Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sonny tidak terkejut. Gambar serupa hasil jepretan satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan SPOT sudah digelar di atas meja kerjanya. Titik-titik panas itu memang berada di sekitar Pekanbaru, yang terletak tak terlalu jauh dari areal perkebunan seluas ribuan hektare.
Ada sepuluh nama pemilik perkebunan yang masuk dalam catatan Sonny, tiga di antaranya perusahaan patungan Indonesia dan Malaysia. Menurut rencana, pihak Indonesia akan "membereskan" tujuh perusahaan Indonesia, sedangkan Menteri Lingkungan Malaysia diminta untuk memperingatkan tiga perusahaan dari negaranya.
Dengan adanya kerja sama para menteri lingkungan dari tiga negara, diharapkan upaya mencegah meluasnya areal kebakaran bisa benar-benar efektif. Sejauh ini larangan pembakaran hutan bukan saja tak diacuhkan, tapi para pengusaha justru melakukannya dengan sengaja. Teknik bakar itu memang paling murah untuk membuka lahan, tapi risikonya terlalu besar. Asap dari hutan yang terbakar membahayakan wilayah permukiman di sekitarnya dan wilayah penerbangan. Selain itu, ia berpotensi menghancurkan hutan yang tidak dialokasikan untuk perkebunan. Ketentuan zero burning (pembukaan lahan tanpa membakar) tetap saja diterjang. Selain penegakan hukum sangat minimal, koordinasi antara instansi pemerintah yang berwenang di sektor kehutanan juga lemah.
Di kantor Menteri Sonny, misalnya, disebut-sebut 10 nama perusahaan, tapi Lembaga Pengkajian Hutan Indonesia di Riau dan Ditserse Polda Riau menyatakan ada 28 perusahaan. Para kroni mantan presiden Soeharto adalah pemilik perusahaan yang tak kenal disiplin itusebut saja Prajogo Pangestu, Bob Hasan, serta Martias dari Grup Surya Dumai. Jatim Jaya Perkasa, misalnyayang sahamnya dimiliki Bob Hasantahun lalu masih dalam proses penyidikan, tapi tahun ini sudah berani main bakar lagi.
Pengusaha nekat membandel karena sanksi terhadap pembakar lahan tak pernah dilakukan dengan serius. Meski Undang-Undang Kehutanan mengancam pembakar hutan dengan pidana sampai sepuluh tahun dan denda hingga Rp 5 miliar, tak pernah ada yang dihukum secara berarti. Tahun lalu, dari sembilan perusahaan yang disidik polisi, hanya PT Cipta Daya Sejati yang dikenai hukuman ringan.
Bahkan, pada 1997waktu itu 176 perusahaan dianggap bertanggung jawab terhadap kebakaran hutanhanya 29 perusahaan yang dicabut izinnya. Dua perusahaan lagi hanya diwajibkan menyiapkan armada pemadam kebakaran. Perusahaan lain milik kelompok Salim, kelompok Sinar Mas (Eka Tjipta Wijaya), lalu PT Kiani Lestari (Bob Hasan), tak pernah dijatuhi sanksi. "Ini lantaran kolusi rame-rame," kata Andreas Khahuripan, Ketua Lembaga Pengkajian Hutan Indonesia.
Kolusi atau tidak, tapi Sonny sudah mempermaklumkan sebuah ultimatum. Pengusaha yang membakar lahannya diberi waktu dua minggu untuk memadamkan api. Kalau tak juga beres, "Kita denda lima miliar." Sepanjang Maret, kebakaran sudah melahap 1.500 hektare lahan, sebagian besar terjadi di Riau dan Sumatra Barat. Pada 8 Maret 2000, jumlah titik api tertinggi yang dipantau satelit mencapai 564 titik. Bandingkan dengan kehancuran hutan tahun 1997, yang melahap 383.991 hektare lahan di seluruh Indonesia. Namun, data WWF Indonesia dan EEPSEAsebuah lembaga pemantau lingkungan dan ekonomi Asia Tenggaramemastikan 4,56 juta hektare lahan di Kalimantan dan Sumatra ludes terbakar.
Agar tragedi hutan tidak terulang, pekan lalu Menteri Sonny bersama kejaksaan, kepolisian, dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan membentuk tim yustisi di pusat dan daerah. Tim ini akan menyisir setiap areal perkebunan, hingga secara dini api bisa dijinakkan. Dan dengan harap-harap cemas, keberhasilan tim yustisi ini dinantikan oleh masyarakat pencinta hutan tropis di seluruh dunia.
Agung Rulianto, Endah W, Jajang, Jupernalis (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo