RAMALAN para pengamat Barat ternyata meleset. Dua tahun lalu, pers Barat banyak menulis tentang jatuhnya Jenderal Saw Maung. Setelah ia membantai dan menekan gerakan demokrasi di Myanmar, lalu menutup pusat berkumpulnya para cendekiawan, kampus, ia tak akan bertahan lama. Bukan karena mahasiswa, tapi kebangkrutan ekonomi bakal menimbulkan huru-hara. Dua tahun kemudian, tepatnya dua tahun dua bulan, Jenderal Swa Maunglah yang menepati janji menyelenggarakan pemilu. Dan ekonomi Burma (kini Myanmar), bila dilihat dari minat swasta asing menanamkan modalnya, memang membaik. Benar, pemerintah negara-negara Barat, juga lepang, memblokade bantuan ke Myanmar, karena menuduh negeri ini melanggar hak asasi. Tapi pihak swasta, entah mengapa, seperti tak peduli pada politik dan hak asasi. Apa pun alasannya pihak swasta itu, kini toko-toko di Yangon penuh dengan barang impor dan lokal. Bahan pokok beras tampaknya cukup. Harga beras 7 kyat (resmi, 1 dolar AS sama dengan 6,5 kyat) per 1,5 kg. Tiap orang boleh beli 7,5 kg per minggu. Bensin 1 galon 16 kyat. Nasi bungkus di kaki lima antara satu dan dua kyat. Gaji sipil maupun tentara, terendah 450 kyat per bulan. Dilihat dari angka-angka itu, rakyat Burma tampaknya cukup sejahtera. Kekayaan? "Orang Burma, setelah perut kenyang dan baju cukup, sisa uangnya disumbangkan ke pagoda," tutur seorang pejabat di Kantor PBB di Yangon. Sebagaimana kota besar lainnya, kini Yangon punya dua satelit kota. Ada empat sasaran, yang oleh pemerintah diusahakan keras agar tercapai: menjamin ketertiban dan keamanan perbaikan transportasi dan komunikasi menjamin suplai sandang, pangan, dan papan dan mengadakan pemilu tahun ini. "Sasaran itu sudah terlaksana, meski pemerintah terus diserang dari luar negeri, terutama dari lembaga hak asasi manusia," tutur seorang pengamat kepada TEMPO. Dan boleh saja Yangon bangga dengan dua toserbanya. Enam bulan lalu, Daewoo Departement Store dari Korea Selatan dibuka, dan kemudian Myanmar Singapore Departement Store. Dua toko ini menjual barang-barang mahal: dari pakaian sampai televisi, dan barang elektronik yang lain. Dari Departemen Perdagangan diperoleh data, telah mendapat izin lebih dari 1.000 usaha ekspor-impor. Kemudian, dari sekitar 650 perusahaan asing yang beroperasi di Myanmar, 390 di antaranya adalah usaha patungan dengan modal dalam negeri. Pertanda membaiknya ekonomi ini juga terlihat dari cadangan devisa, yang pada Januari lalu mencapai US$ 550 juta, menurut Dana Moneter Internasional. Padahal, dua tahun lalu, Bank Sentral Myanmar sudah hampir bangkrut. Mulai tahun ini, perusahaan multinasional sudah masuk pula. Perusahaan minuman Pepsi-Cola sedang membangun pabrik di luar Yangon. Sedangkan sembilan perusahaan minyak lepas pantai sudah mendapat izin mengeksplorasi daerah pantai Myanmar. Memang, ketika India, Jepang, dan Amerika Serikat menekan Burma, setelah Saw Maung membantai gerakan demokrasi, pemerintahan militer tak lantas menutup diri. Hubungan segera diusahakan dengan Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan. Tapi, yang segera memberikan hasil adalah hubungannya dengan Muangthai. Sebab setelah Muangthai melakukan pengetatan penebangan kayu, Burma menjadi pemasok kayu gelondong terbesar. Bila saja perbaikan ini berlanjut, bisa jadi, Burma -- negeri kaum Budha bersarung -- akan kembali meraih predikat yang pernah disandangnya: salah satu negeri kaya di Asia Tenggara. Tradisi rakyat yang spontan menyumbangkan uangnya pada pagoda, dalam sejarah Burma menghasilkan julukan Negeri Seribu Pagoda. Ini tentu menyimbolkan kemakmuran di suatu zaman lampau. Negeri seluas 920.200 km2 ini memang punya potensi besar. Selain menyimpan minyak, tanahnya juga banyak mengandung perak dan seng. Hal-hal yang tentu tak sempat dimanfaatkan bila pemerintah tetap menindas, sikap yang hanya akan memancing demonstrasi dan bentrokan berdarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini