AHMAD Chalabi tersentak kaget dan gusar—tapi tak berdaya. Sejumlah polisi Irak dan tentara Amerika Serikat mengobrak-abrik kamar tidurnya di Bagdad, Kamis pekan lalu. Menggeledah ruangan lain yang menjadi kantor Kongres Nasional Irak (INC), mereka mengambil komputer dan doku-men-dokumen.
Itu bukan untuk menangkap Chalabi, pihak AS berdalih. Lalu apa? Untuk mengumpulkan bukti-bukti ”korupsi” yang dilakukan anggota INC, kata mereka. ”Para petugas dilengkapi surat penangkapan untuk seorang lelaki yang dituduh mencuri kendaraan,” ujar Hassan Muathin, seorang hakim Irak, seperti dikutip Reuters. Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld langsung menyatakan tak mengetahui sedikit pun rencana penggerebekan itu.
Tapi versi Chalabi lain lagi. Penyergapan itu, kata dia, adalah upaya Amerika menjatuhkan pamornya sebagai anggota Dewan Pemerintahan Irak. Ia telah disebut-sebut sebagai calon terkuat Presiden Irak pengganti Saddam Hussein begitu pemerintahan transisi diberlakukan 1 Juli nanti. ”AS merasa terancam oleh pengaruh saya, yang mengusulkan agar kedaulatan Irak diberikan sepenuhnya, bukan setengah-setengah, setelah 30 Juni,” ujar lelaki 57 tahun tersebut.
Drama Kamis malam itu otomatis menyudahi hubungan mesra Chalabi dan AS yang sudah terbina lebih dari satu dasawarsa. Padahal, empat bulan silam, nama Chalabi masih ada dalam daftar tamu Ibu Negara Laura Bush untuk acara pidato kenegaraan yang menjadi prioritas Washington. INC, koalisi anti-Saddam yang berdiri pada 1992, juga masih menerima injeksi dana bulanan US$ 340 ribu dari Pentagon, yang berjalan sejak Maret 2000. Diperkirakan, INC sudah menerima subsidi US$ 33 juta—sebelum dihentikan pada pertengahan Mei.
Para analis menduga, Chalabi bukan lagi ”anak emas” AS setelah beredar dugaan ia menjadi agen ganda bayaran Iran dengan menjual rahasia tingkat tinggi Amerika. ”Rahasia-rahasia (tentang AS) itu begitu sensitif, sehingga bila diungkapkan bisa menyebabkan tentara Amerika terbunuh,” ungkap saluran televisi CBS.
Lahir dari keluarga Syiah kaya raya—ayahnya bankir—Chalabi ikut hengkang bersama keluarganya dari Irak ketika berusia 11 tahun. Lebih dari separuh umurnya dihabiskan di London dan AS, tempat ia menyelesaikan kuliah di Universitas Chicago dan Massachusetts Institute of Technology jurusan matematika. Ia sering digambarkan sebagai orang yang karismatis, kontroversial, tapi sering juga pemalu.
Sebelum menjadi politisi, ia lebih dulu terjun sebagai pengusaha. Di antaranya, bersama Putra Mahkota Hassan di Yordania, ia mendirikan Bank Petra, yang dengan cepat menjadi bank terkemuka di sana. Tapi, pada 1990, bank itu ambruk. Dan Chalabi divonis in absentia oleh pengadilan Yordania dengan hukuman 22 tahun penjara.
Pada 1992, Chalabi mendirikan INC di London, negeri yang memberinya kewarganegaraan baru. Partai ini dirancang untuk mendongkel Saddam, dengan mengompori pemberontakan suku Kurdi di Irak Utara. Pada tahun-tahun itulah Chalabi mulai sering mengunjungi Irak. Namun, tiga tahun kemudian, INC dihajar Saddam, yang memaksanya memindahkan markas ke Irbil. Pada 1996, markas itu pun dikuasai pasukan Saddam. Chalabi kabur ke luar Irak dan baru kembali menjelang akhir 2003, setelah AS mencaplok Negeri 1.001 Malam itu.
Saddam boleh jatuh. Tapi itu bukan berarti rakyat Irak menyambut mesra kehadiran Chalabi. Apalagi ia dinilai terlalu pro-Barat dan sekuler, sehingga banyak tokoh oposisi lain di INC yang meragukan niatnya memajukan Irak, kecuali ”mencapai tujuan pribadinya sendiri.”
Media Arab umumnya melihat figur pengusaha kelahiran Bagdad itu sebagai orang yang ”menjual jiwanya ke iblis”—yang sama artinya dengan antek AS. Bahkan harian Al-Watan dari Qatar menyebut Chalabi dan timnya ”telah gagal dan tak becus bahkan untuk mengurus sebuah toko eceran.”
Setelah kamar tidurnya diobrak-abrik pasukan pendudukan, Chalabi tampaknya harus mengubur dalam-dalam impiannya untuk menjadi pengganti Saddam.
Akmal Nasery Basral (Reuters, BBC, Al-Watan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini