Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEIJING bergerak ke masa silam. Radio dan TV tak lagi menayangkan lagu-lagu pop. Yang sering terdengar adalah lagu-lagu mars perjuangan dan pengumuman pemerintah. Sementara itu, gerakan penumpasan terhadap kaum "kontrarevolusioner" sejak peristiwa Tiananmen 3-4 Juni, jalan terus Pekan lalu pemerintah mengumumkan kriteria mereka yang bisa disebut kontrarevolusi. Antara lain, mereka yang menyangsikan penjelasan pemerintah tentang peristiwa Tiananmen. Konon, sudah puluhan ribu "kontrarevolusioner" dimasukkan penjara. Tapi, anehnya, belum satu pun di antara mereka yang dihukum mati. Eksekusi selama ini hanya dijatuhkan kepada mereka yang dituduh melakukan kriminalitas biasa: pencurian, perampokan, perkosaan. Ada yang bilang, kecuali mereka yang bisa lari, sebenarnya sebagian besar aktivis tersebut sudah habis terbunuh pada 3-4 Juni lalu. Ada pula pendapat, hukuman mati terhadap para aktor intelektual gerakan menuntut demokrasi dijalankan secara diam-diam. Penangkapan terbaru, menurut surat kabar sayap kiri Wen Wei Bao yang terbit di Hong Kong Kamis pekan lalu, dilakukan terhadap "buron kelas kakap" Zheng Xuguang. Zheng, 20 tahun, aktivis mahasiswa pro demokrasi yang belajar di Universitas Teknik Penerbangan dan Ruang Angkasa, dalam daftar hitam Biro Keamanan Umum Cina menempati perinkat ketujuh dari 21 tokoh Tiananmen yang paling dicari. Seorang pejabat imigrasi yang bermata jeli di bandara Kanton curiga menemukan dalam kopor seorang pendatang berkebangsaan Hong Kong sebuah paspor asing dengan foto Zheng. Ia melaporkan itu kepada polisi dan Biro Keamanan Umum. Kemudian mereka mengikuti gerak-gerik tamu itu yang membawa mereka ke sebuah studio film di kota itu. Ketika tempat itu digerebek, ternyata Zheng ada di sana, bersiap-siap melarikan diri. Biasanya para pembangkang terpelajar dijebloskan ke dalam kamp-kamp kerja paksa untuk mendapatkan "pendidikan kembali melalui kerja". Pendidikan kembali ini merupakan warisan ajaran Mao untuk "membuang penyakit buat menolong pasien". Biasanya mereka itu harus digembleng dalam Kepulauan Gulag paling tidak selama tiga tahun. Tak diketahui jelas jumlah tokoh terpelajar Cina yang kini mendapatkan "pendidikan kembali" di kamp-kamp kerja paksa. Dari sumber-sumber diplomatik, surat kabar Asian Wall Street Journal, pekan lalu, menulis tentang beberapa intelektual Cina yang mendekam di kamp kerja paksa karena dituduh mendukung aksi pro demokrasi. Di antaranya adalah Li Honglin, sarjana ekonomi dan anggota PKC yang memperjuangkan reformasi secara damai dari dalam partai sendiri. Ia diciduk dari rumahnya di luar kota Fuzhou pada 7 Juli lalu ketika sedang makan siang. Disaksikan oleh dua anota keluaranya, sekitar 10 petugas dari Biro Keamanan Umum masuk dan membawanya dengan jip. Semua catatan dan buku alamatnya dibawa pergi. Li, 64 tahun, seorang intelektual yang menderita selama Revolusi Kebudayaan. Ia direhabilitasikan setelah Deng Xiaoping berkuasa kembali. Dalam bukunya Empat Isme ia menyarankan agar Cina memberikan kebebasan dan demokrasi yang lebih besar. "Tanpa demokrasi, mana ada modernisasi," katanya tandas. Li, yang pernah menjadi profesor tamu di Universitas Princeton, AS, itu mungkin dituduh punya hubungan erat dengan para aktivis demokrasi. Tokoh lain yang ada dalam sekapan adalah Dai Qing, kolumnis surat kabarintelektual Guangming Ribao. Wanita berusia 43 tahun itu dikenal luas dalam elite partai, karena sikapnya yang terus terang. Ia, misalnya, menulis gugatan tentang pembersihan partai, 1950-an. Terakhir kali Dai Qing terlihat di Lananan Tiananmen. Ketika itu ia mencoba membujukbarisan demonstran supaya bubar dengan tenang. Akhirnya, Pemerintah Cina pun menaruh curiga kepadanya. Liu Xiabo, dosen ber-"lidah tajam", kata teman-temannya, digebuk jatuh selagi bersepeda di Beijing, dua hari setelah peristiwa Tiananmen. Ia lalu dibawa pergi oleh petugas berpakaian sipil. Liu, 34 tahun! tahun ini menjadi mahasiswa tamu di Columbia University, AS. Begitu demosntrasi pro demokrasi marak di negerinya, ia langsung balik dan menggabungkan diri. Selain mereka masih ada beberapa lagi. Sepanjang sejarah Cina golongan cerdik pandai memang selalu terjepit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo