Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Penghargaan buat Si Rendah Hati

Sebuah album penghargaan (tribute) untuk Ian Antono dirilis pekan silam. Penuh warna, namun kehilangan élan vital pemberontakan.

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Achmad Albar berbicara tentang Zakia, seorang penari yang mempesona. Beat dangdut membuka jalan, tapi suara vokalis kelompok God Bless itu cepat melesat di antara nada-nada tinggi, seakan hendak meninggalkan perkusi itu. Memang kontras terjadi, tapi itulah juga sebuah lukisan musikal yang indah untuk zaman itu. Lead guitar di tangan Ian Antono kemudian menyelusup di sela-sela tepukan gendang, mengalir di antara lengkingan suara Iyek _nama panggilan vokalis kribo itu.

Achmad Albar memang menulis lirik Zakia. Tapi Ian Antono, 53 tahun, adalah seorang arranger dan juga komponis yang istimewa. Dua puluh lima tahun berselang sejak diciptakan, Zakia, bersama-sama Semut Hitam, Bara Timur, Uang, Neraka Jahanam, ataupun Panggung Sandiwara, terbukti tak tenggelam masuk jurang. Mereka lagu-lagu yang berhasil bertahan melawan gempuran sang waktu.

Terakhir, sebuah kelompok musik cadas asal Surabaya, Boomerang, ikut "merayakan" kemenangan itu seraya membawakan Zakia—sebuah usaha yang akhirnya memperlihatkan keistimewaan Ian Antono. Boomerang adalah satu dari 18 artis partisipan A Tribute to Ian Antono (ATIA), album yang dirilis pekan silam.

Boomerang memang berhak membubuhkan identitasnya, aransemen barunya yang berbeda dengan God Bless. Tapi itulah usaha yang bukan lagi merupakan sebuah tafsir atas lagu itu, melainkan satu pamer kekayaan sound dan special effect. Intro sitar elektrik pada Zakia segera kehilangan makna begitu suara gitar yang terdistorsi menjajah hampir 7/8 tubuh lagu, sebelum kembali pada outro bunyi sitar. Yeah, Boomerang gagal mengulangi kesuksesan mereka menafsirkan Neraka Jahanam sekitar enam tahun silam. Di ATIA, lagu ini dibawakan ulang oleh Yovie & The Nuno dengan aransemen yang, maunya, lebih anggun, tapi justru kehilangan "kejahanaman"-nya yang menggedor-gedor itu.

Album ATIA telah membuktikan: menafsirkan, membubuhkan aransemen baru pada sebuah karya yang sudah bagus dari sononya, bukan hal mudah. Kecelakaan yang lebih parah terjadi pada Panggung Sandiwara. Salah satu "anthem" yang pernah dibawakan nyaris oleh semua penyanyi rock lokal itu berubah menjadi gulali yang kelewat manis di tangan Sheila on 7. Terasa sekali ada kesenjangan antargenerasi yang tak mampu ditangkap Eross, gitaris Sheila on 7, yang biasanya justru lancar mengaransemen lagu.

"Ketidakberdayaan" itu tampak sekali jika kita membandingkan itu dengan The Man Who Sold the World dari David Bowie yang dibawakan ulang oleh Kurt Cobain, Nirvana. Cobain membawakannya dengan segenap luka hatinya ke dalam lagu itu sehingga nomor tersebut seolah-olah karya Cobain sendiri, bukan Bowie.

Namun ATIA juga berisi beberapa keberhasilan tafsir lagu-lagu Ian Antono. Rumah Kita, nomor yang digubah ulang Stephan Santoso, menampilkan harmonisasi suara semua pengisi album yang muncul tertata rapi dan menimbulkan kontras yang indah (misalnya ketika suara hard rock Andy /rif berganti ke vokal Glenn Fredly yang sangat soul).

Gitaris yang bernama asli Jusuf Antono Djojo ini memang telah berjalan jauh. Ia tak banyak cakap, tapi sejarah mencatatnya. Selama 35 tahun berkarier, Ian jauh dari pencitraan seorang bintang rock yang bergelimang drug, sex, and rock 'n' roll. Ia kalem, perkawinannya harmonis, aura Kristianinya kadang-kadang memancar, dan tetap matian-matian menolak sebutan "dewa gitar" yang sudah sejak era 70-an disematkan oleh penikmat musik cadas di Tanah Air.

Kini karya-karyanya terbukti telah melintasi zamannya. Mungkin ia terhibur bila namanya bisa ditabalkan menjadi nama instrumen yang digunakannya (signature series—hal yang sulit terjadi bagi musisi Indonesia, misalnya mengharapkan munculnya gitar Fender Ian Antono) dan pembuatan sebuah album tribute. Tapi ia tak banyak berharap, tak banyak kecewa.

"Saya tidak menyangka dihormati seperti ini. Awalnya, saya hanya ingin membuat album gitar instrumental," tuturnya kepada TEMPO, tetap dengan kerendah-hatiannya yang terkenal itu.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus