SUDAH lama Boris Yeltsin jadi saingan Presiden Gorbachev. Setidaknya bersaing meraih popularitas di luar negeri. Tapi sejak pemilihan presiden di Republik Federasi Rusia Sabtu pekan lalu, Yeltsin benar-benar jadi ancaman Gorbachev. Benar, pemilihan presiden pekan lalu itu dibatalkan karena semua calon tak meraih suara minimal yang diperlukan. Tapi Yeltsin berhasil mengumpulkan suara tertinggi, 503 suara. Sedangkan saingan utamanya, tokoh pemeluk garis keras komunisme Vladimir Polozkov, hanya mendapat 458 suara. Dengan demikian, Yeltsin hanya kekurangan 28 suara saja untuk memperoleh 531 suara yang disyaratkan dalam parlemen Rusia yang beranggotakan 1.060 orang. Bahwa Yeltsin, 59 tahun, punya kesempatan kuat, terbukti para pendukungnya bertekad untuk mencalonkan kembali jagonya dan mengharapkan dalam pemilihan ulang yang direncanakan diselenggarakan pekan ini ia berhasil. Beberapa anggota parlemen yang radikal malah mengancam, apabila pencalonan Yeltsin pada babak kedua pemilihan itu ditolak, mereka akan keluar dari gedung parlemen secara demonstratif. Memang ada aturan, calon-calon yang gagal maraih suara minimal mesti diganti dengan calon lain. Tapi aturan ini tampaknya tak berlaku untuk kali ini. Yang menarik, pekan ini lusinan anggota parlemen secara sengaja telah meninggalkan Moskow. Andai saja pemilihan dilangsungkan juga, tak akan ada calon yang akan memperoleh angka mayoritas. Maka, seorang komentator televisi, Bella Kurkova, dengan pahit mengatakan, "Tampaknya ada manipulasi. Segala sesuatu sedang diatur agar setiap orang, kecuali Yeltsin, bisa menang." Bagi Kurkova Yeltsin adalah salah satu harapan. Katanya pula, "Saya kira kita harus mendukung siapa pun yang punya kesanggupan untuk menyelamatkan rakyat Rusia dari penderitaan yang telah berlangsung begitu lama." Sebagai akibat kekalahan tipis Yeltsin itu, ada sebagian anggota parlemen yang mengusulkan pemilihan langsung. Ada usul agar Gorbachev dan Yeltsin bekerja sama saja. Gorbachev tetap sebagai presiden, sedangkan Yeltsin menduduki perdana menteri. Tapi, itu tak mungkin lantaran rivalitas antara keduanya semakin seru. Yeltsin, kalau berhasil menjadi presiden Republik Rusia, akan menjadi tantangan besar untuk Gorbachev karena ia mendukung pendapat agar setiap republik di dalam lingkungan Uni Soviet punya hak-hak otonomi yang lebih besar. Ia, misalnya, mendukung niat ketiga republik Baltik untuk memerdekakan diri. Sedangkan sikap Gorbachev terhadap masalah itu makin kaku, tak mau memberi kesempatan kepada setiap republik untuk memisahkan diri. Awal pekan ini Yeltsin memang menawarkan kerja sama. Bukan dengan Gorbachev, melainkan dengan kelompok konservatif, yang sudah jelas menjadi penghalang utama buat kemenangannya. Di depan parlemen ia bilang, seandainya ia menang, ia siap membagi jabatan penting buat kelompok konservatif. Yeltsin adalah tokoh unik dalam politik Soviet. Pada 1987 ia dipecat dari Politbiro PKUS lantaran sikapnya yang radikal dalam pelaksanaan perestroika. Tapi, Maret tahun lalu ia terpilih kembali sebagai anggota parlemen. Tapi radikalismenya membuatnya tetap tak disukai oleh para penganut garis keras komunis. Pada suatu malam, ketika sedang berjalan di tengah kota Moskow, ia diculik oleh sekumpulan orang. Mukanya ditutup dan kemudian diceburkan ke Sungai Moskow yang dingin. Untunglah, ia seorang perenang yang baik sehingga selamat. Polisi tak mempercayai ceritanya lantaran kalau ia dijatuhkan ke Sungai Moskow yang curam, ia pasti akan terluka. A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini