Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Cinta Terlarang Jasmin dan Usamah

Pasangan suami-istri Palestina-Israel ini tak pernah bertemu mertua masing-masing. Setelah menikah, mereka terpaksa keluar dari negaranya. Berikut ini kisah mereka, seperti diceritakan kepada Faisal Assegaf dari Tempo.

9 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

April adalah bulan yang istimewa.

Hari itu, 18 April 2004, mereka berencana mengikat janji sehidup semati di Yerusalem. Dua sejoli, Usamah Zaatar dan Jasmin Avissar, sama-sama berusia 24 tahun, sama-sama mengenakan kemeja putih dan celana jins biru. Sore itu, mereka sepakat bertemu di tempat biasa: bangunan penitipan hewan, tempat mereka bekerja di Yerusalem.

"Kami sangat gembira sekaligus bingung dan takut," kata Jasmin melalui telepon selulernya kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Ia mengenang, bercerita tentang pengalamannya tiga tahun silam, tentang tekad yang sudah bulat dan keterbatasan yang mereka hadapi. Di mana mereka hendak menikah?

Jasmin dilahirkan dan besar di Yerusalem. Anak bungsu dari tiga bersaudara dan satu-satunya anak perempuan dalam keluarganya ini lulusan Jerusalem Academy for Music and Dance pada 2003. Calon suaminya, Usamah, merupakan lelaki muslim Palestina. Ia asli dari Ramallah, Tepi Barat. Anak keempat dari lima bersaudara ini hanya bersekolah sampai kelas II SMA.

Keduanya bekerja di sebuah tempat penitipan hewan peliharaan di Yerusalem. Di sana mereka merawat sekitar 600 anjing dan 200 kucing. Usamah mengurus anjing, sedangkan Jasmin mengurus kucing. "Awalnya kami bersahabat dan secara perlahan jatuh cinta, lalu memutuskan untuk berumah tangga," kata Jasmin.

Mereka berpacaran selama setahun. Tapi, karena ini "cinta terlarang", baik Usamah maupun Jasmin tidak pernah menemui calon mertua masing-masing. Bahkan tidak ada tempat yang aman bagi cinta mereka di luar gedung tempat kerja mereka. Dalam ruang serba terbatas, cinta tumbuh, menolak redup.

Keputusan untuk menikah diambil dua hari sebelumnya-tatkala mereka sedang berduaan, menyaksikan pemandangan horor: pembangunan tembok pemisah di Yerusalem. Keduanya khawatir tembok itu juga akan memisahkan mereka "Lalu kami memutuskan sekaranglah saatnya untuk menikah atau tidak akan pernah bisa," kenang Jasmin.

Tak ada waktu lagi karena tembok terlalu kuat untuk mereka lawan. Ia sebuah produk politik dari orang-orang yang berkuasa; didirikan untuk melindungi Israel dari orang-orang Palestina, memisahkan Yerusalem dari wilayah Tepi Barat. Pembangunan sudah dimulai dan masa depan sudah bisa dibayangkan.

Menurut rencana, panjang tembok seluruhnya mencapai 750 kilometer, dengan tinggi delapan meter. Tembok itu dilengkapi parit perlindungan, kawat berduri, kawat beraliran listrik, menara pengawas, sensor elektronik, kamera video, pesawat pengintai tanpa awak, menara penembak jitu, dan jalan untuk patroli kendaraan.

Bukan cuma itu. Tembok itu dibangun secara zigzag melalui sepuluh dari sebelas distrik di Tepi Barat. Pembangun-an tahap pertama, dari sebelah barat Tepi Barat hingga utara Yerusalem, se-panjang 145 kilometer, sudah selesai pada Juli 2003. Tahap kedua sedang berlangsung, mulai timur Tepi Barat hingga selatan Yerusalem.

Dengan kata lain, Usamah, yang tinggal di Ramallah, Tepi Barat, akan sulit ke Yerusalem untuk bertemu dengan Jasmin.

Siang itu, 18 April 2004, mereka siap menikah, tapi tak ada orang yang bisa mereka jadikan wali nikah. Mereka menelepon rumah masing-masing, tapi tak ada yang menjawab. Selang satu jam, satu keajaiban terjadi. Seorang sopir taksi, warga Israel, menanyakan kondisi anjingnya yang dititipkan kepada Usamah. Setelah urusan selesai, Usamah meminta bantuan kepada sopir taksi itu agar bisa melaksanakan ijab kabul di rumahnya. Ia mengangguk, dan pasangan ini akhirnya menikah siri secara Islam di rumah sopir taksi itu. Seorang penghulu Palestina menikahkan mereka.

Jasmin pindah agama, menjadi mus-lim, tapi tidak mengubah namanya. Hanya sepuluh orang yang hadir dalam per-nikahan itu dan semua dari keluarga sopir taksi. "Allah telah mengirim sopir taksi sebagai penolong kami," ujar Jasmin.

Selepas acara itu, Jasmin dan Usamah segera menelepon orang tua masing-masing. "Kami sangat beruntung. Kedua keluarga kami menerima dan mendukung kami," kata Jasmin.

Jasmin enggan menceritakan di mana mereka tinggal setelah menikah karena alasan keamanan. "Kalau kami berterus terang, orang tua kami bisa ditahan Israel." Yang jelas, sejak itu, pasangan suami-istri ini harus bersembunyi dari pantauan aparat keamanan Israel.

Israel tidak mengakui status perkawinan Jasmin. Dalam paspor Israelnya, tertera status pernikahannya "masih dalam penyelidikan". Ia terus berusaha mendapat pengakuan. Dengan bantuan uang dari keluarga, keduanya menikah kembali lewat catatan sipil di Siprus setahun kemudian. Tapi Israel tetap menolak perkawinan itu meski buku nikah mereka ditandatangani Kantor Urusan Agama Israel.

Karena tidak bisa hidup bebas seba-gai suami-istri, keduanya memutuskan pindah ke luar negeri. Pilihan dijatuhkan pada Jerman. Apalagi ibu Jasmin seorang keturunan Yahudi Jerman. "Lebih mudah bagi orang Israel mendapatkan visa dari Jerman karena alasan Perang Dunia Kedua," ujarnya.

Pada Februari lalu, pasangan ini terpaksa berpisah. Jasmin memperoleh visa untuk belajar selama setahun. Ia tinggal di Kota Berlin dan mengambil sekolah bahasa. Untuk kehidupan sehari-hari, ia juga menjadi guru balet. Jasmin bertahan, tapi hatinya luka. "Kami saling merindukan. Rasanya, sebagian nyawa kami hilang," ujarnya. Untuk mengobati rasa kangen, mereka berkomunikasi lewat telepon atau mengobrol di Internet tiap hari.

Untunglah hubungan jarak jauh itu cuma berjalan sebulan. Selasa dua pekan lalu, keduanya kembali hidup bersama. Kini Usamah memperoleh visa belajar yang harus diperbarui tiap tiga bulan. Ia berencana mengambil sekolah seni untuk meningkatkan keahliannya sebagai pemahat. "Saya senang bisa berkumpul lagi dengan istri saya. Kami ingin memulai hidup baru di sini," kata Usamah kepada Tempo.

Mereka hidup prihatin, tinggal di sebuah apartemen di Berlin yang dibagi dua dengan teman mereka. Jasmin menolak menggambarkan kondisi kamar dan lokasi apartemen mereka. "Tidak mahal dan cukup nyaman bagi kami berdua," kata Jasmin singkat.

Keduanya belum memutuskan apakah akan menetap selamanya di Jerman. "Kami tak peduli di negara mana pun kami tinggal. Yang penting, kami selalu bersama," ujar Jasmin. Bahkan mereka tak berkeberatan tinggal di Indonesia. "Kami dengar Indonesia negara yang indah dan pernah kena tsunami."

Pasangan Jasmin-Usamah belum punya anak. Jika buah hatinya lahir kelak, Jasmin berjanji akan membawa anak-anaknya menemui kedua kakek-nenek mereka di Israel dan Palestina. Ia ingin anak-anaknya nanti menghargai orang lain tanpa membedakan ras, agama, warna kulit, dan latar belakang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus