Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cengkeraman dari Damaskus

Bashar al-Assad berlomba dengan Arab Saudi dan Turki untuk merebut Raqqa. Memanfaatkan kelemahan ISIS di markasnya.

22 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Suriah Bashar al-Assad bergeming. Seruan gencatan senjata dari konferensi perdamaian Suriah di Muenchen, Jerman, pada Jumat pekan lalu itu hanya masuk ke telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Assad tak berselera menanggapi hasil kesepakatan 17 negara penggagas perundingan damai Suriah itu.

"Tidak masuk akal bagi kami untuk mengatakan akan menyerahkan setiap wilayah," ujar Assad di kantornya, beberapa jam setelah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry menyeru dari Muenchen, seperti dikutip ABC News. Assad menyatakan mendukung perundingan damai. Namun, bagi dia, "Negosiasi bukan berarti kami berhenti memerangi terorisme."

"Memerangi terorisme" menjadi mantra andalan Assad untuk memerangi lawan-lawan politiknya. Definisi teroris menurut Assad berbeda dengan versi negara-negara Barat. Bagi Assad, teroris bukan hanya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan Front al-Nusra, kelompok militan yang berafiliasi dengan Al-Qaidah, melainkan juga pasukan pemberontak.

"Secara hukum, mereka tidak ada bedanya. Negara akan menghadapi semua orang yang membawa senjata, tanpa peduli ideologi mereka," ujar Assad. Itu sebabnya, ia menambahkan, "Negara menganggap setiap teroris adalah musuh."

Perlahan tapi pasti, Assad membuktikan omongannya. Sejak awal Februari lalu, tentara Suriah sukses merebut kembali Provinsi Aleppo. Dibekingi serangan udara Rusia, pasukan pemerintah Suriah menggempur kantong-kantong tentara pemberontak. Mereka memukul mundur para penentang rezim Assad dari provinsi di Suriah utara tersebut.

Tentara Suriah juga menguasai Desa Kfeen di utara Kota Aleppo. Desa itu penting karena hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari perbatasan Turki. "Tentara bisa mengambil alihnya setelah memusnahkan kelompok terakhir teroris di sana," demikian laporan kantor berita Syria Arab News Agency. Assad mengatakan serangan di Aleppo bertujuan memotong jalur pasokan logistik pemberontak dari Turki.

* * * *

Sukses di Aleppo memberi angin segar bagi Assad. Pria 50 tahun yang menguasai Suriah sejak 2000 ini mematok target kedua, yaitu Provinsi Raqqa. Seorang pejabat militer Suriah mengatakan Assad tengah menyiapkan serangan ke Kota Raqqa, ibu kota provinsi yang juga dikenal sebagai ibu kota de facto ISIS.

"Pasukan kami telah menaklukkan wilayah pemberontak di Aleppo. Sekarang kami bersiap menggempur daerah kekuasaan ISIS," ujar pejabat militer itu, seperti dilaporkan The Independent.

Dalam beberapa hari terakhir, tentara Suriah telah menempatkan diri di tapal batas provinsi antara Hama dan Raqqa. "Ini merupakan indikasi dari operasi selanjutnya untuk menyasar Raqqa," kata pejabat militer yang lain, seperti dikutip Reuters.

Pada Ahad pekan lalu, tentara Suriah dari Brigade 555, Divisi Mekanik Keempat, Brigade Elang Gurun, dan Resimen Golan melancarkan serangan masif di Desa Zakiyah dan merebut Bukit Tal Masbah. Milisi ISIS, yang biasanya bercokol di puncak bukit itu, kocar-kacir dan mengungsi ke arah timur laut menuju padang pasir di perbatasan Raqqa-Hama.

Serangan darat tentara Suriah, yang dibantu milisi Palestina pro-Assad, Liwaa Al-Quds atau Brigade Yerusalem, juga sukses menguasai jalan raya Salamiyah-Raqqa. "Memotong rute pasokan utama ISIS dari Raqqa ke Provinsi Hama di dekatnya," ujar seorang tentara anggota Brigade 555, seperti dilaporkan Al Masdar News.

Pertempuran sengit antara tentara Suriah dan milisi ISIS berlangsung beberapa hari. Pada Rabu pekan lalu, ISIS terdesak ke kawasan kota gurun Ithriyah. Tentara Suriah sukses menguasai perbukitan Jibab Marayta. Lokasi ini terletak 40 kilometer ke arah barat dari jalur pasokan utama minyak ISIS.

Pasukan pemerintah juga bersiap merebut kembali Pangkalan Udara Tabaqah di barat daya Provinsi Raqqa. ISIS menguasai pangkalan udara ini dalam pertempuran pada Agustus 2014. "Pasukan telah bergerak ke lokasi yang berjarak sekitar 32 kilometer dari Tabaqah," kata pejabat militer yang enggan disebut identitasnya itu.

* * * *

Bagi Damaskus, Provinsi Aleppo dan Raqqa sangat strategis posisinya untuk direbut kembali. Pasukan pemerintah telah absen dari dua wilayah di Suriah utara itu sejak 2014. Namun kembali bercokolnya tentara Suriah bakal mempersulit langkah Arab Saudi memasuki dua kawasan tersebut.

Arab Saudi tengah mempertimbangkan serangan darat skala besar ke Suriah. Riyadh, yang membekingi kelompok pemberontak, berkepentingan menggulingkan Assad. "Kami sangat yakin Bashar al-Assad akan lengser. Dia akan jatuh lewat proses politik atau didongkel secara paksa," ujar Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir kepada CNN.

Arab Saudi menggunakan alasan "memerangi ISIS" untuk masuk ke Suriah. Pada akhir tahun lalu, Riyadh membentuk koalisi anti-ISIS berisi negara-negara Islam. "Riyadh telah menggelar latihan darat dan udara dengan Mesir dan Yordania di dekat perbatasan Irak," demikian diberitakan Sputnik News. Arab Saudi juga telah menempatkan jet-jet tempurnya di Pangkalan Udara Incirlik di Turki.

Uni Emirat Arab tidak mau ketinggalan. Negara ini setuju mengirim pasukan khusus ke Suriah. "Bersama pasukan Saudi, mereka ditugasi melatih pasukan pemberontak Arab Sunni untuk merebut kembali Raqqa," kata Menteri Pertahanan Amerika Ashton Carter seusai pertemuan 20-an menteri pertahanan di markas Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) pekan lalu.

Karut-marut konflik di Suriah bertambah ruwet akibat ulah Turki. Pasukan Turki baru-baru ini melancarkan tembakan ke kantong milisi Kurdi Suriah di dekat Kota Azaz di perbatasan utara Suriah. "Kami mendesak mereka segera menarik diri dari wilayah tersebut," ujar Perdana Menteri Turki Ahmet Davutoglu. Turki juga mengancam akan mengirimkan pasukan ke wilayah Suriah dengan dalih memerangi milisi Kurdi.

Jim Jatras, mantan diplomat Amerika dan penasihat kubu Republik di Senat, menilai keputusan Assad merebut kembali Aleppo dan Raqqa sudah tepat. Menurut dia, sasaran utama serangan darat Arab Saudi dan Turki sebenarnya bukan ISIS atau milisi Kurdi. "Mereka menargetkan Assad," katanya. Riyadh dan Ankara adalah penentang gigih Assad dan paling ngotot menggulingkan pemimpin Islam Syiah itu sejak awal krisis Suriah.

Turki dan koalisi negara Islam memang berkepentingan menguasai Raqqa. Dengan merebut Raqqa, posisi mereka bakal lebih kuat dalam negosiasi untuk menentukan nasib Suriah. Ankara dan Riyadh akan mengerahkan segala cara untuk menjegal Assad. "Tidak akan ada Bashar al-Assad di masa depan (Suriah)," ujar Adel al-Jubeir, seperti diberitakan Gulf News.

* * * *

Perang sipil di Suriah telah membelah kekuatan dunia. Amerika memimpin koalisi beranggotakan negara-negara Barat dan Arab Sunni. Mereka membekingi kelompok pemberontak yang ingin menjatuhkan Assad. Di Damaskus, Assad mendapat dukungan dari Rusia, Iran, dan milisi Hizbullah yang berbasis di Libanon. Di antara kedua kubu itu terselip ISIS, kelompok teror paling menakutkan sejagat.

Sejak Maret 2011, krisis Suriah telah merenggut 470 ribu jiwa. Sebanyak 400 ribu warga tewas akibat dampak langsung konflik, sementara 70 ribu orang kehilangan nyawa karena tidak dapat menjangkau makanan, air minum, perumahan, sanitasi, dan perawatan kesehatan. "Sekitar 11,5 persen dari populasi Suriah telah tewas atau terluka," demikian laporan terbaru Pusat Studi Kebijakan Suriah (SCPR).

Konflik di Suriah juga memicu gelombang pengungsi. Sedikitnya 12 juta warga Suriah mencari suaka ke Turki, Uni Eropa, dan negara-negara lain. Krisis politik Suriah, yang terinspirasi gerakan Arab Spring dan berawal dari demonstrasi damai di jalanan, kini menjelma menjadi krisis kemanusiaan terbesar sejak Perang Dunia II.

Serangan terbaru pasukan Assad di Aleppo, misalnya, kembali memicu arus pengungsi ke Turki. Sebanyak 70 ribu orang angkat kaki dari rumah mereka. Sayangnya, para pengungsi itu tak semujur nasib saudara-saudara mereka sebelumnya. Mereka terpaksa tertahan di gerbang perbatasan karena Turki sudah kewalahan menampung pencari suaka.

Jalan damai di Suriah masih jauh panggang dari api setelah Assad berkeras tak mau lengser. Menurut dia, konflik bisa berakhir dalam waktu kurang dari satu tahun bila jalur pasokan pemberontak dari Turki, Yordania, dan Irak diputus. Namun, bila tidak, kata dia, "Solusi damai akan memakan waktu yang lama dan harus dibayar mahal."

Mahardika Satria Hadi (SANA, ABC News, Reuters, Gulf News, The Independent, RIA Novosti, Al Jazeera)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus