dibarengi dengan kemudahan memperoleh barang mewah. Sementara harga barang impor sendlri masih mahal, dibandlngkan dengan penghasilan nyata, terbukalah itikad menempuh jalan pintas. Dulu, misalnya, di Beijing, yang berpenduduk sembilan juta, hanya ada 500 mobil pribadi, semuanya milik pejabat pemerintah atau tokoh PKC. Kini, tiap orang boleh membeli sedan, yang diimpor 100 ribu setiap tahun. Tetapi, harga sedan buatan Jepang yang paling murah adalah US$ 9 ribu, alias jumlah gaji 30 tahun seorang buruh kota biasa. Tak sabar menunggu sampai 30 tahun, muncullah pelbagai "kreasi" samping. Di kawasan Yutian, misalnya, tampil Liu Baoqin, seorang pejabat rendah. Kepada penduduk setempat ia mengaku mampu menyediakan 200 ribu pesawat televisi Jepang, melalui kontaknya dengan Hong Kong. Bisnis ini, katanya, akan mendatangkan keuntungan 30 juta yuan, atau sekitar Rp 10,7 milyar. Penduduk berebut menanam "saham". Setelah berhasil mengumpulkan 12,6 juta yuan, Liu menghilang. Ia ditangkap sedang berfoya-foya di sebuah hotel mewah di dekat perbatasan dengan Hong Kong. Di Shanghai, seorang buruh bernama Wang Youcai bunuh diri, karena menghabiskan 300 yuan (sekitar Rp 107 ribu) uang pabrik di meja judi. Di kota berpenduduk 12 juta itu, belakangan ini sudah enam orang yang bunuh diri gara-gara judi. Banyak perkawinan retak, dan dua penJudi baru sa1a dihukum mati karena membunuh dan merampok. Di Provinsi Henan dan Guangdong, sejumlah petani diringkus karena menggali dan mencuri benda purbakala. Kejahatan "kerah Dutih" Dun tidak kurang ramainya. XuGang, yang ikut mengurusi ransum pangan penduduk Beijing, "memainkan" 220 ton terigu dari gudang, melempar barang itu ke pasar, dan mengantungi sekitar Rp 3,14 juta. Xu, 23, tertangkap basah ketika bermaksud mengulangi perbuatan itu. Ancaman paling ringan bagi kejahatannya ialah hukuman penjara seumur hidup. Dua orang insinyur di Pabrik Mesin Berat Tianjin ketahuan mengeruk keuntungan dari penandatanganan kontrak dengan perusahaan asing. Mereka didenda Rp 3,214 juta. Sementara itu, beberapa anggota Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) diketahui menerima sekitar Rp 1,3 milyar dari usaha haram. Agak beruntung, mereka hanya menerima teguran dan ancaman. Sebagaimana biasa, sebagian besar pelaku kejahatan dituduh sebagai "sisa-sisa Kelompok Empat" yang dipimpin Jiang Qing, janda Mao Zhedong. Tetapi, Deng Xiaoping sendiri mulai berbicara santer tentang "cara berpikir kapitalis", yang mengancam pembaruan ekonomi. Sebuah bumerang, agaknya, sedang melayang ke kepala Deng.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus