Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Frustrasi di Aleppo

Didukung Rusia, pasukan yang loyal kepada Bashar al-Assad mengepung Aleppo. Kelompok perlawanan merasa ditinggalkan Amerika Serikat.

22 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam satu SMS dari Tal Rifaat, kota di bagian utara Provinsi Aleppo, Abu Haytham mengirimkan pesan yang mewakili suasana hati berbagai kelompok perlawanan Suriah yang selama ini dianggap moderat, sekuler, dan karena itu didukung Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya. "Selamat tinggal revolusi," katanya, seperti dikutip The New York Times.

Hari itu, Jumat dua pekan lalu, Aleppo sedang menghadapi gempuran hebat dari pasukan yang loyal kepada pemerintah Suriah. Didukung serangan udara pesawat-pesawat tempur Rusia, pasukan Bashar al-Assad mengepung kota yang dikendalikan kelompok perlawanan itu. Pertempuran ini menyebabkan lebih dari 50 ribu pengungsi—orang tua, perempuan, dan anak-anak—membanjiri wilayah di perbatasan Turki.

Abu Haytham adalah juru bicara Thuwwar al-Sham, kelompok perlawanan yang didukung program dari dinas intelijen Amerika (CIA). Seperti halnya kelompok-kelompok perlawanan lainnya, Thuwwar al-Sham merasa bingung dan putus asa. Dengan jumlah anggota pasukan yang terus berkurang, juga wilayah yang menyempit, kata-kata seperti "tak ada harapan" atau "ini sudah berakhir" kian sering diucapkan.

Semua itu merupakan ekspresi kejengkelan karena merasa tak memperoleh dukungan total dari Amerika, apalagi diselamatkan. "Kami belum menerima dukungan mematikan yang berarti dari Amerika, dan kami hampir tak menerima dukungan apa pun sampai dua bulan lalu," ujar Abdallah al-Othman, kepala urusan politik Levant Front, kelompok perlawanan yang juga gigih memerangi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang menulis di Foreign Policy pekan lalu.

Sebenarnya telah lama kelompok perlawanan akhirnya sadar bahwa Amerika tak benar-benar ingin mereka menang perang, yang sudah berlangsung hampir lima tahun. Amerika, menurut mereka, hanya ingin mereka bertahan cukup lama sehingga ada waktu untuk menekan Assad supaya bersedia berunding mencari penyelesaian politik. Tapi apa yang terjadi belakangan, terutama setelah pasukan Assad bergerak menuju Aleppo, membuat kelompok-kelompok itu cemas bahwa Amerika dan sekutunya justru sedang membiarkan mereka kocar-kacir dan kalah.

Pada Selasa dua pekan lalu, para pemimpin kelompok-kelompok perlawanan bertolak ke Ankara, Turki, untuk bertemu dengan para pejabat Amerika. Tapi tak ada yang optimistis bakal ada perubahan di medan perang. Tiga hari kemudian, ada kesepakatan gencatan senjata di antara Amerika, Rusia, dan negara-negara lain yang terlibat dalam konflik Suriah. Gencatan senjata ini semestinya efektif sejak pekan lalu. Dalam kenyataannya posisi kelompok perlawanan tetap saja rawan, bahkan terhadap serangan Kurdi Suriah dari arah utara yang oleh Zakaria Malahifji, juru bicara Fastaqim Kama Umirt, salah satu kelompok perlawanan, diduga juga disokong Rusia.

Para pejabat Amerika membantah tudingan ketidakpedulian itu. Mereka beralasan pasukan Kurdi dari wilayah Afrin, Suriah, itu justru membantu memblokade upaya pasukan Assad untuk merangsek ke utara. "Saya tak tahu apakah kami sudah melihat bukti yang mengindikasikan Kurdi Afrinbekerja sama dengan rezim (Assad)," kata Kolonel Steve Warren, juru bicara militer Amerika, kepada wartawan di Pentagon, seperti dikutip VOA.

Amerika memang dalam posisi maju kena mundur kena. Seorang wakil kelompok perlawanan yang mengaku bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry di London menceritakan dia meminta Kerry menekan Rusia dan pemerintah Suriah agar menghentikan serangan dan pengepungan terhadap warga sipil. Menurut dia, Kerry justru menyalahkan kelompok perlawanan karena menolak ikut serta dalam perundingan yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa. Sang wakil kelompok perlawanan mengingatkan Kerry bahwa pada hari perundingan ada 230 barel bom yang memporak-porandakan Aleppo. Tapi Kerry justru mengoreksi angkanya, bukan 230 tapi 180.

Kerry, menurut sumber itu, lalu menambahkan, "Ini bakal lebih buruk. Ini bakal berlanjut selama tiga bulan, dan sampai saat itu oposisi bakal dihancurkan." Didesak lebih jauh, Kerry berkata, "Apa yang kalian ingin saya lakukan? Berperang melawan Rusia?"

Purwanto Setiadi (Foreign Policy, The Guardian, The New York Times, VOA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus