Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Centeng asia selatan

Kunjungan pm rajiv gandhi ke pakistan belum bisa meredakan ketegangan kedua negara. india kini meningkatkan anggaran militernya. rudal agni, buatan india mampu menjangkau indonesia.

29 Juli 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROGRAM nuklir di Pakistan sepenuhnya berada di bawah kontrol kelompok militer, tidak terbuka seperti halnya di negeri kami hingga bisa dibahas di parlemen," kata Rajiv Gandhi. "Saya ingin memberikan jaminan kepada Perdana Menteri India bahwa program nuklir kami tidak berada di bawah kontrol kelompok militer. Pemerintah Pakistan yang mengemudikan semua kebijaksanaan soal nuklir," kata Benazir. (Konperensi pers Senin pekan lalu di Islamabad, Pakistan, dalam rangka kunjungan PM India Rajiv Gandhi). GAMBARAN terakhir ketidakakuran antara India dan Pakistan tercermin dari konperensi pers itu. Sudah berkali-kali New Delhi menuduh Pakistan sedang menyiapkan senjata nuklir untuk mengancam India. Tentu, tuduhan itu pun berulang-ulang dibantah oleh Islamabad. India sendiri sudah melakukan percobaan bom nuklir sejak 1974 - percobaan yang oleh pemerintah New Delhi dinyatakan untuk kepentingan damai. Walhasil, harapan kawasan Asia Selatan akan jadi tenteram dan damai--tercermin dari konperensi puncak negara-negara Asia Selatan Desember tahun lalu--kini tampaknya mengabur. Dua musuh bebuyutan sejak kedua negeri itu merdeka dari jajahan Inggris pada tahun yang sama, 1947, yang pernah setidaknya tiga kali berperang besar-besaran pada 1948, 1965, dan 1971, belum berhasil mengatasi silang sengketa. "Tak mungkin menyelesaikan semua persoalan hanya dalam sekejap," kata Gandhi. Kata-kata pemimpin India itu bukan cuma menyiratkan susahnya mencari kesepakatan. Ada yang menafsirkan, karena India kini merasa kuat militernya, lalu ingin menyelesaikan persoalan menurut caranya sendiri. Dalam hal Kashmir, kawasan di dataran tinggi Himalaya, yang jadi rebutan antara India dan Pakistan, yang menyebabkan meletusnya perang di tahun 1948, umpamanya. Sudah lama Pakistan mendukung usul PBB tahun 1949, agar di kawasan sengketa tersebut diadakan pemungutan suara. Juga Benazir Bhutto pekan lalu sekali lagi mengulang usul PBB itu. Tapi jawab Gandhi, "Soal plebisit tak ada dalam rencana kami." Sikap India yang agak keras itu juga tercermin dalam menhadapi Nepal dan SriLanka. Beberapa waktu lalu jalan masuk menuju Nepal - negeri yang terkurung antara India dan Cina itu -- lewat India ditutup. Semula ada 15 pos jalan masuk, kini hanya dua yang dibuka oleh pemerintah New Delhi. Itu semua hanya gara-gara politik luar negeri Nepal yang kian condong pro Cina. Akibatnya, suplai baban makanan dan bahan bakar ke Nepal menjadi terganggu. Pemandangan orang Nepal antre untuk mendapat jatah minyak tampak akhir-akhir ini. Di Sri Lanka, Pasukan Perdamaian India yang berkekuatan 45.000 orang, yang semula dimaksudkan untuk melucuti gerilyawan Macan Tamil, belakangan cenderung menjadi "tentara pendudukan". Colombo memberikan batas waktu sampai akhir bulan ini supaya pasukan India itu untuk pulang. Namun, New Delhi tak akan menarik pasukannya sebelum ada hak otonomi untuk etnis Tamil yang minoritas di Sri Lanka. India kini memang tercatat sebagai pengimpor senjata terbesar di dunia. Tahun 1987 negeri ini memborong persenjataan senilai US$ 5,2 milyar. Jumlah ini jauh lebih besar daripada gabungan ongkos belanja militer tahunan yang pernah dikeluarkan Iran dan Irak ketika dua negara itu berperang. Ongkos ini 12 kali lipat lebih besar daripada biaya militer Pakistan. Selain itu semua, akhir bulan lalu India sukses meluncurkan rudal jarak menengah buatan dalam negeri dari permukaan ke permukaan. Agni, nama rudal itu, bisa melesat sejauh 2.400 km sekalipun dibebani kepala bom nuklir. Itu berarti wilayah Sumatera Utara termasuk dalam jangkauan Agni. Tak heran kalau sejumlah pengamat militer di Indonesia sempat cemas melihat laju perkembangan militer India itu yang mengarah menuju hegemoni di Asia Selatan. Tapi dari kaca mata India memang beralasan untuk mempermodern kekuatan militernya. Perang menghadapi Pakistan yang dibeking AS tampaknya masih menjadi trauma buat India. Gandhi justru menuding Pakistan yang punya ambisi untuk memperkuat militernya. Kalau sebatas itu yang menjadi soal buat lndia, tampaknya memang negara kawasan Asia Selatan dan sekitarnya tak perlu khawatir. Cuma saja pengalaman dalam dua tahun belakangan ini tak bisa diingkari babwa India sudah berperan menjadi centeng di Asia Selatan. Dikhawatirkan ini hakal merembet ke Asia Tenggara.Ahmed Kurnia Soeriwidjaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum