Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS yang empat belas tahun mati suri itu bangkit lagi mengganggu malam-malam Soenarjati Djajanegara. Dalam tiga pekan terakhir, perempuan 82 tahun ini pun tak bisa tidur nyenyak. Ia terus dihantui bayangan kehilangan tanah dan rumah yang telah ditempatinya hampir setengah abad. "Setiap malam selalu kepikiran," kata Soenarjati, pensiunan guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Senin pekan lalu.
Putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung pada 2002 mengalahkan Soenarjati dalam sengketa kepemilikan tanah melawan Hardy Sanjaya. Namun putusan itu belasan tahun mengendap. Sampailah pada 2 Februari lalu, tatkala tiga orang mendatangi rumah Soenarjati di Jalan Pendidikan I, Bintaro, Jakarta Selatan. Mengaku petugas juru sita dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mereka menyerahkan sepucuk surat. Isinya meminta Soenarjati meninggalkan rumahnya secara sukarela.
Menurut tim juru sita itu, imbauan pengosongan rumah tersebut didasari Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Tanggal 13 November 2015. Sekelebatan, Soenarjati mengingat panggilan telepon yang dia terima sekitar tiga bulan lalu. Edwin Sanjaya, putra Hardy Sanjaya, kala itu mengabarkan bahwa rumah yang ditinggali Soenarjati akan segera dieksekusi. "Edwin mengatakan ada kabar buruk buat saya," ucap Soenarjati. Ternyata panggilan telepon pemuda 27 tahun yang mengaku baru pulang kuliah dari Jerman itu bukan gertak sambal.
Awal tahun lalu, Edwin mendatangi rumah Soenarjati. Dia meminta Soenarjati meninggalkan rumah atau menyewakannya. "Dia minta hasilnya dibagi dua," ujar Soenarjati. Tapi perempuan yang hidup hanya ditemani pembantunya ini dengan tegas menolak permintaan Edwin.
Perkara sengketa tanah ini bergulir sejak Hardy Sanjaya menggugat Soenarjati ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 1989. Hardy mengklaim sebagai pemilik lahan yang ditempati Soenarjati dengan menunjukkan sertifikat tanah nomor 284 tahun 1972. Sertifikat itu, menurut gugatan Hardy, dibuat berdasarkan akta jual-beli nomor 488/Agr/1971 tanggal 13 November 1971. Hardy mengaku membeli lahan itu dari seorang pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soenarjati, yang diwakili pengacara Maruli Simorangkir dkk, menangkis gugatan Hardy dengan menunjukkan sertifikat nomor 743 tahun 1973. Menurut Soenarjati, tanah itu dia beli dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun Departemen, setahu Soenarjati, membeli lahan dari Haji Minun, warga setempat yang sudah lama meninggal.
Soenarjati juga berdalil bahwa posisi tanah seluas 200 meter persegi itu sesuai dengan gambar pada sertifikat yang dia pegang. Lahan membujur dari barat ke timur sepanjang 25 meter dan melintang dari utara ke selatan selebar 20 meter. Sedangkan gambar lahan dalam sertifikat milik Hardy berkebalikan dengan fakta di lapangan. Karena itu, kuasa hukum Soenarjati pun menyebut gugatan Hardy salah obyek alias error in objecto.
Di persidangan, Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Selatan Sularso Kusumo memberi kesaksian yang menguntungkan Hardy. Menurut Sularso, lahan yang dirujuk sertifikat 284 tahun 1972 tercatat dalam peta gambar situasi tanah di Kantor Agraria Kabupaten Tangerang yang diserahterimakan ke Kantor Agraria Jakarta Selatan. Sebaliknya, lahan yang tercantum dalam sertifikat nomor 743 tahun 1973 tidak tercantum dalam peta gambar situasi tanah. Kesaksian ini menjadi salah satu pertimbangan majelis hakim, yang akhirnya memenangkan Hardy.
Seorang pejabat di Direktorat Penanganan Perkara Tanah dan Ruang Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengatakan BPN biasanya baru mengetahui ada sertifikat yang tidak terdaftar di kantor pertanahan ketika ada permohonan pengecekan. Setiap sertifikat terbitan BPN, kata si pejabat, seharusnya tercatat pada buku tanah di kantor pertanahan setempat. Bila tidak terdaftar, itu bukan sertifikat keluaran BPN.
Dalam kasus Soenarjati versus Hardy, menurut si pejabat, ada kemungkinan kedua sertifikat sama-sama keluaran BPN. Sertifikat ganda bisa muncul karena girik yang menjadi alas hak tanah tersebut juga ganda. Nah, pemegang girik menjual lahan yang sama kepada dua orang berbeda. "Kasus seperti ini banyak terjadi. BPN tak bisa mengontrolnya," ujar si pejabat, Kamis pekan lalu.
Soenarjati, penghuni gelombang pertama di tanah kaveling Departemen Pendidikan dan Kebudayaan itu, mengajukan permohonan banding. Upaya itu berbuah positif. Hakim tunggal Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Ida Bagus Ngurah Adi, memenangkan Soenarjati pada 1993. Pertimbangan hakim, antara lain, panjang dan lebar tanah menurut gambar situasi pada sertifikat milik Hardy berbeda dari hasil pemeriksaan lapangan.
Meski menang, Soenarjati belum sempat bernapas lega. Soalnya, Hardy segera mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis kasasi membalik arah angin dengan memenangkan Hardy. Pertimbangan hakim kasasi, antara lain, ketidaksesuaian posisi dan batas tanah pada sertifikat nomor 284 tahun 1972 dengan akta jual-beli nomor 488/Agr/1971 merupakan hal yang mungkin terjadi. Soalnya, akta jual-beli dibuat pada 1971. Sedangkan sertifikat hak milik diterbitkan pada 1972.
Tak terima atas putusan kasasi, Soenarjati mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Ia menyampaikan novum atau bukti baru berupa perbedaan blok yang tercantum pada sertifikat Soenarjati dengan yang tercantum pada sertifikat Hardy. Pada sertifikat nomor 743, bidang tanahnya berada di Blok Rena. Sedangkan pada sertifikat nomor 284, tanah berada di Blok Jaran. Namun Mahkamah Agung menolak bukti yang diajukan Soenarjati. "Saya tak mengerti hukum, tapi ini tanah telah saya beli dan tempati sejak 1965," kata Soenarjati, yang membeli lahan tersebut seharga Rp 150 ribu.
Pengacara baru Soenarjati, Tumbur M. Tampubolon, mengatakan kliennya sudah menolak sejak rencana eksekusi pertama kali. Soenarjati pun akan kembali menolak rencana eksekusi kedua kali ini. "Tak ada putusan hakim yang menyebutkan sertifikat yang dipegang Ibu Soenarjati batal demi hukum," ujar Tumbur.
Adapun Edwin Sanjaya, ketika dihubungi pada Rabu pekan lalu, tak berkomentar apa pun. Ia hanya berjanji memberikan nomor kontak pengacaranya. Sampai Jumat pekan lalu, Edwin belum memenuhi janjinya. Ia pun tak membalas panggilan telepon dan pesan pendek yang dilayangkan Tempo.
Juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Made Sutrisna, mengatakan upaya hukum tertutup karena tergugat sudah mengajukan permohonan peninjauan kembali. Setelah surat permintaan eksekusi sukarela dilayangkan pada 2 Februari lalu, jika dalam delapan hari tak dilaksanakan, tim juru sita akan melakukan eksekusi paksa.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan meminta pengadilan menunda eksekusi. Alasannya, untuk memastikan keadilan, Kementerian Agraria akan mengkaji dulu asal-usul lahan dan keabsahan sertifikat kedua belah pihak. "Masih ada telaah untuk itu," kata Ferry, Rabu dua pekan lalu.
Pejabat di Direktorat Penanganan Perkara Tanah dan Ruang BPN mengatakan, bila kelak terbukti dua sertifikat itu sama-sama asli, kedua pihak bisa meminta mediasi ke BPN. Seperti pada kasus-kasus sebelumnya, pihak yang bersengketa bisa saja berbagi kepemilikan lahan sesuai dengan kesepakatan mereka.
Adapun Soenarjati menyatakan akan tetap mempertahankan tanah dan rumahnya. Di tengah kesulitan melewati masa senjanya, pensiunan guru besar ini masih bersedia mengajar di almamaternya. "Saya harus tetap aktif dan tak boleh menyerah," ujar Soenarjati.
Nur Haryanto, Arkhelaus W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo