TUJUH nyawa warga Palestina melayang, Ahad dua pekan lalu. Hanya gara-gara seorang pemuda Yahudi putus cinta. Tak heran, intifadah mendidih kembali. Warga Arab di Israel berang. Aksi protes menyala di Yordania. Amerika pun mengkritik pedas. Israel kembali dikecam dunia. Yasser Arafat, yang berpidato pada sidang khusus DK PBB di Jenewa, Jumat pekan lalu, meminta agar PBB mengirimkan pasukan perdamaiannya ke wilayah pendudukan. "Puluhan rakyat kami tewas tiap hari. Keadaan tragis ini tak bisa dibiarkan lebih lama. Kami kehilangan kesabaran," kata Arafat. Pada awalnya James Baker, Menlu AS, menyuarakan bahwa Washington menyetujui usul itu. Tapi Minggu pekan lalu -- setelah Tel Aviv berang -- Baker mengaku "cuma setuju agar Sekjen PBB mengirimkan tim pengusut ke Tepi Barat dan Gaza". KTT Arab yang dibuka Senin ini di Baghdad membahas masalah Palestina sebagai topik utama. Sayangnya, seperti biasa, dunia Arab tetap terbelah. Lima negara, termasuk Syria, tak mengirimkan kepala negaranya ke ibu kota Irak itu. Kasihan juga Arafat, kedudukannya jadi semakin terjepit. Karena tekanan di PLO untuk "kembali berjuang dengan senjata" makin santer. Sebenarnya Pemerintah AS sendiri mulai tak sabar oleh sikap keras Israel. Khususnya Partai Likud, kubu garis keras itu. Minggu lalu, Yedioth Ahronoth -- koran terbesar Israel -- membocorkan telegram rahasia dari dubes Israel di Washington untuk PM Yitzhak Shamir. Isinya: ada krisis, karena AS akan menilai ulang kebijaksanaannya dalam "upaya damai". Sumber-sumber pemerintah Tel Aviv pun mengakui "tegangnya" hubungan Washington -- yang memasok bantuan US$ 3 milyar per tahun -- dengan pemerintah Tel Aviv. Pemerintahan Shamir, dengan Likudnya yang menginginkan Yahudi bercokol abadi di Tepi Barat dan Gaza, memang patut diberi "pelajaran". Untuk meredam kecaman internasional dan melicinkan jalan perdamaian, Shamir menawarkan "negosiasi untuk membincangkan masalah 'otonomi' wilayah-wilayah pendudukan". Rencana itu ditawarkan pemerintahan koalisi Likud-Buruh April 1989. Sesudah disepakati, Likud menyodorkan syarat: menolak berembuk dengan kubu Yasser Arafat, kecuali yang non-PLO. Setelah Washington berhasil menekan Arafat, Shamir memajukan syarat baru: warga Arab di Yerusalem tak boleh ikut pemilu yang diusulkan intifadah harus lebih dulu dihentikan dan sebagainya. Akhirnya Shamir menampik undangan AS untuk menemui wakil-wakil Palestina non-PLO di Kairo. Buntutnya, Partai Buruh menarik diri dari koalisi, dan hingga kini baik Buruh maupun Likud gagal membentuk pemerintahan di Israel. Sebenarnya politikus dan kalangan militer Israel menganggap perlawanan Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza sudah mulai padam. Tapi pembunuhan berdarah dingin oleh pemuda Ami Propper di Rishon Le Zion, dekat Tel Aviv, memicu kembali bentrokan. Drama berdarah yang menyedihkan itu bergulir lagi. Korban di pihak Palestina bergelimpangan. Ahad kemarin, seorang pemuda Palestina tewas ditembak tentara Israel di kamp pengungsi Deir Al-Balah, di Gaza. Dalam 30 bulan intifadah, pasukan Israel sudah membantai 668 warga Palestina. Sedangkan 206 Palestina dibunuh "saudara sendiri" karena dituduh jadi mata-mata Yahudi. Sementara itu, korban di pihak Yahudi sekitar 45 jiwa. Maraknya intifadah kembali juga disebabkan makin besarnya kekecewaan pihak Palestina atas kegagalan "mediasi" Washington. Juga karena lebih dari 100.000 imigran Yahudi asal Soviet datang tahun ini. Sebenarnya kunci masalah Israel Palestina ini ada di genggaman Amerika. Tapi apa Washington berani menghadapi para lobi Yahudi? FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini