Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lintas Internasional

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prancis
Deportasi Ulama Radikal

PARIS mendeportasi Midhat Guler, imam Masjid Bastille di kawasan timur Paris, Selasa pekan lalu. Melalui pernyataannya, Departemen Dalam Negeri negara itu menuduh Midhat memimpin kelompok gerakan Islam Turki di Prancis yang dikenal dengan nama "Kaplan". "Midhat Guler adalah pemimpin kelompok Kaplan yang sering melancarkan aksi kekerasan dan terorisme lewat khotbah di masjid," kata pernyataan itu. Tapi Prancis tak menyebutkan tempat tujuan deportasi.

Guler, 45 tahun, adalah imigran asal Turki. Ayah lima anak ini sudah 25 tahun menetap di Prancis. Deportasi sang Imam merupakan bagian dari kebijakan pemerintah setempat "menghabisi" ulama Islam radikal di negaranya. Paris pernah mendeportasi ulama Islam asal Aljazair, Abdulkader Bouziane, 52 tahun, yang dituduh sebagai penganjur kerusuhan. Sehari kemudian, pengadilan Prancis menyatakan deportasi itu tidak sah dan mempersilakan Abdulkader kembali ke masjidnya di Venissieux, dekat Kota Lyon.

Irak
'Pengkhianat' Diterkam 'Singa'

AMERIKA Serikat kehilangan sekutunya di Dewan Pemerintahan Irak setelah tewasnya Abdul-Zahra Othman Mohammad, Ketua Dewan Pemerintahan Irak, Senin pekan kemarin. Ia tewas saat bom mobil meledak di antrean mobil menuju markas pasukan pendudukan di Bagdad. Abdul-Zahra, yang dikenal dengan nama Ezzedine Salim, akan mengikuti rapat bersama anggota Dewan Pemerintahan Irak lainnya. Mobilnya berada di ekor antrean 12 mobil yang akan melewati pos penjagaan.

Ada dua kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas aksi berdarah itu. Masing-masing adalah "Gerakan Perlawanan Arab/Brigade Rasheed" dan Tawhid wa al-Jihad (yang diduga punya kaitan dengan Al-Qaidah). Lewat koran Arab Saudi, Al-Hayat, mereka menyatakan pelaku bom mobil, yang disebut "singa", telah membunuh pengkhianat Tuhan dan Nabi dan menjual keyakinannya untuk majikan mereka, AS. Sebelum Ezzedine, salah satu anggota Dewan Pemerintahan Irak, Aquila al-Hashimi, tewas diserang orang bersenjata, September tahun silam.

Taiwan
Chen Menang, Cina Berang

PRESIDEN Chen Shui Bian memulai periode kedua pemerintahannya, Kamis pekan lalu. Ia menang dalam penghitungan ulang hasil pemilu, juga dengan selisih suara sangat tipis, dari pesaingnya dari Partai Kuomintang. Dalam pidato pengukuhannya, Chen berusaha menenangkan Beijing dengan berjanji akan mencoret aspirasi kemerdekaan Taiwan dari agenda politiknya. Ia berbicara tentang hubungan saling menguntungkan dengan Cina, atau membangun saling kepercayaan. Padahal sebelumnya Chen berkeras akan membawa Taiwan menjadi negara terpisah dari Cina daratan.

Legakah Beijing? Tidak. Cina justru kian curiga terhadap sepak terjang Chen, karena Chen berkukuh menolak konsep "satu negara, dua sistem" yang disodorkan Beijing. "Aktivitas provokatif Chen Shui Bian yang pro-kemerdekaan (Taiwan) adalah ancaman perdamaian dan stabilitas terbesar di Selat Taiwan," demikian pernyataan Departemen Luar Negeri Cina. Menurut Direktur Pusat Studi Taiwan Modern di Beijing, Wu Nengyuan, Cina memang tak lagi percaya pada Chen. "Tujuannya memerdekakan Taiwan tak pernah berubah," kata Wu.

Myanmar
Konstitusi tanpa Suu Kyi

JUNTA militer Myanmar tetap menggelar pertemuan akbar untuk menyusun rancangan konstitusi, Senin pekan lalu, meski Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memboikotnya. Sebanyak 1.076 delegasi dari seluruh penjuru negeri menghadiri pertemuan di kompleks militer yang dijaga ketat, di luar Ibu Kota Yangon. "Berdasarkan kepentingan bangsa dan rakyat, menjadi kewajiban semua warga negara negeri ini membentuk konstitusi," ujar Letnan Jenderal Thein Sein, panitia konferensi. Konferensi itu menggunakan enam prinsip yang pernah diajukan junta dalam konferensi sebelumnya, 1996, yang gagal setelah NLD keluar dari konferensi. Salah satunya berbunyi: "Militer memegang peran utama dalam politik nasional."

NLD pimpinan Aung San Suu Kyi menolak menghadirinya. Selain karena tak ada kesetaraan, juga disebabkan junta militer menolak membebaskan Suu Kyi dan Wakil Ketua NLD, Tin Oo, dari tahanan rumah. Wakil Uni Eropa dan Amerika Serikat juga absen sebagai bentuk protes. NLD makin frustrasi karena rezim militer Myanmar mau berdamai dengan kelompok gerilya bersenjata, tapi menutup pintu untuk NLD. "Mereka (junta) bisa berkompromi dengan kelompok yang 40 tahun memerangi, tapi mereka tak mau berdamai dengan kami yang tak memiliki senjata. Apa sih maunya?" kata Sekretaris NLD, U Lwin.

RFX (AFP, LA Times, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus