Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jeri karena Sanksi Kebiri

Pemerintah membahas rancangan peraturan tentang hukuman kebiri untuk pedofil. Ditentang kalangan dokter dan pegiat hak asasi.

22 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA bundel dokumen tergeletak di atas meja kerja Pribudiarta Nur Sitepu di kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Isinya berbagai pandangan, baik pro maupun kontra, atas gagasan hukuman tambahan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak. "Pemerintah serius mengumpulkan berbagai macam masukan," kata Pribudiarta, Deputi Menteri Bidang Perlindungan Anak, Kamis pekan lalu.

Pribudiarta seharusnya membawa salinan berkas itu ke rapat bersama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada Rabu pekan lalu. Namun pertemuan itu batal. Sejumlah menteri dan pejabat yang diundang telanjur punya kegiatan masing-masing. Rapat untuk membahas rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijadwal ulang pada Senin pekan ini.

Toh, draf Perpu sebenarnya sudah siap dibahas. Yang hendak diubah adalah ketentuan dalam Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Perlindungan Anak. Pasal 81 dari tiga ayat menjadi delapan ayat. Sedangkan Pasal 82 dari dua ayat menjadi tujuh ayat. Perubahan terpenting adalah penambahan hukuman kebiri kimia terhadap pedofil yang menimbulkan korban lebih dari satu orang dan mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, atau korban meninggal. Masa waktu kebiri paling lama sesuai dengan masa pidana pokok yang dijatuhkan hakim.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan sudah menyerahkan draf Perpu itu kepada Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia pada awal Februari lalu. Terakhir, Pribudiarta juga mengirimkan konsep Perpu ke Kejaksaan Agung serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. "Kami minta analisis berikut masukannya," ujarnya.

Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia yang seharusnya memimpin pengkajian draf Perpu rupanya masih mengulur waktu. Menurut seorang pejabat kementerian yang ikut membahas draf perpu, Kementerian Koordinator khawatir menerima banyak kecaman. Alasannya, Undang-Undang Perlindungan Anak baru direvisi dua tahun lalu. "Karena itu, diperlukan penyesuaian dari Kementerian Hukum," ujar pejabat tersebut.

Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia, Marwan Syaukani, mengatakan pembahasan rancangan Perpu kebiri memang alot. Belum selesai perdebatan tentang hukuman tambahan kebiri, ada usul agar kasusnya dipublikasikan ke media. "Hukuman kebiri saja banyak yang mempermasalahkan," ujar Marwan.

* * * *

Kementerian Pemberdayaan Perempuan berfokus menyiapkan konsep hukuman kebiri untuk pelaku pedofilia setelah menerima mandat dari rapat terbatas Presiden Joko Widodo dengan jajaran kabinetnya pada Oktober 2015. Dalam rapat itu, sanksi kebiri dilontarkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Menurut Prasetyo dan Khofifah, kasus pedofil harus dicegah dengan ancaman hukum berat agar anak-anak terlindungi masa depannya.

Gagasan tersebut merupakan reaksi atas pembunuhan bocah sembilan tahun setelah diperkosa oleh Agus Darmawan, empat bulan lalu. Agus membuang mayat korban dalam kardus—dengan tangan terikat dan mulut dilakban—di Kampung Belakang, Jembatan Sahabat, Kamal, Jakarta Barat.

Hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan pada 2013 mengukuhkan kekhawatiran peserta rapat kabinet terbatas. Hasil survei pada kelompok umur 13-17 tahun itu mengungkapkan satu dari tiga anak laki-laki yang mengalami kekerasan seksual, baik secara fisik maupun emosional. Sedangkan satu dari lima anak perempuan mengalami kekerasan seksual dalam setahun terakhir sebelum survei itu digelar.

Mendengar pemaparan tersebut, Presiden Jokowi menyetujui gagasan memperberat hukuman bagi pelaku pedofilia. Presiden memerintahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kejaksaan Agung, serta Kepolisian RI menyusun rancangan Perpu.

Sebagai fasilitator, Kementerian Pemberdayaan Perempuan meminta masukan dari kalangan akademikus. Mereka menggandeng antara lain akademikus dari Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Indonesia. Dalam urun rembuk itu, kalangan akademikus lebih mendukung pemerintah menggeber berbagai program pencegahan dengan meningkatkan kemampuan pengasuhan anak.

Kementerian Kesehatan dan Kementerian Hukum pun tidak sreg dengan hukuman kebiri penyuntikan zat kimia itu. Dalam risalah rapat pada 10 November 2015, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Farid Moeloek tercatat menyampaikan masukan bahwa hukuman kebiri tidak selalu efektif. Dia mengusulkan metode pengobatan lain yang dilakukan secara komprehensif. "Yang harus diperhatikan adanya efek jera," demikian pendapat Nila dalam catatan rapat.

Direktur Kesehatan Keluarga Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Eni Agustina mengatakan tidak setiap pedofil cocok dihukum kebiri. Hukuman penyuntikan zat kimia seharusnya diberikan kepada pelaku yang tidak mungkin dibuat jera dengan hukuman selain kebiri. Selain harus berdasarkan putusan hakim, menurut Eni, hukuman kebiri perlu melibatkan pertimbangan dan pendapat ahli, semisal ahli jiwa forensik. Jika sudah ada rekomendasi ahli dan putusan hakim, dokter yang menyuntik kebiri tak akan dianggap melanggar kode etik.

Dalam risalah rapat pada November tahun lalu itu, Menteri Hukum Yasonna Laoly juga berpendapat agar penerbitan Perpu dikaji kembali. Yasonna meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan membuka ruang diskusi publik seluas-luasnya. "Saya kira tidak pas jadi Perpu," ujar Yasonna.

Menurut Yasonna, istilah kebiri terkesan bombastis. Khalayak mengartikan kebiri adalah membuang testis. Padahal, menurut Perpu, kebiri adalah mengurangi libido pelaku dengan cara suntik kimia atau pemberian pil. "Masih banyak perbedaan. Belum final itu," kata Yasonna.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia termasuk yang lantang menolak gagasan hukuman kebiri. Koordinator Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, mengatakan lembaganya sangat prihatin atas tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak. Karena itu Komnas HAM mendukung upaya serius untuk mencegah kejahatan seksual terhadap anak.

Meski demikian, Komnas HAM menolak hukuman kebiri karena sanksi itu bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. "Tidak cukup bukti bahwa sanksi kebiri bisa mengurangi kejahatan seksual kepada anak," ujar Sandra. Apalagi kekerasan seksual terhadap anak tak melulu dengan cara penetrasi alat kelamin. Ada juga kekerasan yang menggunakan tangan atau benda tumpul.

Berdasarkan hasil diskusi terfokus Komnas HAM dengan perwakilan dokter dan Kementerian Kesehatan dua pekan lalu, menurut Sandra, dalam jangka panjang kebiri dengan zat kimia pun bisa menyebabkan berbagai macam gangguan kesehatan. Misalnya keropos tulang, kemandulan, dan mudah lelah. "Dalam prinsip hak asasi, hukuman tak boleh melemahkan secara fisik," ujar Sandra.

Gelombang penolakan juga datang dari Ikatan Dokter Indonesia. Ketua Bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi Kelembagaan IDI, Mahesa Paranadipa, mengatakan penyuntikan zat kimia terhadap pelaku kejahatan bertentangan dengan kode etik kedokteran. Sumpah dokter menyebutkan setiap dokter menghormati hidup insani. Artinya, dokter harus mengutamakan kepentingan pasien. Karena itu, tindakan dokter tak boleh bertujuan mencelakakan, membuat cacat, apalagi membunuh pasien.

Kalau pemerintah ingin melibatkan dokter, Mahesa menyarankan dua hal. Pertama, petugas medis bisa melakukan terapi terhadap pelaku selama di penjara. Pendekatannya rehabilitasi untuk menyiapkan pelaku menjalani kehidupan normal setelah keluar dari penjara. Kedua, dokter bisa dilibatkan dalam pencegahan dengan melakukan penyaringan terhadap orang yang berpotensi menjadi pedofil. "Jangan korbankan dokter untuk melanggar kode etik," ujar Mahesa.

Linda Trianita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus