Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LARRAINE Phylis Cohen memperoleh nyawanya kembali. Kamis pekan lalu Mahkamah Agung Malaysia mengabulkan kasasinya, mengubah hukuman mati untuk nyonya berusia 46 tahun itu menjadi seumur hidup. "Saya sungguh lega," kata wanita Selandia Baru itu. "Hukuman penjara tak ada artinya buat saya, karena saya sudah siap mati." Inilah pertama kalinya Malaysia, negeri yang terkenal sangat ketat menjalankan undang-undang antinarkotik, mengubah vonis mati terpidana narkotik. Selama ini Malaysia hampir tidak bergeming mendengar ratap tangis keluarga terhukum. Bahkan lobi tingkat tinggi dari pemerintah negara asal si terhukum seperti tak ada artinya. Ratu Inggris Elizabeth II dan pemerintah PM Margaret Thatcher pernah memintakan pengubahan hukuman mati buat Derrick Gregory. Toh, warga negara Inggris berusia 39 tahun itu digantung juga bulan lalu. Sebenarnya, undang-undang Malaysia pun membuka peluang pengubahan hukuman mati itu. Pelanggar UU pasal 39 B Akta Dadah Berbahaya, dengan sanksi hukuman gantung, bisa diubah menjadi pelanggar pasal 39 A, dengan sanksi hukuman seumur hidup. Yakni, jika terpidana bisa menunjukkan bukti bahwa narkotik itu untuk konsumsi sendiri. Nyonya Cohen - yang kabarnya kadang kala untuk memperoleh narkotik ia terpaksa melacurkan diri - sungguh beruntung. Pembelanya berhasil meyakinkan Mahkamah Agung bahwa empat kantung berisi 140 gram heron di pakaian dalamnya bukan untuk dijualbelikan, tapi untuk dipakai sendiri oleh nyonya itu. Juga Aaron Shelton, 22 tahun, anak Nyonya Cohen, yang kedapatan membawa 34 gram heroin, diubah hukumannya. Untuk Aaron, hukuman masih ditambah dengan pukulan rotan enam kali. Menurut Ketua Mahkamah Agung Malaysia Abdul Hamid Omar, hakim pengadilall tinggi yang menyidangkan Cohen dan anaknya telah mengabaikan tanda bekas suntikan pada lengan dan paha mereka, saat mereka ditangkap, empat tahun lalu. Padahal, selama ini dari 70-an terpidana mati sejak 1975, tak seorang pun yang berhasil menggunakan UU pasal 39 A. Banyak yang mengajukan kasasi dengan diperkuat surat dokter bahwa mereka pendadah berat. Tapi pihak Mahkamah Agung tak mempercayainya. Boleh jadi para petinggi hukum Malaysia kini mulai menyadari adanya kelemahan dalam pemeriksaan barang bukti dalam kasus narkotik. Selain Nyonya Cohen, seorang terpidana mati kasus narkotik asal Indonesia, Basrie Masse, juga "bernasib baik". Sabtu pekan lalu ayah dua anak asal Parepare, Sulawesi Selatan, yang seharusnya dieksekusi Maret silam, bakal disidang ulang. Penundaan pelaksanaan eksekusi Basri ini berkat kegigihan Pemerintah Indonesia. Kabarnya, setelah Jaksa Agung RI Sukarton Marmosudjono membicarakan masalah pidana mati Basrie dengan Ketua Menteri Sabah Dato Yoseph Pairin Kitingan, tersebut belakangan, Ketua Lembaga Pengampun (Board of Pardon) Sabah, akhirnya meneruskan kasus ini ke Mahkamah Federal di Kuala Lumpur. Kasus Basrie memang agak berbeda dengan perkara Nyonya Cohen. Masse divonis mati Pengadilan Tinggi Kinabalu, Sabah, karena kedapatan membawa 937 gram narkotik, pada 1983. Pengadilan menolak pengakuan Basrie Masse bahwa kantung berisi ganja yang ia bawa sebenarnya milik Abdul Patta Lubbing, temannya sesama warga RI. Dan ia tak tahu bahwa kantung itu berisi ganja. Celakanya, si teman, Abdul itu, menghilang. Karena menghilangnya saksi utama, Abdul itu - yang duduk satu taksi bersama Basrie saat ditangkap--keputusan sidang Pengadilan Tinggi yang mengadili kasus ini dianggap lemah. Selain soal saksi utama, agaknya ada juga penilaian bahwa sidang kurang berusaha memberitahukan kepada pihak pemerintah tempat Basri dan Abdul menjadi warga negaranya. Itulah mengapa kasus ini hampir luput dari pengetahuan Konsulat RI di Sabah. Untunglah, Basrie berhasil menyelundupkan surat pemberitahuan kepada perwakilan RI, pada Juni 1988 - dua tahun setelah ia divonis mati. Lewat sidang ulangan, diharapkan nasib warga Sulawesi Selatan itu tidak berakhir di tiang gantungan. Selama ini setidaknya sudah seorang warga negara Indonesia dieksekusi di Malaysia karena kasus narkotik. Yakni Ramli Kechik, yang dihukum gantung pada 1986.Ekram H. Attanmimi (Kuala Lumpur) dan FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo